Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Islam Terbesar di Sumatera yang Bikin Repot Belanda

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan Islam terbesar di Pulau Sumatera, bikin repot Belanda dalam Perang Aceh (Wikipedia Commons)
Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan Islam terbesar di Pulau Sumatera, bikin repot Belanda dalam Perang Aceh (Wikipedia Commons)

Salah satu yang diingat orang terkait sejarah Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan Islam terbesar di Pulau Sumatera, adalah kegigihan dalam melawan Belanda saat Perang Aceh.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kerajaan Aceh Darussalam atau Kesultanan Aceh Darussalam, jika dilihat dari keberadaannya, termasuk kerajaan Islam paling lama berkuasa di Aceh dan Pulau Sumatera. Masa kekuasaannya membentang dari 1496 hingga 1903, sekitar lima abad.

Pendiri Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496. Ibu kotanya berada di Kutaraja atau Banda Aceh sekarang.

Aceh mencapai masa jayanya ketika diperintah oleh Sultan Iskandar Muda dari 1607 hingga 1636. Pada masanya, Kerajaan Acehberhasil menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama dan melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka. Tak hanya itu, pasa masa itu Aceh juga menjadi jalur perdagangan yang strategis.

Kerajaan Aceh berdiri berawal dari Barat sudah tiba di Selat Malaka. Kondisi itu mendorong Sultan Ali Mughayat Syah menyusun kekuatan dengan menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di bawah payung Kerajaan Aceh sehingga punya kekuatan besar dan kokoh.

Untuk mewujudkan itu, Sultan Ali Mughayat Syah membentuk angkatan darat dan laut yang kuat. Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kerajaan Aceh.

Dasar-dasar politik itu meliputi mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar; menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara; bersikap waspada terhadap negara Barat; menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar; menyebarkan Islam ke seluruh nusantara.

Jika Sultan Ali Mughayat Syah terkenal karena dialah pendiri kerajaan, Sultan Iskandar Muda populer karena di tangannyalah Kerajaan Aceh Darussalah mencapai masa kejayaannya. Bisa dibilang,kehidupan politik di Kerajaan Aceh Darussalam dibagi menjadi dua babak: sebelum dan sesudah masa Sultan Iskandar Muda.

Kehidupan politik Kerajaan Aceh sebelum dan sesudah pemerintahan Sultan Iskandar Muda sangat berbeda. Pada periode awal, konsentrasi politik lebih tercurah untuk pembentukan kekuatan militer dalam upaya mempertahankan keberadaannya dari ancaman yang datang dari dalam ataupun luar.

Di samping itu, kekuatan militernya diperlukan untuk ekspansi ke daerah sekitar guna menambah wilayah kekuasaan. Tapi ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa, dia tidak hanya melanjutkan kegiatan ekspansi wilayah seperti para pendahulunya, juga berusaha menata sistem politik dalam kerajaan, terutama yang berkaitan dengan konsolidasi dan peletakan pengawasan terhadap wilayah-wilayah yang dikuasainya.

Setelah Sultan Iskandar Muda naik takhta, Kesultanan Aceh mengalami perkembangan pesat hingga mencapai puncak kejayaannya. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan, bahkan menjadi bandar transit yang menghubungkan dengan pedagang Islam di Barat.

Sultan Iskandar Muda juga meneruskan perjuangan Aceh dengan menyerang Portugis dan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya supaya bisa menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Di samping itu, Kerajaan Aceh memiliki kekuasaan yang sangat luas, meliputi daerah Aru, Pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri.

Tapi sayang, keberhasilan yang ditorehkan oleh Sultan Iskandar Muda gagal diteruskan oleh penerus-penerusnya. Pada1641, sepeninggal Sultan Iskandar Thani, Kerajaan Aceh mengalami kemunduran.

Faktor kejatuhan Kerajaan Aceh paling utama adalah adanya perebutan kekuasaan di antara para pewaris takhta. Selain itu, kekuasaan Belanda di Pulau Sumatera dan Selat Malaka semakin menguat. Pada masa pemerintahan raja terakhir Kerajaan Aceh, Belanda terus melancarkan perang terhadap Aceh. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke pangkuan kolonial Belanda.

