Intisari-Online.com - Yogyakarta tak kekurangan energi kreatif. Tak hanya dalam seni budaya, namun juga bidang olahraga. Tak tahan melihat gumuk pasir sepi dari aktivitas, sekelompok mahasiswa pecinta alam berseluncur menggunakan papan di atas pasir. Sandboarding istilah kerennya.
Beberapa mahasiswa mengakui bahwa aktivitas ini dapat menghilangkan stres. Seperti diungkapkan oleh Adi Sis, mahasiswa tingkat akhir di UGM. ”Dibilang olahraga ya enggak, tapi keringatan, spontan, menyenangkan, bikin ketawa, dan terutama bisa mendapat teman-teman baru. Saya baru sekali ini ikut main dan langsung stres hilang,” kata dia.
Masih menurut Adi, sandboarding itu membikin gemas, apalagi kalau gagal melulu, terjungkal sebelum finis. ”Kalau masih pemula, ada rasa takut yang menggairahkan. Makanya gemas karena pengin memacu sampai batas gak bisa.”
Natalie Rae (22), mahasiswi asal Australia yang belajar di UGM, pun senang sekali bisa mengenal teman-teman baru di komunitas ini. ”Saya selalu ingin sandboarding, tapi belum punya kesempatan. Malah sekarang bisa di sini,” katanya.
Penggagas komunitas ini, Sidik Utomo, mendapat inspirasi membentuk komunitas seusai gempa bumi di Yogya pada 2006. Sidik yang menjadi sukarelawan korban gempa sering bolak-balik Kota Yogya-Imogiri, melalui Parangkusumo. Ia lantas melihat gumuk pasir dan terbetik ide untuk memanfaatkannya.
”Pas sering lihat orang snowboarding di Youtube, rasanya ngiler, asyik, pengin mencoba. Tapi kan mustahil karena kita gak punya salju. Eh, saat lihat pasir itu langsung mikir, kenapa enggak sandboarding?” ujar lulusan Fakultas Geografi UGM ini.
Saat itu Sidik masih mahasiswa dengan kantong terbatas. Ia dan temannya pun mencari akal dan akhirnya menemukan lemari bekas berbahan papan multipleks. ”Kami membuat papan berukuran 120 cm x 60 cm lalu menanamkan sepasang sepatu sepeda dengan baut. Itulah sandboard pertama kami yang dibuat pada 2007,” tutur Sidik.
Dicobalah papan itu. Apa yang terjadi? ”Papan gak mau meluncur,” ujar Sidik. Ia pun menyempurnakan dan akhirnya luncuran makin cespleng setelah dilumuri lilin. Sidik dan teman-teman makin gembira karena menjadi bagian dari iklan sebuah produk.
Sidik dan kawan-kawan membuat inovasi lagi, memadukan sandboarding dengan layang-layang, menjadi kiteboarding. ”Tingkat risikonya relatif lebih besar dari sandboarding karena menggunakan parasut atau layang-layang. Seru banget tentunya bagi pencinta petualangan,” ujarnya.
Mahasiswa dari mancanegara yang melihat kegiatan ini sangat tertarik, bahkan katanya lebih asyik karena tidak ribet, tidak repot seperti snowboarding. Biasanya para pemula hanya bisa meluncur sejauh beberapa meter sebelum terjungkal.
Perkembangan kegiatan sandboarding makin menggembirakan. Saban Minggu, papan-papan yang diproduksi sendiri oleh Sidik dan kawan-kawan laris dipinjam para pegiat skateboard, komunitas pencinta alam, hingga backpacker. Mereka penasaran dan ingin merasakan sensasi berselancar di pebukitan pasir.
Pada pertengahan 2012, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencantumkan sandboarding ke dalam salah satu iklan Wonderful Indonesia. Makin kondanglah kegiatan selancar pasir ini.
”Sekarang kami sedang mengembangkan sandboarding sebagai wisata minat khusus. Kalau bisa, ya, ada semacam sandpark buat olahraga ini. Pasti seru,” harap Sidik. Amien.... (Kompas/Susi Ivvaty)