Cerita Mereka yang Selamat dari Gempa: Ada yang Refleks Sembunyi di Almari

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ini adalah cerita mereka yang selamat dari Gempa Jogja pada Sabtu pagi tanggal 27 Mei 2006. Beberapa selamat dengan cara yang ajaib (Ibas/Intisari)
Ini adalah cerita mereka yang selamat dari Gempa Jogja pada Sabtu pagi tanggal 27 Mei 2006. Beberapa selamat dengan cara yang ajaib (Ibas/Intisari)

Ini adalah cerita mereka yang selamat dari Gempa Jogja pada Sabtu pagi tanggal 27 Mei 2006. Beberapa selamat dengan cara yang ajaib.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Sabtu 27 Mei 2006, ketika matahari baru saja menampakkan senyumnya, wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah dilanda gempa berkekuatan besar. Banyak korban berjatuhan, banyak juga yang selamat dan luput dari maut dengan cara yang unik.

Bagi Sugeng, yang ketika gempa terjadi berusia 30-an, Gempa Jogja itu merupakan gempa terbesar yang pernah dialaminya. Kawasan Pleret, tempat Sugeng tinggal, termasuk daerah yang kerusakannya paling parah.

Dalam catatan sejarah, gempa berkekuatan 5,9 pada skala Richter itu bukan termasuk gempa terbesar pertama. Tercatat pada 1867 wilayah Yogyakarta sudah digoyang lindu dengan akibat 372 rumah roboh dan lima orang meninggal.

Hampir seabad kemudian, tepatnya 1943, gempa kembali melanda Yogyakarta dengan hasil yang lebih dahsyat: 2.800 rumah hancur, 213 orang meninggal, dan 2.096 orang luka-luka. Sugeng sebenarnya pernah merasakan gempa cukup besar tapi tidak ada kerusakan berarti di daerahnya. Gempa yang terjadi tahun 1981 itu tercatat membuat dinding Hotel Ambarukmo di Yogyakarta retak-retak.

Kini, seiring bertambah padat penduduk, gempa menelan banyak korban. Dari situs sonorajogjamediacenter.org tercatat 6.234 orang meninggal, lebih dari 50.000 luka-luka, serta lebih dari 70.000 bangunan rusak atau ambruk. Berbagai simpati mengalir bagi para korban. Di balik peristiwa itu tersimpan kecemasan dan keberuntungan.

Keluar lebih awal

Kecemasan dirasakan oleh mereka yang memiliki ikatan batin dengan wilayah yang terkena gempa. Apalagi beberapa saat setelah gempa, komunikasi bisa dikatakan putus sama sekali. Hal ini dialami Eni yang orangtuanya tinggal di Dusun Tilaman yang masuk wilayah Kecamatan Imogiri. Berhubung tidak dapat memperoleh kepastian informasi tentang keadaan orangtuanya, maka ia memutuskan untuk pulang ke Yogyakarta pada Sabtu siang itu dari Jakarta.

Butuh perjuangan berat, sebab sesampai di Yogyakarta pada Minggu dini hari, transportasi menuju kampungnya lumpuh. Padahal jarak Yogyakarta-Imogiri lumayan juga, sekitar 17 km.

Rasa cemas mengalahkan segalanya sehingga Eni, yang kebetulan pulang bersama saudaranya yang orangtuanya tinggal tidak jauh dari kampung orangtua Eni, memutuskan untuk berjalan kaki. Beruntung, baru separuh perjalanan, ada kendaraan menuju ke Imogiri yang bersedia ditumpanginya.

Eni baru merasa lega setelah tahu orangtuanya selamat, meski sebagian rumahnya hancur dan dindingnya retak-retak. Kondisi itu masih lebih bagus dibandingkan dengan bangunan milik para tetangga kiri-kanannya yang rata dengan tanah. Bahkan, Kabupaten Puroloyo, salah satu situs milik Keraton Yogyakarta pun sami mawon, rata dengan tanah. Tembok kukuhnya memang cuma batu bata yang ditata tanpa menggunakan perekat semen.

