Meskipun Kecil, Giri Kedaton yang Dipimpin Sunan Giri Tetaplah Kerajaan Islam yang Patut Diperhitungkan

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Meskipun wilayah kekuasaannya kecil, Giri Kedaton yang dipimpin Sunan Giri tetaplah kerajaan Islam yang patut diperhitungkan (Wikipedia Commons)
Meskipun wilayah kekuasaannya kecil, Giri Kedaton yang dipimpin Sunan Giri tetaplah kerajaan Islam yang patut diperhitungkan (Wikipedia Commons)

Giri Kedaton yang dipimpin oleh Sunan Giri memang wilayah kekuasaannya kecil. Meski begitu, kerajaan Islam ini patut diperhitungkan keberadaannya.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Giri Kedaton yang dipimpin oleh Sunan Giri bukan cuma pusat pendidikan agama Islam abad ke-15 hingga abad ke-17. Meskipun wilayah kekuasaannya kecil, Giri Kedaton tetaplah kerajaan Islam yang patut diperhitungkan.

Giri Kedaton tentu tak bisa dilepaskan dari sosok Sunan Giri, yang merupakan salah satu anggota Wali Songo, yang berdakwa di daerah Gresik dan Jawa Timur.

Menurut beberapa sumber, Sunan Giri lahir sekitar 1442 Masehi di daerah Blambangan dengan nama Raden Paku atau Joko Samudro. Sunan Giri adalah putra dari Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu.

Ayahnya adalah ulama yang berasal dari Asia Tengah. Sedangkan ibunya putri penguasa Blambangan, Menak Sembuyu.

Menurut cerita, saat kecil diadibuang ke laut sebab dianggap berbahaya bagi kondisi kerajaan kala itu. Dari situlah dia mendapatkan nama Joko Samudro. Ada dua versi alasan pembuangan ini. Pertama karena dianggap membawa wabah penyakit, kedua karena disingkirkan oleh patih kerajaan karena saat dewasa akan menjadi pewaris takhta.

Sunan Giri tidak hanya berperan sebagai pendakwah Islam, tetapi dia juga ambil bagian dalam dinamika politik Nusantara kala itu dengan mendirikan Kesunanan Giri atau Giri Kedaton, sebuah pusat pemerintahan Islam yang terletak di puncak sebuah bukit dengan tanjakan tajam yang relatif curam, tepatnya di wilayah Kelurahan Sidomukti, Kecamatan Kebomas, Gresik.

Menurut Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1985) oleh HJ de Graaf, Giri Kedaton menjadi pusat keagamaan bagi umat Islam di Jawa Timur dan bagian Timur Nusantara pada abad ke-16 dan ke-17.

Pembangunan Giri Kedaton diperkirakan terjadi pada 1485, setelah Sunan Giri pulang menimba ilmu di Malaka. Sebelumnya, Sunan Giri kecil yang dibuang ke laut ditemukan oleh seorang nakhoda perahu milik Nyai Gede Pinatih dari Gresik.

Kemudian dia diangkat sebagai anak oleh sang nyai. Ketika beranjak dewasa, Sunan Giri kemudian dikirim ibu angkatnya untuk berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Di sana, dia menjadi murid seperguruan Sunan Bonang.

Sunan Ampel kemudian memerintahkan mereka berdua pergi ke Malaka dan menjadi murid Maulana Ishaq (ayah Raden Paku/Sunan Giri), yang memberi mereka tugas untuk menyebarkan Islam di Jawa Timur.

Setelah tiba di Gresik dia membuat padepokan yang terletak di sebuah bukit.Dia lantas memilih nama Prabu Satmata. Di kompleks Giri Kedaton, Sunan Giri atau Prabu Satmata juga membangun sebuah "taman sari" pada 1488, yang dahulu kala merupakan bagian dari kompleks istana raja di Jawa.

