Ternyata Gerakan Ini yang Menginspirasi Semangat Perang Sabil Rakyat Aceh saat Melawan Belanda

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Hikayat Prang Sabi atau Hikayat Perang Sabil menggambarkan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda di berbagai tempat di Aceh (Wikipedia Commons)
Hikayat Prang Sabi atau Hikayat Perang Sabil menggambarkan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda di berbagai tempat di Aceh (Wikipedia Commons)

Hikayat Prang Sabi atau Hikayat Perang Sabil menggambarkan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda di berbagai tempat di Aceh.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Belanda dibuat kerepotan dalam Perang Aceh. Ada banyak faktor yang membuat perang berlangsung lebih dari tiga dekade, satu di antarnya adalah semangat perang sabil yang melambari kegigihan masyarakat Aceh.

Semangat perang sabil tentu tak muncul begitu saja. Menurut beberapa sumber, semangat perang sabil ini terinspirasi dari gerakan mahdisme di Sudan pada ujung abad ke-19. Ketika itu, Muhammad Ahmad mendeklarasikan dirinya sebagai Imam Mahdi dan memimpin gerakan melawan pendudukan Inggris-Mesir.

Gerakan ini berhasil membuat Sudan merdeka dan lebih dari itu menginspirasi perlawanan rakyat Aceh dalam pertempuran melawan Belanda. Semangat perang sabil juga tidak langsung muncul di awal-awal Perang Aceh.

Perang Mahdi atau The Mahdist War atau Atstsaurah Almahdiyah dalam bahasa Arab adalah perang melawan pendudukan Inggris di Sudan pada akhir abad ke-19. Perang yang berlangsung selama 18 tahun ini menghasilkan negara pemerintahan bersama Sudan Inggris-Mesir.

Semangat perang sabil rakyat Aceh diabadikan dalam sebuah karya sastra berjudul Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil).

Karya sastra ini terdiri atas dua genre: tambeh (nasihat) dan epos. Bagian tambeh banyak ditulis oleh para ulama yang berisi nasihat, peringatan, ajakan dan seruan untuk terjun ke medan perang demi menegakkan agama Allah dari orang kafir. Sementara yang bagian epos bercerita tentang peristiwa pertempuran yang terjadi di berbagai tempat di Aceh.

Riwayat Perang Aceh

Perang Aceh adalah perang yang berlangsung begitu lama, sekitar 31 tahun, sejak1873 hingga 8 Februari 1904. Setelah itu juga masih ada perlawanan-perlawanan meskipun skalanya jauh lebih kecil.

Perang Aceh dipicu oleh keingina Belanda untuk menguasai seluruh Wilayah Sumatera, termasuk wilayah Kesultan Aceh. Dengan menguasai seluruh Aceh, Belanda bisa mengamankan kepentingan dagangnya di sekitar Selat Malaka -- terlebih setelah Terusan Suez dibuka.

Sebelum langsung menyerang ke jantung Aceh, Belanda terlebih dahulu menaklukkan wilayah-wilayah garis depan seperti Serdang, Asahan, dan Langkat. Wilayah-wilayah itu sebelumnya adalah taklukkan Kesultanan Aceh.

Traktat London 1824, sebuah perjanjian antara Belanda dan Inggris, sejatinya mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh. Tapi traktar itu dianulir oleh Traktat Sumatra 1871 di mana Inggris mengizinkan Belanda menguasai seluruh Sumatera. Aceh tentu saja melawan dengan gigih ... selama 30 tahun lebih.

Saking panjangnya, Perang Aceh dibagi dalam empat periode, sebagaimana dikutip dari Kompas.com:

1. Perang Aceh periode pertama (1873-1874)

Pada periode awal Perang Aceh, yang berlangsung sejak 1873 hingga 1874, Belanda menerapkan strategi perang semesta atau perang total. Saat itu, pasukan Belanda dipimpin oleh Köhler. Mereka berusaha untuk menguasai wilayah Aceh secara penuh dengan menggelar serangan militer besar-besaran dan pendudukan wilayah secara intensif.

Ini mencakup upaya untuk menyerang pusat-pusat kekuasaan Kesultanan Aceh dan mengontrol wilayah-wilayah strategis. Sementara itu, masyarakat Aceh berperang dengan melibatkan Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah sebagai pemimpin perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Berkat strategi perang yang baik, pasukan Köhler dengan diperkuat 3.000 tentara berhasil dihadapi dan dikalahkan oleh masyarakat Aceh. Köhler pun tewas pada 14 April 1873. Hanya 10 setelahnya, pertempuran meletus di berbagai wilayah, termasuk upaya merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, dengan dukungan dari beberapa kelompok pasukan.

