Solastalgia, Istilah untuk Menggambarkan Perasaan Tertekan Karena Perubahan Lingkungan

Okke Nuraini Oscar

Editor

Solastalgia, Istilah untuk Menggambarkan Perasaan Tertekan Karena Perubahan Lingkungan
Solastalgia, Istilah untuk Menggambarkan Perasaan Tertekan Karena Perubahan Lingkungan

Intisari-Online. com- 'Solastalgia' sebuah perpaduan antara “solace” (pelipur lara) dan “nostalgia”. Istilah ini digunakan tidak hanya dalam dunia akademis tetapi lebih luas, dalam psikologi klinis dan kebijakan kesehatan di Australia, serta oleh para peneliti AS dalam melihat dampak dari kebakaran hutan di California. Solastalgia ini menggambarkan perasaan tertekan terkait dengan perubahan di lingkungan Anda, jelas Albrecht. Jurnal medis The Lancet pada 2015 membuat laporan Kesehatan dan Perubahan Iklim serta membahas bagaimana solastalgia terhubung ke kesukaran karena lingkungan yang tidak bersahabat dan keadaan seseorang tidak berdaya untuk melakukan sesuatu. Sementara itu, Justin Lawson dari Deakin University Melbourne menjelaskan solastalgia dalam hal non-akademik, lagu The Eagles 'No More Walks in The Woods’ dapat membantu orang memahami solastalgia. Lagu tersebut menyesalkan hilangnya hutan terkait dengan kenangannya. Perubahan ini bisa berasal dari proses alami (seperti kekeringan dan kebakaran hutan) atau proses yang disebabkan oleh manusia seperti perubahan iklim dan urbanisasi. Seperti Albrecht, Lawson dan timnya sedang bekerja pada istilah lain untuk merangkum pikiran dan perasaan ini. Tapi, sementara Albrecht menggabungkan kata-kata yang didominasi berasal dari akar Latin atau Yunani, Lawson lebih mencari pada budaya asli dan bahasa mereka.

Solastalgia bukan hanya sebuah konsep pertama di dunia. Sri Warsini, seorang peneliti di James Cook University di Cairns, Australia melihat contoh solastalgia yang terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, setelah terjadinya bencana alam seperti letusan gunung berapi. Ia menemukan bahwa hilangnya perumahan, ternak dan lahan pertanian, dan bahaya tinggal di daerah rawan bencana secara berkelanjutan. Hal tersebut dapat menyebabkan depresi.

(Georgina Kenyon/bbc.com)