Saking banyaknya korban akibat Gempa Jogja, sampai-sampai perawatan korban dilakukan di luar rumah sakit (Intisari)
Saking banyaknya korban akibat Gempa Jogja, sampai-sampai perawatan korban dilakukan di luar rumah sakit (Intisari)

Di kampungnya korban meninggal tercatat tiga orang, kebanyakan tertimpa reruntuhan tembok rumah. Namun, ada juga yang selamat tanpa lecet sedikit pun meski rumahnya ambruk. Bu Suyitno (ketika itu 70), misalnya. Menurut Joko, anaknya yang bekerja di Jakarta dan buru-buru pulang ke Yogyakarta, begitu kabar gempa tersebar, di rumah yang tiga perempatnya rubuh itu ibunya tinggal bersama salah seorang anak perempuannya, Nani.

Seperti malam-malam sebelumnya, Bu Suyitno yang menderita stroke tidur di ruang tengah. Ketika gempa mengguncang, secara refleks Nani lari keluar rumah tanpa sempat menyelamatkan ibunya. Ketika gempa selesai, Nani yang ingin mengetahui kondisi ibunya teralang pintu rumah yang miring sehingga susah dibuka. Bersama saudaranya akhirnya Nani bisa masuk ke rumah, dan untunglah ibunya tidak mengalami cedera. Padahal kondisi di dalam rumah sudah berantakan. Lemari-lemari roboh menghamburkan seluruh isinya ke mana-mana. Bisa jadi ibunya selamat karena terjatuh ke lantai dan tempat tidurnya menjadi tempat perlindungan yang kukuh.

Keberuntungan serupa dialami Ny. Pawiro Dasi (ketika itu 85). Seperti pagi-pagi sebelumnya, pemilik toko terlengkap di Ganjuran, Bantul, ini duduk di samping tokonya. Namun, pagi itu dia keluar lebih awal dari biasanya. Begitu gempa terjadi, perempuan yang berkursi roda karena patah tulang punggungnya ini langsung tertimpa jendela yang jebol dan diikuti material-material lain. Suryadi, anak lelakinya yang menderita sulit bicara, begitu tahu ibunya tertimbun reruntuhan rumah, lantas berteriak-teriak memanggil ibunya sambil menangis. Karena sambil membopong anak balitanya, tentu dia tidak bisa sendirian menyelamatkan ibunya.

Suharwanto, anak bungsunya yang tinggal tak jauh dari situ, sedang membantu tetangga sebelahnya yang juga tertimpa runtuhan rumah. Akan tetapi begitu ingat akan nasib ibunya, anggota DPRD Bantul ini langsung bergegas pergi ke rumah ibunya. Bersama-sama kakak beradik ini membongkar reruntuhan rumah yang menimpa ibu mereka. Syukurlah, sang ibu tidak mengalami luka serius, hanya pelipisnya terkena pecahan kaca, meski sempat dibawa ke RS Dr. Sardjito, Yogyakarta. Untungnya lagi, Bu Pawiro keluar dari kamar tidur lebih awal. Dinding kamar tidurnya roboh persis menimpa tempat tidurnya.

Lain lagi dengan kisah Dawami (ketika itu 35), warga Ngringinan, Palbapang, Bantul. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai pembuat barang kerajinan ini sedang tiduran di kamar tengah bersama anak laki-lakinya. Dawami, yang belum sembuh benar dari penyakit usus buntu terkejut sekali ketika gempa terjadi. Tiba-tiba saja ruang belakang sudah mulai roboh, bersama anak-nya dia bangkit dan hendak keluar ke arah depan. Begitu sampai di pintu, ruang depan pelan-pelan juga roboh. Maka, bersama anak laki-lakinya dia bertahan di ruang tengah. Kedua tangannya ke atas seakan-akan ingin melindungi diri. Dia hanya bisa pasrah. Ajaib, kamar tengah yang dia tempati justru tidak runtuh.