"Memiliki taman semacam itu tentu menambah wibawa dan kekuasaan pemimpin agama pertama di Giri," tulis de Graaf.

Menurut de Graaf, tindakan Prabu Satmata dari Giri itu (seperti juga yang dilakukan para wali Islam di Jawa pada zaman yang sama) dapat dianggap sebagai suatu usaha memantapkan dan menguatkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan.

Meski demikian, Giri Kedaton masih belum menjadi pusat kekuasaan pemerintahan atau pusat ekonomi yang berarti pada masa Prabu Satmata atau Sunan Giri. Pada permulaan abad ke-16 kekuasaan Kerajaan Majapahit di pedalaman Jawa Timur masih cukup besar.

Sunan Giri meninggal dunia pada 1506 dan posisinya digantikan oleh anak-cucunya. Masa kejayaan Giri Kedaton terjadi pada masa Sunan Giri keempat, yang dikenal sebagai Sunan Prapen, yang memerintah dari 1548 sampai 1605.

Dia banyak berjasa membentuk dan memperluas kekuasaan "kerajaan Imam" Islam, baik di Jawa Timur dan Jawa Tengah maupun di sepanjang pantai pulau-pulau Nusantara Timur. Tak hanya itu, Giri Kedaton juga menduduki peran sebagai tempat mencari legitimasi kekuasaan bagi raja-raja Islam.

Pada 1581, Sunan Prapen melantik Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir dari Kerajaan Pajang sebagai raja Islam utama.

Pelantikan di Giri Kedaton itu dihadiri raja-raja dari Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madura, dan bahkan raja-raja daerah pantai Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati. "Boleh dianggap upacara ini merupakan suatu kemenangan bagi Sunan Prapen sebasai negarawan. la boleh berharap bahwa, di bawah pimpinan rohaninya, ketertiban pemerintahan di Jawa Timur akan tertanam teguh," tulis de Graaf.

Sunan Prapen atau Sunan Giri IV juga terlibat dalam mediasi Mataram dengan Surabaya. Pada 1589, terjadi pertempuran antara keduanya, dan Sunan Prapen bertindak sebagai penengah.

Ditaklukkan Mataram Islam

Hubungan Giri Kedaton dan Mataram terbilang unik. Mataram sejatinya sangat menghormati Sunan Giri, meski begitu, pada akhirnya kerajaan Islam yang berada di pedalaman Jawa bagian tengah itu menaklukkan pusat pendidikan Islam itu.

Ada beberapa hal yang dilakukan Panembahan Senopati setelah resmi menjadi raja Mataram Islam. Salah satunya adalah menguasai Jawa Timur. Karena itulah, hal pertama yang dia lakukan adalah meminta restu kepada penguasa Giri Kedaton, Sunan Giri, yang ketika itu adalah Sunan Prapen atau Sunan Giri Prapen.

Sebelum berangkat ke timur, Senopati mengutus pamannya, Dipati Mandaraka. Dia membawa serta para adipati, termasuk dari Pati, Demak, dan Grobogan langsung ke Jawa Timur sehingga mereka tidak perlu berkumpul dulu di Pajang.

Rombongan itu kemudian bertemu di Japan, sekarang Mojokerto. Di sana sudah muncul pasukan Jawa Timur yang dipimpin oleh Pangeran Surabaya yang khawatir Mataram ingin menaklukkan semua kerajaan Jawa Timur.

Dalam rombongan Pangeran Surabaya ada para bupati Jawa Timur dan Madura. Di tempat yang sama datang juga utusan Sunan Giri.

Kepada Senopati dan Pangeran Surabaya, utusan itu membacakan surat Sunan Giri. Isinya larangan berperang guna mencegah pertumpahan darah dan menyelamatkan rakyat kecil.

Kedua rombongan pun akhirnya memilih untuk berdamai dan berpisah dalam suasana persahabatan. Begitulah tulis H.J. De Graaf dalam bukunya, Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senopati.