Tak hanya itu, pertempuran juga terjadi di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, hingga Lambada, dan Krueng Raya. Ribuan penduduk dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan berbagai wilayah lainnya juga bergabung dalam perjuangan tersebut.

2. Perang Aceh periode kedua (1874-1880)

Pada periode kedua Perang Aceh yang berlangsung sejak 1874 hingga 1880, Kesultanan Aceh beralih ke strategi perang gerilya. Pada periode ini, Teuku Umar memimpin gerakan perlawanan ini. Teuku Umar menggunakan strategi perang gerilya melibatkan serangan cepat, taktik hit-and-run, dan pemanfaatan medan yang sulit untuk mempersulit upaya pengejaran oleh pasukan Belanda.

Namun pasukan Belanda di bawah kepemimpinan Jenderal Jan van Swieten, berhasil menaklukkan Keraton Sultan pada 26 Januari 1874, yang kemudian dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874, Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh wilayah Aceh secara resmi menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.

Ketika Sultan Machmud Syah meninggal pada 26 Januari 1874, Tuanku Muhammad Dawood diangkat menjadi sultan di Masjid Indrapuri.

3. Perang Aceh periode ketiga (1881–1896)

Selama Perang Aceh periode ketiga terjadi serangkaian peristiwa signifikan yang mencakup serangan besar-besaran oleh Belanda terhadap Aceh, penggunaan taktik militer keras, dan pertempuran sengit antara pasukan kolonial Belanda dan pemberontak Aceh dengan dipimpin oleh Teuku Umar.

Pembakaran desa, penggunaan senjata api, serta isolasi ekonomi terhadap Aceh oleh Belanda menjadi ciri khas perang ini. Selama perang gerilya tersebut, pasukan Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar, bersama dengan Panglima Polim dan Sultan.

Pada 1899, terjadi serangan mendadak oleh Van der Dussen di Meulaboh yang mengakibatkan gugurnya Teuku Umar. Namun, Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar, kemudian mengambil peran sebagai komandan perang gerilya. Perang ini berakhir dengan Perjanjian Boven-Digoel pada 1896 yang memberikan pengakuan terbatas terhadap kedaulatan Sultan Aceh.

4. Perang Aceh periode keempat (1896-1910)

Perang Aceh periode keempat pada 1896 hingga 1910 menggunakan strategi sporadis tanpa adanya komando dari pemerintah Aceh. Sebagian besar perang dilakukan dalam bentuk gerilya yang melibatkan kelompok dan individu yang melakukan perlawanan, serangan, pengadangan, dan pembunuhan tanpa ada komando sentral dari pemerintahan Kesultanan.

Belanda yang kesulitan mengirimkan seorang orientalis yang pernah lama tinggal di Arab Saudi bernama Snouck Hurgronje. Dia masuk-masuk ke pedalaman Aceh untuk mempelajari budaya dan watak masyarakat Aceh.

Melalui laporannya, Snouck menyarankan Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz mengesampingkan terlebih dahulu golongan Keumala (Sultan yang berkedudukan di Keumala) dan fokus pada kaum ulama. Dia juga menyarankan untuk tidak melakukan negosiasi dengan pemimpin gerilya dan mendirikan pangkalan permanen di Aceh Raya.

Tak hanya itu, Snouck juga mengusulkan agar Belanda menunjukkan niat baik kepada rakyat Aceh dengan mendirikan langgar, masjid, memperbaiki infrastruktur seperti jalan dan irigasi, serta memberikan bantuan dalam pekerjaan sosial rakyat Aceh. Strategi dari Dr. Snouck Hurgronje ini diterima oleh Van Heutz, yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Militer dan Sipil di Aceh pada periode 1898-1904.

Snouck sendiri kemudian diangkat sebagai penasihatnya dalam melaksanakan strategi tersebut. Dengan menggunakan strategi tersebut, Belanda berhasil mengalahkan Aceh dan perang diakhiri dengan penandatanganan Traktat Pendek atau perjanjian penyerahan yang ditandai dengan menyerahnya Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah sebagai sultan terakhir Kesultanan Aceh. Kesultanan Aceh kemudian dibubarkan oleh Belanda.

Artikel Terkait