Bandung, Kembali Menjadi Kota Taman

Agus Surono

Editor

Bandung, Kembali Menjadi Kota Taman
Bandung, Kembali Menjadi Kota Taman

Intisari-Online.com - Bandung pernah dijuluki "Parijs van Java" karena di masa lampau, udara sejuknya dikitari oleh banyak warna-warni bunga yang mekar di beberapa taman (mini botanical). Seiring perkembangan zaman banyak taman tak terurus dan udara pun tak lagi sejuk.

Padahal, Bandoeng Vooruit - perkumpulan arsitek, perancang kota, dan penata kebun di masa pendudukan Belanda - menjadikan Bandung sebagai laboratorium taman tropis Indonesia (Haryoto Kunto, 1986).

Hendrik Petrus Berlage, tokoh Bandoeng Vooruit, ketika itu merumuskan konsep taman-taman yang ada di Bandung sebagai ruang publik. ”Oase dalam kota. Terbuka. Tempat warga berleha-leha sejenak, mengakrabkan diri dengan alam atau sekadar mencari ilham,” ucapnya, seperti tertulis dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto.

Tak ayal, taman-taman kota pun gencar dibuat dalam kurun 1930-1935. Taman kota bukan hanya sarana rekreasi, melainkan juga tempat belajar botani. Setiap tanaman di taman-taman itu dilengkapi tulisan Latin, Sunda, dan bahasa Indonesia.

Warisan taman di era kolonial itu hingga kini masih bertahan, misalnya Insulidenpark (Taman Lalu Lintas Ade Irma S), Molukkenpark (Taman Maluku), dan Ijzermanpark (Taman Ganeca ITB). Hanya saja, kondisinya sudah jauh dari awal taman itu berdiri.

Beberapa taman di kota kembang bahkan diidentikkan dengan hal-hal negatif semacam tempat prostitusi dan mangkalnya waria. Karena gelap dan kusam, ada pula taman kota yang sering digunakan remaja untuk memakai dan bertukar narkotika.

Namun, era ”kegelapan” ini telah berakhir. Laiknya bunga Amarylis yang mekar merona di Taman Puspa Cilaki, taman-taman kota di Bandung pun kini ”bersemi” kembali. Di berbagai sudut kota, kini taman-taman bersolek. Pemkot Bandung yang dikomandoi arsitek kondang yang juga adalah Wali Kota Bandung Ridwan Kamil gencar merevitalisasi taman-taman kota.

Indeks kebahagiaan

Revitalisasi itu bukan sekadar menambah bangku, mengisi dengan bunga-bunga atau mengganti lampu. Lebih dari itu semua, unsur kreativitas menjadi elemen kunci. Setiap taman yang baru dibuat atau direvitalisasi memiliki tema atau ikon yang khas.

Taman Cempaka di Jalan Anggrek, misalnya, disulap menjadi Taman Fotografi. Di taman seluas 500 meter persegi itu ditaruh ornamen huruf besar ”C”, singkatan dari cempaka juga ”camera”. Uniknya, di taman ini dipasang bingkai-bingkai foto terbuat dari besi dan kaca untuk tempat display foto hasil jepretan fotografer, baik profesional maupun pemula. Taman yang turut dikelola komunitas pehobi fotografi ini seolah menjadi galeri seni warga.

Tak ayal, taman yang diresmikan Kang Emil—panggilan akrab Ridwan Kamil—September 2013 silam itu kini ramai dikunjungi warga. Ada yang sekadar bernasis ria, ada yang bersantai sambil melihat tampilan foto rekan-rekannya, ada pula yang tengah berselancar gratis di dunia maya.

Ya, Taman Fotografi merupakan salah satu taman di Kota Bandung yang dilengkapi koneksi Wifi gratis 24 jam. Fasilitas itu disediakan PT Telkom yang bermarkas di Bandung.

Bayu Eko (18), siswa SMKN 5 Kota Bandung, adalah salah satu pengunjung yang rutin datang ke taman ini. Sejak ada taman-taman tematik seperti itu, dirinya hampir tidak pernah lagi nongkrong di mal, kafe, atau Circle K. ”Di sini sangat nyaman, tenang. Daripada ke kafe atau warnet, buang-buang duit hanya buat internet,” ujarnya sambil berselancar di dunia maya melalui laptop.

Taman Fotografi hanyalah satu dari sedikitnya lima taman tematik yang dibangun Pemkot Bandung. Mayoritas adalah taman hasil revitalisasi. Ada pula taman-taman baru yang dibangun di bekas ruang-ruang sempit dan kumuh, seperti Taman Skateboard di kolong Jembatan Pasupati.

Keberadaan taman-taman tematik itu seolah mengembalikan Bandung ke khitahnya di masa lalu sebagai kota taman. Ridwan Kamil mengatakan, program merevitalisasi dan menambah taman kota adalah upaya untuk meningkatkan indeks kebahagiaan warga. Semakin banyak taman kota, kian banyak ruang bagi warga untuk saling berinteraksi, baik dengan sesamanya maupun alam.

”Banyak yang bilang, berbahagialah sesepuh yang tinggal di Bandung tempo dulu karena masih nyaman. Maka itu, perlu ada upaya menjadikan Bandung kembali nyaman buat anak cucu,” ujar Ridwan, yang mengaku terenyuh ketika mendapatkan pesan singkat dari seorang bapak yang baru pertama kalinya diajak main ke taman kota.

”Anak jadi tidak perlu lagi menghabiskan waktunya main di mal dan Timezone,” tambahnya.

Demikian, taman di Kota Bandung kini kembali ”bersemi” menjadi oase, tempat warga kota saling mengakrabkan diri tanpa sekat, seperti halnya yang disampaikan Hendrik Berlage di masa silam.

Semoga langkah ini menyebar ke kota-kota lain sehingga taman menjadi tempat nongkrong yang nyaman. (Kompas/Yulvianus Harjono)