Batutumonga, Negeri di Atas Awan Tana Toraja

Agus Surono

Editor

Batutumonga, Negeri di Atas Awan Tana Toraja
Batutumonga, Negeri di Atas Awan Tana Toraja

Intisari-Online.com - Dari Batutumonga di lereng Gunung Sesean, gunung tertinggi di Tana Toraja, kita dapat melihat gunung, awan, matahari, dan kabut berpadu satu. Seperti negeri di atas awan.

Dari sini pula Rantepao, pusat kota Toraja terlihat sangat elok. Di Batutumonga pula kita dapat melihat makam-makam batu kuno yang magis. Keindahan di pucuk-pucuk bukitnya semakin sempurna dengan hadirnya tongkonan, rumah khas Toraja.

Konon, nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti ’Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan’, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya ’orang yang berdiam di sebelah barat’.

Untuk menyaksikan keindahan negeri di awan Batutumonga kita harus menginap di Batutumonga. Pagi hari bangunlah lebih awal, sesaat menjelang matahari terbit. Ada beberapaguest house di Batutumonga. Salah satu yang berada di titik tertinggi adalah Mentirotiku Guest House.

Mentirotiku bermakna ’pemandangan yang indah dan luas’. Dengan hanya berdiri di depan kamar, hamparan pemandangan yang penuh daya magis terpampang di depan mata. Semburat merah mentari pagi segera menyambut dengan hamparan awan yang seolah berada tepat di hadapan mata.

Selain pemandangan alamnya, Mentirotiku punya keistimewaan lain berupa kamar berbentuk tongkonan, yang konon merupakan rumah pahlawan Pong Tiku yang dijual oleh sang cucu. Rumah dari pahlawan nasional asal Toraja inilah yang kini dioperasikan menjadi guest house dengan penambahan sejumlah kamar.

Begitu waktu menunjukkan pukul 05.00, berkemaslah untuk sebuah perjalanan yang magis. Sambil berharap cuaca cerah sehingga matahari dapat menyinarkan cahayanya tanpa teralang mendung. Jangan lupa jaket karena udara di ketinggian cukup dingin. Tentu tak boleh ketinggalan kamera meski tak mesti harus sibuk memotret dan melepaskan momen-momen yang mistis.

Sinar matahari yang lamat-lamat muncul di balik awan, kabut tipis dan awan yang bergulung-gulung adalah lukisan alam tanpa cela. Keindahan yang tersaji seolah bergegas cepat menyergap seluruh pancaindera. Sungguh sebuah keindahan yang nyata yang membuat napas seolah terhenti ketika menyaksikannya. Resapi dan nikmati hingga ke tulang sumsum, lalu dekap di dada sebagai sebuah pengalaman yang tak lekang.

Ketika matahari meninggi, hamparan sawah yang luas menghijau dan sosok Gunung Sesean yang berdiri kokoh di antara awan dan panorama Rantepao dari kejauhan menjadi sajian berikutnya.

Salah seorang penjaga Mentirotiku Guest House, Paulus Payung (25), menuturkan, satu tahun terakhir, semakin banyak wisatawan berkunjung ke Batutumonga. Tidak hanya pada saat akhir pekan, kunjungan wisatawan juga tercatat di hari-hari biasa. ”Biasanya mereka menginap dua-tiga hari untuk menikmati pemandangan Toraja dari Batutumonga,” kata Paulus.

Makam tua

Tak hanya pemandangan alam yang menarik di negeri di atas awan Batutumonga. Ada makam-makam kuno yang berceceran di kiri kanan jalan. Makam tua yang menarik untuk disinggahi adalah Bori Parinding di Kecamatan Sesean dan Lo’ko Mata di Kecamatan Sesean Suloara.

Bori Parinding adalah sebuah kompleks pemakaman tua yang mulai dipakai pada tahun 1717. Jenazah yang dimakamkan di Bori Parinding merupakan keluarga bangsawan keturunan Nenek Ramba. Salah satu yang unik di pemakaman ini adalah keberadaan batu-batu menhir berukuran raksasa yang terletak di halaman depan Bori Parinding.

Batu-batu menhir tersebut digunakan sebagai tiang untuk mengikat hewan-hewan yang akan disembelih saat upacara pemakaman atau rambu solo digelar. Hewan-hewan tersebut antara lain kerbau, anoa, dan sapi. Untuk kalangan bangsawan, kerbau yang disembelih jumlahnya 24 ekor dengan harga kerbau mulai dari Rp 20 juta hingga Rp 1 miliar per ekor.

Di Bori Parinding, selain terdapat makam-makam tua untuk orang dewasa, juga terdapat makam untuk bayi yang ditanam di dalam tubuh pohon tarra. Usia pohon tarra diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun. Berbeda dengan Bori Parinding, Lo’ko mata hanya menyajikan bongkahan batu sebesar satu bukit kecil yang bisa memuat ratusan makam dengan 30-40 jasad per lubang.

Untuk menuju ke Batutumonga, dari Rantepao dapat menumpang angkutan umum dari Pasar Bolu. Bisa pula menggunakan mobil sewaan. Perjalanan menuju Batutumonga membutuhkan waktu antara 30 menit dan 1 jam. Kewaspadaan tinggi dibutuhkan karena medan yang ditempuh memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi. Selain jalanan yang berkelok dan sempit, hanya seukuran satu mobil, sisi kiri dan kanan jalan berupa jurang menganga. (Dwi As Setianingsih & Mawar Kusuma/Kompas)