Di situ De Graaf juga menyimpulkan, baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Serat Kandha, Sunan Giri merestui Senopati sebagai panembahan di Mataram Islam. Sunan Giri juga memaklumi Pajang yang semakin mundur.

Jawa Timur sendiri disebut melepaskan diri dari Jawa Tengah sebelum Pajang. Sehingga mereka tidak mau tunduk baik oleh Pajang maupun Mataram. Itulah kenapa Senopati sangat ingin menaklukkan Jawa Timur, salah satunya dengan minta restu dari Sunan Giri.

Tapi sejarawan seperti De Graaf tidak sepakat begitu saja dengan apa yang diutarakan oleh kedua sumber itu. Dengan tegas dia bilang bahwa sejatinya Mataram memang gagal menaklukkan Jawa Timur.

Masih dalam buku sama yang dia menulis, para bupati yang dipimpin oleh Pangeran Surabaya sudah waspada sejak awal. Saat rombongan Senopati datang mereka langsung menghadang serangan Mataram di Lembah Sungai Brantas dekat Mojokerto yang lokasinya tidak jauh dari bekas wilayah Majapahit.

"Serangan pertama Mataram yang dilakukan dengan semangat yang meluap-luap terhadap bagian timur Jawa gagal," begitu tulis De Graaf.

Jika sebagian besar bupati Jawa Timur melawan Mataram, bagaimana dengan Madiun? Bukankah untuk sampai Mojokerto harus melewati Madiun?

Menurut De Graaf, kemungkinan besar Madiun masih menjadi bagian dari Jawa Tengah. Tapi pada akhirnya, Madiun ikut bergabung dengan koalisi Pangeran Surabaya. Jawa Timur akhirnya benar-benar takluk dari Mataram setelah kesultanan dari pedalaman itu diperintah oleh Sultan Agung. Tak hanya Jawa Timur, Sultan Agung juga ingin Giri Kedaton tunduk sebagai daerah bawahannya.

Tapi Giri Kedaton yang ketika itu diperintah oleh Panembahan Kawis Guwa sempat menolak keinginan Mataram. Untuk menghadapi Giri, Sultan Agung mengutus iparnya, Pangeran Pekik, yang merupakan putra Jayalengkara mantan penguasa Surabaya.

Mataram akhirnya benar-benar menaklukkan Giri Kedaton pada 1636. Panembahan Kawis Guwa sendiri dipersilakan untuk tetap memimpin Giri dengan syarat harus tunduk kepada Mataram. Sejak saat itu wibawa Giri pun memudar. Pengganti Panembahan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I. Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677, di mana Keraton Plered porak-poranda. Amangkurat I sendiri akhirnya tewas dalam pelarian.

Putranya yang bergelar Amangkurat II datang ke Kadilangu untuk menemui Panembahan Natapraja, salah satu sosok sesepuh keturunan Sunan Kalijaga yang dianggap bijaksana dan kuat serta memiliki pasukan yang siap membantu Amangkurat II. Selain itu Amangkurat II juga bersekutu dengan VOC untuk melancarkan aksi pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa tahta berhasil menghimpun dukungan dan kekuatan yang akhirnya dapat menghancurkan pemberontakan Trunojoyo akhir tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan paling akhir adalah Giri Kedaton. Pada April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh Panembahan Natapraja dari Kadilangu yang didukung oleh VOC yang membantu Amangkurat II.

Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan setelah berduel melawan Panembahan Natapraja. Jumlah Pasukan Kadilangu hanya sedikit namun dapat memporak porandakan pasukan Giri Kedaton. Peristiwa ini tercatat dalam Babad Trunajaya-Surapati.

Begitulah, meskipunwilayah kekuasaannya kecil, Giri Kedaton yang dipimpin Sunan Giri tetaplah kerajaan Islam yang patut diperhitungkan.

Artikel Terkait