Intisari-Online.com - Managing Director PremiAir, Tony Dwihastanto Hadi mengatakan, sudah saatnya kota-kota besar di Indonesia memiliki taksi udara, khususnya helikopter, yang bisa dipesan dengan cepat dan mudah, seperti dari perangkat smartphone.
"Kita lihat kan sekarang ini kota-kota besar makin macet, banyak waktu terbuang," kata Tony kepada KompasTekno saat dijumpai di kantor PremiAir di bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (20/11/2015).
Yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan saat ini menurut Tony adalah faktor keamanan dan jumlah helipad yang tersedia di kota-kota besar, termasuk Jakarta.
"Kalau dari segi safety, bedakan antara taksi mobil dan taksi udara," kata Tony.
Taksi udara yang kebanyakan dilayani dengan helikopter harus memenuhi syarat-syarat yang lebih ketat untuk bisa disewa setiap saat.
Tony menjelaskan, jika memesan taksi lewat aplikasi smartphone hanya butuh waktu maksimal 10 menit, maka untuk taksi udara dibutuhkan waktu setidaknya 30 hingga 60 menit sebelumnya untuk menyiapkan segala persyaratan yang dibutuhkan untuk terbang.
Jumlah helipad yang ada pun harus diperbanyak lagi, sebab berbeda dengan taksi mobil yang bisa berhenti dimana saja, helikopter membutuhkan landasan yang aman dan kuat untuk didarati.
"Saat ini di Jakarta PremiAir memiliki empat helipad yang bisa didarati, ada di Grand Indonesia, Hotel Borobudur, (gedung) Lippo, dan Hyatt," katanya.
Untuk mendarat di helipad-helipad lain, dibutuhkan izin dan juga pengecekan oleh pihak operator helikopter, apakah helipad tersebut mampu atau tidak menampung bobot helikoter yang dioperasikannya.
Inovasi bisnis
Taksi udara dikatakan Tony juga bisa menjadi inovasi bisnis bagi pengusaha-pengusaha carter pesawat di kota-kota besar. Karena menurutnya, di industri aviasi yang sudah jenuh saat ini dibutuhkan terobosan-terobosan.
"Kalau nggak bikin terobosan, (usaha) Anda mati," katanya.
Salah satu terobosan yang baru dicoba oleh PremiAir adalah memesan helikopter melalui aplikasi Uber. Walau sifatnya hanya kampanye promosi, namun Tony melihat metode seperti itu sangat menjanjikan.
"Kami punya sarana, mereka punya teknologinya, kalau harga yang ditawarkan Uber menarik kami akan menyambutnya," demikian ujar Tony.
Soal perizinan, Tony mengakui saat ini tidak ada masalah, sebab Uber akan diperlakukan sama dengan pelanggan carter PremiAir lainnya, sementara helikopter-helikopter yang dioperasikan PremiAir diklaim memiliki izin yang resmi dari Dinas Perhubungan Udara.
Dijelaskan oleh Tony, sebuah pesawat carter baik fixed wing atau rotary, kalau tidak terbang juga ada biayanya. Semakin lama di darat maka semakin rugi perusahaan carter tersebut.
Karena perusahaan carter juga memiliki pilot, mekanik, dan karyawan yang harus terus digaji tiap bulannya. Belum lagi biaya perawatan pesawat dan biaya parkir di bandara.
PremiAir sendiri diakui Tony memiliki empat helikopter dari berbagai jenis yang sering dioperasikan, di antaranya adalah Eurocoper EC-145 dan Agusta Westland AW-139.
Selain pesawat rotary wing, PremiAir juga mengoperasikan pesawat fixed wing, seperti Cessna Caravan, Embraer Legacy, Boeing Business Jet, dan Lineage 1000. Dalam satu minggu PremiAir biasa melayani dua hingga tiga penerbangan carter helikopter.
Soal biaya, Tony mengklaim biaya operasional untuk satu jam helikopter bisa mencapai 4.000 dollar AS. Namun dijelaskannya, semakin tinggi jam sewa carter, semakin hemat biaya yang harus dibayar. Begitupun sebaliknya, jika jam sewa rendah, biaya yang dikeluarkan bisa mahal.
Mengenai bisnis taksi helikopter di Indonesia, Tony mengakui ke depannya bisnis seperti itu masih terbuka lebar kesempatannya.
(kompas.com)