Wacana Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali mencuat. Banyak yang menolak tapi ada juga yang tak mempermasalahkannya.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Belakangan wacana tentang pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali mencuat. Usulan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional muncul dari Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi.
"Gubernur mendapatkan masukan dari bupati, wali kota, yang sebelumnya bupati dan wali kota itu adalah masukan dari masyarakat lewat seminar dan lain sebagainya," ujar Menteri Sosial Saifullah Yusuf, sebagaimana dilansir Kompas.com pada 20 April 2025 lalu.
Gus Ipul, sapaan akrabnya, juga menjelaskan bahwa sebelum sampai di meja gubernur, usulan tersebut juga sudah melalui tahapan yang melibatkan sejarawan dan tokoh di masing-masing daerah. "Setelah seminar selesai, ada sejarawannya, ada tokoh-tokoh setempat, dan juga narasumber lain yang berkaitan dengan salah seorang tokoh yang diusulkan jadi pahlawan nasional. Setelah itu, nanti prosesnya naik ke atas, ke gubernur, ada seminar lagi, setelah itu baru ke kami," kata dia.
Proses selanjutnya adalah Kemensos melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial membuat tim terkait usulan Pahlawan Nasional 2025 ini. Tim itu diisi oleh berbagai pihak, mulai dari akademisi, sejarawan, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat.
"Membahas usulan-usulan dari gubernur-gubernur, dari berbagai gubernur seluruh Indonesia," ucap Gus Ipul. "Nah, setelah itu nanti kita matangkan, saya akan mendiskusikan, memfinalisasi, kami tanda tangani, langsung kita kirim ke Dewan Gelar," imbuh dia.
Soeharto, Presiden Indonesia ke-2, diusulkan sebagai calon Pahlawan Nasional 2025 oleh Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret 2025. Gus Ipul mengatakan, pengusulan tersebut dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat.
"Jadi memenuhi syarat melalui mekanisme. Ada tanda tangan Bupati, Gubernur, itu baru ke kita. Jadi memang prosesnya dari bawah,” ucap Gus Ipul, dikutip dari situs resmi Kementerian Sosial.
Soeharto bukan satu-satunya nama yang diusulkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2025 ini. Ada juga nama K.H. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Sansuri (Jawa Timur), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), dan K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat).
Lalu, empat nama baru yang diusulkan tahun ini adalah Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara), dan K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur). Di samping jasa-jasanya sebagai presiden, sosok Soeharto juga diliputi kontroversi dan catatan hitam, terutama terkait pelanggaran hak asasi manusia serta dugaan korupsi.
Terkait usulan Soeharto jadi pahlawan nasional tentu menimbulkan pro dan kontra.
Menurut sejarawan UGM Agus Suwignyo
Menurut sejarawanUniversitas Gadjah Mada (UGM) Agus Suwignyo, Soeharto memang memenuhi kriteria dan persyaratan untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional.
Merujuk aturan tersebut, tokoh yang diajukan menjadi Pahlawan Nasional harus memenuhi persyaratan umum dan khusus, seperti berkontribusi secara nyata sebagai pemimpin atau pejuang, serta tidak pernah mengkhianati bangsa. "Soeharto diakui memiliki peran besar ketika memperjuangkan kemerdekaan. Sepanjang meniti karier militer, Soeharto pernah bergabung dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil merebut Kota Yogyakarta dari cengkraman kolonial," kata dia, dikutip dari laman UGM.
Dia juga menambahkan, Soeharto juga turut berperan dalam operasi pembebasan Irian Barat pada 1962 saat masih menjadi Panglima Komando Mandala. Peran penting Soeharto di bidang militer membuktikan bahwa dirinya memiliki pengaruh kuat dalam kemerdekaan Indonesia. Meski demikian, Agus meminta pemerintah untuk tidak mengabaikan fakta sejarah dan kontroversi Soeharto, terutama pada peristiwa 1965.
Komnas HAM
Penolakan juga datang dari Ketua Komisi Nasional hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah. Dia mempertanyakan wacana pemerintah menetapkan Soeharto sebagai pahlawan yang dia lihat sebagai sesuatu yang berseberangan dengan reformasi bahkan nilai konstitusi.
"Jadi, saya kira penting untuk dikembalikan pertanyaannya kepada kita semua. Apakah pantas? Saya bertanya kepada teman-teman yang hadir pada siang hari ini, apakah pantas seseorang yang kemudian mendorong kita semua untuk melahirkan reformasi kemudian akan diberikan gelar sebagai pahlawan?" tanya Anis.
Dia menambahkan, alasan masyarakat saat itu mendorong reformasi karena kepemimpinan Soeharto yang diktator dan melenceng dari tujuan pendirian negara sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Pemerintahan Soeharto justru menimbulkan berbagai kerusakan dan menjauhkan masyarakat dari keadilan sosial.
“Kenapa 27 tahun lalu bangsa kita melakukan reformasi? Saya kira sangat jelas gitu ya, bagaimana pemimpin yang diktator,” kata Anis.
Sosiolog Ubedilah Badrun
Sosiolog sekaligus aktivis 1998Ubedilah Badrun juga mempertanyakan wacana tersebut. Dia menyebut kondisi Indonesia saat ini mengalami kemunduran. Apa yang terjadi saat ini dengan menggulirkan wacana penetapan Soeharto sebagai pahlawan, menurutnya, jauh dari harapan reformasi.
"Apakah Soeharto yang pernah ditetapkan sebagai tersangka koruptor, layak disebut sebagai orang yang punya integritas tinggi dan menjadi teladan bagi bangsa ini?" Ubed bertanya-tanya.