Perang Aceh

Perang Aceh bisa dibilang menjadi salah satu biang kerok runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam. Perang ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun.

Perang Aceh dimulai ketika Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh pada 26 Maret 1873. Perang selama hampir empat dekade itu menjadi salah satu perang terlama dalam sejarah perang di Indonesia -- dan salah satu yang paling merepotkan Belanda.

Perang Aceh ditandai dengan pertempuran sengit dan berdarah dengan korban jiwa yang besar di kedua belah pihak. Penyebab utama perang ini adalah persaingan atas wilayah Aceh yang kaya akan rempah-rempah.

Konflik berlangsung antara Belanda dan Kesultanan Aceh yang ingin mempertahankan kemerdekaan.

Perang Aceh dipicu upaya Belanda menguasai wilayah Kesultanan Aceh. Salah satu faktor utama perang ini adalah pentingnya Kesultanan Aceh dalam perdagangan internasional setelah Terusan Suez dibuka.

Hal tersebut, meningkatkan keinginan Belanda untuk menguasai wilayah Kesultanan Aceh. Sebelum perang ini, Belanda telah berhasil menguasai sebagian wilayah Kesultanan Deli yang mencakup Serdang, Asahan, dan Langkat berdasarkan Perjanjian Siak pada 1858.

Padahal, wilayah-wilayah tersebut awalnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Perjanjian London tahun 1824 sebenarnya mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh atas wilayahnya. Namun, dengan munculnya Perjanjian Siak dan intervensi Belanda, Kesultanan Aceh merasa bahwa Belanda telah melanggar perjanjian London.

Dalam upaya untuk mempertahankan kemerdekaannya dan melawan penjajahan Belanda, Kesultanan Aceh pun memulai pertempuran. Selama perang ini, Kesultanan Aceh bahkan berhasil menenggelamkan kapal-kapal Belanda yang melewati perairan mereka.

Pada 1871, Belanda dan Inggris mencapai perjanjian. Inggris pun menyerahkan kendali atas Aceh kepada Belanda. Hal ini mendorong Kesultanan Aceh untuk mengambil tindakan diplomatis untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Perang Aceh dibagi dalam empat periode dengan melibatkan berbagai strategi yang digunakan oleh kedua belah pihak.

1. Perang Aceh periode pertama (1873-1874)

Pada periode awal Perang Aceh, yang berlangsung sejak 1873 hingga 1874, Belanda menerapkan strategi perang semesta atau perang total. Saat itu, pasukan Belanda dipimpin oleh Köhler.

Mereka berusaha untuk menguasai wilayah Aceh secara penuh dengan menggelar serangan militer besar-besaran dan pendudukan wilayah secara intensif. Ini mencakup upaya untuk menyerang pusat-pusat kekuasaan Kesultanan Aceh dan mengontrol wilayah-wilayah strategis.

Sementara itu, masyarakat Aceh berperang dengan melibatkan Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah sebagai pemimpin perlawanan terhadap pasukan Belanda. Berkat strategi perang yang baik, pasukan Köhler dengan diperkuat 3.000 tentara berhasil dihadapi dan dikalahkan oleh masyarakat Aceh.

Köhler pun tewas pada 14 April 1873. Hanya 10 setelahnya, pertempuran meletus di berbagai wilayah, termasuk upaya merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, dengan dukungan dari beberapa kelompok pasukan.

Selain itu, pertempuran juga terjadi di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, hingga Lambada, dan Krueng Raya. Ribuan penduduk dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan berbagai wilayah lainnya juga bergabung dalam perjuangan tersebut.

2. Perang Aceh periode kedua (1874-1880)

Pada periode kedua Perang Aceh yang berlangsung sejak 1874 hingga 1880, Kesultanan Aceh beralih ke strategi perang gerilya. Pada periode ini, Teuku Umar memimpin gerakan perlawanan ini.

