Intisari-Online.com - Laiknya memilih jurusan sekolah, memilih profesi juga ada pertimbangannya. Febrina Melva Irene Siahaan, konsultan karier di konsultankarir.com, berujar, ada dua hal mendasar untuk memutuskan profesi mana yang akan kita ambil. Yakni, karier atau calling.
Karier, menurut kacamata Feby, sapaan Febrina, merupakan sesuatu yang diprioritaskan untuk pemenuhan “perut” atau harga diri yang lebih tinggi. Sementara calling adalah sesuatu yang berasal dari keinginan (desire) kita. Bagi mereka yang mengutamakan calling-nya, tidak terlalu memusingkan jumlah bayaran yang akan diterima. Ibaratnya, profesi yang dipilih adalah panggilan hati nurani.
Contoh kasusnya begini. Bila orang menerima profesi dengan gaji tinggi meskipun tak terlalu suka dengan profesi tersebut, artinya ia mengedepankan kariernya. Lain bila orang menerima tawaran profesi dengan gaji tak begitu tinggi tapi sesuai dengan panggilan hati, artinya ia memilih calling-nya.
Namun, orang yang mengutamakan karier seperti contoh tadi bukan berarti tak boleh. Soalnya, tiap orang punya alasan. Syukur-syukur, kata Feby, profesi yang kita pilih mencakup keduanya. Ya karier, ya calling. “Idealnya bisa dapat keduanya. Saya suka mengajar dan karier saya dosen. Jadi dosen adalah panggilan hati saya, meskipun gajinya tak besar,” cerita mantan wartawan Tempo ini.
Pemantapan memilih karier atau calling nyatanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak faktor. Misalnya lapangan kerja yang sempit. Kalau terlalu pemilih, yang ada malah tidak segera kerja. Belum lagi faktor tuntutan. Semisal orangtua yang punya banyak anak, gajinya hanya Rp1 juta, dan hidup di kota metropolitan. Tentu tak akan cukup.“Kalau ada faktor tuntutan seperti itu, biasanya calling jadi nomor dua. Karierlah yang akan diutamakan,” jelas Feby. Banyaknya tuntutan, bahkan termasuk untuk biaya berobat misalnya, membuat orang akan cenderung memilih karier dengan percepatan tinggi. Alih-alih menyukai profesinya, kadang malah hanya “menyukai” uangnya.
Nah, bagaimana dengan Anda?