Wakil Menteri Sosial
Sementara itu, menurut Wakil Menteri Sosial (Wamensos) Agus Jabo, kewenangan pemberian gelar pahlawan kepada Soaharto ada di Istana. Menurutnya, Kementerian Sosial (Kemensos) hanya berwenang mengusulkan gelar pahlawan.
"Jadi Kemensos hanya mengusulkan saja, keputusan yang tetap nanti di Istana,” ujar Agus saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu.
Dia juga mengungkapkan, Kemensos telah memproses semua usulan yang diterima melalui (Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat). Menurutnya, tim tersebut juga memproses nama Soeharto yang diajukan oleh sejumlah pihak.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan bahwa wacana pemberian gelar Soeharto seakan sama saja dengan melupakan warisan kepemimpinan sosok tersebut yang berlangsung selama 32 tahun. Reformasi 1998 yang dihasilkan dengan penuh perjuangan juga seakan ingin diputarbalikkan sejarahnya.
Dia juga menyoroti soal proses asesmen kelayakan yang dilakukan Kemensos. Dengan menyerahkan keputusan akhir ke Istana, menurut dia, Kemensos seakan melepaskan tanggung jawabnya untuk memeriksa kelayakan seorang tokoh berbasis integritas moral dan keteladanan. Terlebih ada peristiwa gerakan rakyat yang menuntut Soeharto turun dari jabatan Presiden.
"Jiia Soeharti memiliki dua syarat itu, tidak mungkin dia dijatuhkan. Tidak mungkin ada reformasi. Tidak mungkin ada sistem multipartai,” kata Usman.
Usman juga menilai, wacana pemberian gelar itu juga kental muatan politis. Sebab, kata dia, Presiden Prabowo merupakan kerabat dekat Soeharto. Kedekatan semacam itu yang kemudian membuat keputusan pemerintah sarat konflik kepentingan dan seharusnya dihindari dalam menentukan keputusan politik negara.
Karena itulah dia meminta agar pemerintah membatalkan rencananya untuk memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto. Alih-alih melanjutkan prosesnya, lebih baik pemerintah menyelesaikan pekerjaan rumahnya yang jauh lebih serius, yakni terkait pengungkapan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, termasuk yang terjadi sejak 1965.
Politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu
Politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu menyebut usulan itu tak sejalan dengan semangat reformasi pada 1998 yang memperjuangkan demokrasi. Karena itulah dia meminta supaya usulan tersebut tak diteruskan lagi. "Maka ketika muncul polemik pemberian gelar, ya menurut saya jangan diteruskan (usulan Soeharto-nya)," ujar Masinton saat ditemui di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Rabu (21/5/2025).
Masinton mengatakan, sejarah masih terus berjalan semenjak reformasi pada 1998. Dia pun mengajak seluruh aktivis '98 untuk merenungkan secara bersama-sama perihal gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. "Kalau Pak Harto diberikan gelar pahlawan, nah terus yang aktivis yang memperjuangkan gerakan pada saat itu berarti pengkhianatan?" ujar Masinton.
Ditolak 30 lembaga internasional
Sementara itu, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jane Rosalina, mengungkapkan bahwa 30 lembaga internasional menolak usulan agar Soeharto menerima gelar pahlawan nasional. Penolakan itu berupa joint statement dan penandatanganan oleh 30 lembaga internasional yang tak setuju Soeharto ditetapkan menjadi pahlawan nasional.
"Kami juga mendapat dukungan dari masyarakat internasional untuk menolak gelar pahlawan kepada Soeharto berupa joint statement yang sudah ditandatangani. Setidaknya ada 30 lembaga internasional yang menandatangani dan juga sudah kami serahkan," ujat Jane saat menemui Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf di Kantor Kementerian Sosial pada Kamis (15/5/2025).
Golkar Jatim pada 2024
Pada 2024 lalu, DPD Golkar Provinsi Jawa Timur (Jatim) termasuk yang mengusulkan gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI, Soeharto. Mereka menganggap Soeharto memiliki jasa besar dalam membangun Indonesia.
Usulan itu bahkan diwujudkan dalam bentukseminar bersama para pakar di Kantor DPD Golkar Jatim, Surabaya. Sekjen DPP Partai Golkar sekaligus Ketua DPD Golkar Jatim M Sarmuji yang mengikuti secara daring menyampaikan sudah sepatutnya Soeharto menjadi pahlawan nasional.
"Pak Soeharto adalah bapak pembangunan Indonesia," ujarnya saat itu. "Jasa-jasanya dan dedikasinya membangun Indonesia sangat luar biasa, sudah sepatutnya diberikan gelar pahlawan nasional."
Istana Negara
Lalu bagaimana reaksi Istana? Menurut Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, tidak ada yang salah dengan wacana menjadikan Presiden ke-2 Soeharto sebagai pahlawan nasional. Prasetyo menganggap wajar apabila mantan kepala negara mendapat gelar tersebut.
"Saya kira kalau kami merasa, apa salahnya juga? Menurut kami, mantan-mantan presiden itu sudah sewajarnya untuk kita mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara kita," ujar Prasetyo di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 21 April 2025.
Prasetyo meminta masyarakat tidak melihat Soeharto dari kekurangannya. Tapi, juga dilihat dari prestasi dalam membangun Indonesia. "Jangan selalu melihat yang kurangnya, kita lihat prestasinya. Sebagaimana Bapak Presiden selalu menyampaikan kita itu bisa sampai di sini kan karena prestasi para pendahulu-pendahulu kita," ujar dia.
Terkait adanya polemik dugaan kasus korupsi yang menyeret Soeharto, Prasetyo menilai tergantung sudut pandang masing-masing individu. Namun, dia menyakini gelar ini akan diberikan untuk menghargai pemimpin-pemimpin terdahulu.