Intisari-Online.com - Hampir sepuluh bulan tidak mendapat jawaban pasti mengenai kerabat mereka, bagaimana para kerabat penumpang Malaysia Airlines MH370 melihat kecelakaan AirAsia QZ8501? Dr George Hu, seorang psikolog klinis di Beijing United Family Hospital and Clinics mencoba menggambarkannya.
Apa yang terjadi dengan Malaysia Airlines MH370, yang lepas landas pada tanggal 8 Maret 2014 dari Kuala Lumpur, Malaysia, dalam perjalanan ke Beijing, masih menjadi misteri. Pesawat tersebut menghilang setelah membelok dari jalur seharusnya dan terbang selama berjam-jam dengan sistem komunikasi yang dinonaktifkan.
Pesawat ini diduga telah jatuh sekitar 1.800 kilometer di lepas pantai barat Australia, namun tetap tidak ada jejak pesawat atau 239 orang di atas kapal - yang kebanyakan merupakan warga China. Padahal pencarian terus dilakukan, bahkan sudah menggunakan peralatan yang canggih.
Bagaimana para kerabat penumpang Malaysia Airlines MH370 melihat kecelakaan AirAsia QZ8501? Pernyataan berikut ini mungkin dapat menjawabnya.
“Kami telah tinggal dalam kecemasan, ketakutan dan kebencian, dan hidup kami telah benar-benar kacau, tapi kami sebagai orang biasa tidak dapat berbuat apa-apa,” tutur Dai Shuqin, yang adiknya berada dalam pesawat yang hilang tersebut, bersama dengan suami, anak perempuan, dan cucunya.
Sejak Malaysia Airlines MH370 hilang, para kerabat penumpang pesawat tersebut telang saling membantu satu sama lain. Mereka sudah menghabiskan waktu berminggu-minggu bersama di sebuah hotel di timur laut Beijing untuk menunggu kabar.
Ditakuti mampu memicu ketidakstabilan sosial, mereka dikabarkan berada dalam pengawasan pihak kepolisian, pada pertengahan Juli 2014, 16 di antara mereka ditahan, bahkan ada pula yang dipukuli.
Meski demikian, mereka tetap saling bertemu di sebuah pusat olahraga yang memungkinkan mereka untuk mengirim pertanyaan ke Malaysia Airlines dan pemerintah Cina dan Malaysia.
Dr George Hu, menyatakan bagaimana para kerabat penumpang Malaysia Airlines MH370 melihat kecelakaan AirAsia QZ8501 dengan perasaan empati, sekaligus iri hati. Mereka mengalami fenomena psikologis yang sama dengan yang dialami orangtua dari anak-anak yang diculik.
Perasaan yang lebih buruk dari kesedihan adalah tidak mengetahui dirinya harus berduka ataukah masih harus berharap. (yahoonewsdigest-intl.tumblr.com)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR