Intisari-Online.com – Tulisan ini pernah dimuat di Intisari Maret 2002 sebagai Boks dengan judul asli Paduan Kematangan dan Keberuntungan. Ditulis oleh Mursiddi, MBA, Marsekal Pertama (Purn) TNI, mantan instruktur penerbang Hercules C-130. Mengisahkan bagaimana keberhasilan pendaratan pesawat secara darurat di sungai adalah karena keberuntungan.
--
Kegiatan penerbangan sudah menjadi aktivitas sehari-hari di berbagai belahan dunia. Wahana udara, meskipun sangat luas dan bebas memilih (tinggi-rendah, siang-malam, berawan atau tidak), tetap tidak bertoleransi pada kesalahan sekecil apa pun.
Untuk itu operator penerbangan harus berkemampuan lebih tinggi dalam hal pengetahuan penerbangan. Keterampilan bermanuver dan kematangan berkoordinasi dan berkomunikasi. Ringkasnya, penerbang harus mempunyai kualitas kepemimpinan yang tinggi.
Penerbang pesawat Garuda Boeing 737-300, pada 16/1/2002 yang ditching (turun ke air) di Bengawan Solo menunjukkan aplikasi kepemimpinan yang baik. Kendati keberhasilan tindakannya banyak didukung oleh faktor keberuntungan yang besar pula.
Pada kondisi yang langka dan di luar perhitungan ini, penerbang masih dapat berpikir jernih, bertindak prosedural, dan berkoordinasi dengan baik. Fakta ini menunjukkan betapa tinggi kekuatan penguasaan dirinya. Ia masih mampu membangun kesadaran, kesiapan batin, dan kekuatan energinya, meskipun dalam waktu yang bersamaan menghadapi dua macam ancaman yang sangat fatal. Yaitu, cuaca buruk dan mesin mati.
Sementara awal terjadinya mesin mati pasti disebabkan oleh suatu kesalahan. Ada dua kemungkinan kesalahan.
Pertama, awak pesawat berbuat salah, sementara awak pesawat lain termasuk penerbang tidak dapat mengetahui kesalahan itu. Atau bisa terjadi, kesalahan terdeteksi, tetapi tidak ditindaklanjuti.
Kedua, kesalahan disebabkan oleh sistem atau mekanisme tertentu, misalnya anti-icing dan fuel heater tidak bekerja. Atau adanya curahan massa air atau serbuan partikel kotor ke mesin. Juga kontaminasi bahan bakar atau avtur dari tangki di darat. Sementara itu usaha menghidupkan mesin tidak berhasil dan menghilangkan Auxiliary Power Unit (APU, generator listrik) justru memperparah kondisi.
Memilih ditching di sungai daripada mendarat di sawah, memang cukup asyik untuk dipertanyakan. Analisis tanpa melihat kondisi lapangan dan kondisi psikologis pada saat itu, agaknya memag kurang dapat dipakai sebagai penilaian yang fair.
Namun, sebagia bahan masukan analisis yang formal, pandangan berikut agaknya masih dapat dipakai.
Meskipun tidak terlihat dari awalnya/dari atas, namun patut diduga bahwa di sepanjang sungai mana pun, pasti terdapat banyak jembatan. Memang dapat terjadi jarak antarjembatan cukup jauh. Untuk sungai-sungai yang lebar seperti Bengawan Solo, jembatan yang ada pasti permanen dan kuat.
Apabila arus sungai yang deras memang telah diperhitungkan, maka ditinjau dari panjang pendaratan, pasti sangat menguntungkan. Namun bila ditinjau dari arus air dan banyaknya volume air, maka ancaman bahayanya dapat lebih besar daripada mendarat darurat di sawah. Mengapa?
Jawabannya adalah adanya faktor luck yang dalam kasus pesawat Garuda GA 421 yang ditching di Bengawan Solo ini kelihatannya cukup menonjol. Di antaranya adalah lolos dari jembatan pertama, pesawat berhasil berhenti sebelum jembatan kedua.
Arus sungai yang deras dan berlawanan arah serta benturan batu besar di bagian ekor berfungsi sebagai rem. Akibatnya, pesawat tidak hanyut atau tenggelam. Peristiwa terjadi di sore hari juga sangat menguntungkan sehingga keadaan sekitar masih jelas terlihat. Tak kalah pentingnya adalah didapatkan runway yang lurus pada proses pendaratan kedua, setelah approach pertama gagal.