Intisari-Online.com -Menghadapi karyawan "biang kerok", tak ada jalan lain kecuali memanggilnya ke ruangan khusus, lalu duduk bareng. Di situ, akan dengan gampang dia "bernyanyi", mengungkap isi hati, asalkan sebagai pimpinan kita menempatkan posisi sejajar dengannya. Kesamaan posisi ini akan memberinya rasa nyaman, sehingga lebih mudah baginya membeberkan isi hatinya.Seyogianya, ulah semacam ini cepat ditanggapi, dan ditelisik apa yang ada di baliknya. Makin cepat makin baik, sehingga masalah dapat dilokalisir. Jika toh penyebabnya ketidakpuasan, dengan dikomunikasikan dan berdialog dengan atasan, maka rasa sakit itu akan berkurang. Ibarat bisul, harus cepat dikempeskan atau bahkan dipecahkan.Ulah ini meruyak ke mana-mana, tergantung apakah si pembuat ulah pria atau wanita. Walau dampaknya terhadap lingkungan sama parah, namun spektrum penyebarannya lebih luas bila si pelaku adalah wanita.Sebab, sebagian besar wanita memang senang membicarakan sesama jenis yang kurang disukainya. Apalagi jika ia pernah berurusan dengan si pembuat ulah itu. Kontan, virus pengganggu iklim kerja akan menyebar cepat dan meluas.Ya, keberanian dan ketegasan pimpinan memanggil sang pembuat ulah untuk bicara one on one, amat dibutuhkan. Namun, jangan larut dalam permainan sang pembuat ulang yang mencoba berkelit dari kesalahan. Dalam pertemuan tertutup itu pimpinan harus tetap pegang kendali, harus bisa menggugahnya hingga ia menyadari kesalahannya.Perlu disadari, jumlah pembuat onar tidaklah banyak, namun mereka menjadi magnet bagi karyawan yang merasa tak puas pada perusahaan. Kelompok ini terus bertumbuh, dengan ikut bergabungnya mereka yang sekadar ikut-ikutan dan berpendirian lemah.Mereka tak takut dipecat, malah maunya di-PHK, agar jadi martir. Sebagian lain bahkan ingin dirangkul atau dibujuk-bujuk dan diberi solusi, sehingga merasa "menang" dan bangga jadi pahlawan di mata karyawan lain.(Selesai)--Tulisan ini dimuat di Majalah Intisari Edisi Maret 2008, ditulis oleh Dharnoto dengan judul asli Mengubah Polah Sang Pembuat Ulah".