Teuku Umar menggunakan strategi perang gerilya melibatkan serangan cepat, taktik hit-and-run, dan pemanfaatan medan yang sulit untuk mempersulit upaya pengejaran oleh pasukan Belanda. Akan tetapi, pasukan Belanda di bawah kepemimpinan Jenderal Jan van Swieten, berhasil menaklukkan Keraton Sultan pada 26 Januari 1874, yang kemudian dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.

Pada 31 Januari 1874, Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh wilayah Aceh secara resmi menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Saat Sultan Machmud Syah meninggal pada 26 Januari 1874, Tuanku Muhammad Dawood diangkat menjadi sultan di Masjid Indrapuri.

3. Perang Aceh periode ketiga (1881–1896)

Selama Perang Aceh periode ketiga terjadi serangkaian peristiwa signifikan yang mencakup serangan besar-besaran oleh Belanda terhadap Aceh, penggunaan taktik militer keras, dan pertempuran sengit antara pasukan kolonial Belanda dan pemberontak Aceh dengan dipimpin oleh Teuku Umar.

Pembakaran desa, penggunaan senjata api, serta isolasi ekonomi terhadap Aceh oleh Belanda menjadi ciri khas perang ini. Selama perang gerilya tersebut, pasukan Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar, bersama dengan Panglima Polim dan Sultan.

Pada 1899, terjadi serangan mendadak oleh Van der Dussen di Meulaboh yang mengakibatkan gugurnya Teuku Umar. Namun, Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar, kemudian mengambil peran sebagai komandan perang gerilya. Perang ini berakhir dengan Perjanjian Boven-Digoel pada 1896 yang memberikan pengakuan terbatas terhadap kedaulatan Sultan Aceh.

4. Perang Aceh periode keempat (1896-1910)

Perang Aceh periode keempat pada 1896 hingga 1910 menggunakan strategi sporadis tanpa adanya komando dari pemerintah Aceh. Sebagian besar perang dilakukan dalam bentuk gerilya yang melibatkan kelompok dan individu yang melakukan perlawanan, serangan, pengadangan, dan pembunuhan tanpa ada komando sentral dari pemerintahan Kesultanan.

Demi mencapai kemenangan dalam Perang Aceh, Belanda menerapkan strategi yang licik dengan mengirim Snouck Hurgronje ke pedalaman Aceh untuk mengungkap titik lemahnya pasukan Aceh. Hasilnya, Dr. Snouck Hurgronje menyarankan kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz agar mengesampingkan terlebih dahulu golongan Keumala (Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya, serta terus menyerang dan fokus pada kaum ulama.

Dia juga menyarankan untuk tidak melakukan negosiasi dengan pemimpin gerilya dan mendirikan pangkalan permanen di Aceh Raya. Selain itu, Snouck Hurgronje mengusulkan agar Belanda menunjukkan niat baik kepada rakyat Aceh dengan mendirikan langgar, masjid, memperbaiki infrastruktur seperti jalan dan irigasi, serta memberikan bantuan dalam pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Strategi dari Dr. Snouck Hurgronje ini diterima oleh Van Heutz, yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Militer dan Sipil di Aceh pada periode 1898-1904. Dr. Snouck Hurgronje kemudian diangkat sebagai penasihatnya dalam melaksanakan strategi tersebut.

Dengan menggunakan strategi tersebut, Belanda berhasil mengalahkan Aceh dan perang diakhiri dengan penandatanganan Traktat Pendek atau perjanjian penyerahan. Selanjutnya, pada 1903, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem menyerah setelah mengalami tekanan yang berat.

Karena itulah hasil akhir Perang Aceh adalah pembubaran Kesultanan Aceh dan wilayahnya jatuh ke tangan Belanda.

Begitulah sejarah Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan Islam terbesar di Pulau Sumatera yang bikin repot Belanda dalam Perang Aceh yang berlangsung selama 30 tahun lebih.

Artikel Terkait