Gubuk beratap terpal biru menjadi pemandangan yang umum dilihat setelah Gempa Jogja 27 Mei 2006 (Intisari)
Gubuk beratap terpal biru menjadi pemandangan yang umum dilihat setelah Gempa Jogja 27 Mei 2006 (Intisari)

Sembunyi di almari

Keberuntungan juga menghampiri Ny. Zubaisah (ketika itu 83) warga Gedogan, Sumbermulya, Bambanglipuro. Saat itu dia sedang duduk di gandok yang juga dijadikan warung kecil-kecilan. Anaknya, Sunarti (ketika itu 38), baru saja mengeluarkan sepeda motor bebeknya di halaman. Dia hendak mandi, lalu mengambil handuk. Meski sudah siap dengan handuk, dia mengurungkan niatnya untuk mandi lantaran matanya melihat halamannya tampak kotor pagi itu. Sunarti pun keluar, lalu menyapu halaman itu.

Baru beberapa menit menyapu, tiba-tiba tanah tempatnya berpijak bergoyang. Sunarti segera berlari ke gandok menghampiri emak-nya dan menyeretnya keluar sebelum rumah mereka roboh. Coba kalau Sunarti langsung mandi di belakang, entah apa yang terjadi dengan ibunya yang sudah sulit berjalan karena sepuh itu.

Hal yang sama dialami Ignatius Warsidi (ketika itu 78) yang tinggal di Tegalkrapyak, Kecamatan Dongkelan, Bantul. Gara-gara tikus dia selamat dari goyangan lindu. Malam sebelumnya, dia memasang perangkap tikus. Pagi hari ketika sedang memasak air, istrinya melihat ada tikus terjebak di perangkap yang dipasang Warsidi. Berhubung takut memegang tikus, istrinya berniat membangunkannya untuk disuruh membuang. Baru saja Warsidi bangun, tiba-tiba tanah bergoyang. Dengan sigap suami-istri itu langsung menghambur keluar. Mereka menyaksikan rumah yang ditinggalinya luruh mencium tanah.

Anehnya, gempa sebesar itu tidak dirasakan oleh Wignyo (ketika itu 60-an), warga Pundung, Kecamatan Imogiri, yang pagi itu sedang menyapu halaman. Tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh suara gemuruh robohnya rumah. Alhasil dia tidak bisa menyelamatkan istrinya yang tertimpa tembok sehingga harus dirawat di rumah sakit karena kakinya cedera.

Gempa yang berlangsung pagi itu memang tak sampai semenit lamanya. Beruntung bagi Didik (ketika itu 38), warga Dodotan, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul. Refleks berpikir sopir Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini masih baik sehingga ia bisa selamat dari gempa. Waktu itu bersama anak perempuannya dia masih berada di dalam rumah. Begitu melihat rumah mulai roboh, Didik segera berlari ke arah lemari sambil menggandeng anaknya. Berdua mereka masuk ke dalam lemari pakaian. Meski rumah Didik hancur mencium tanah, dia dan anak perempuannya terlindung di dalam lemari.

Cerita korban yang selamat dari gempa tentu masih banyak lagi. Agar peristiwa yang memakan korban jiwa dan luka-luka itu tak terulang lagi, maka Sugeng dan korban lain yang selamat perlu mengisahkan peristiwa itu dan mengingatkan kepada anak keturunannya agar membangun rumah yang tahan gempa. Soalnya, dari reruntuhan bangunan itulah korban berjatuhan. Gempa-gempa besar di lokasi yang sama bisa jadi bakal berulang, meski dalam rentang waktu yang lama, bisa di atas 50 tahunan. Bahkan bisa 100 - 300 tahunan.

Artikel Terkait