[ARSIP INTISARI]
Salah satu tujuan pemerintahan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram adalah mengusir VOC dari Pulau Jawa. Serangan itu berhasil membuat Kompeni stres meskipun mereka memenangkan pertempuran.
Penulis: A.S. Wibowo untuk Majalah Intisari edisi Agustus 1975
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Salah satu tujuan pemerintahan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram adalah mengusir VOC dari Pulau Jawa. Dua kali melakukan penyerangan dua kali pula kalah, meski begitu Mataram nyata sukses membuat Belanda kelimpungan.
Bagaimana ceritanya?
Meskipun bala tentara Mataram menderita kekalahan dalam dua kali serangannya atas Batavia, namun rupanya akibat serbuan itu cukup parah dirasakan oleh Kompeni. Sebabnya adalah karena sejak itu Kompeni mengalami boikot ketat dari Mataram sehingga mereka sukar memperoleh suplai beras dan kayu bakar.
Baca Juga: [ARSIP] Apa Jadinya Bila Kompeni Belanda Jadi Tawanan Sultan Agung?
Diboikot dari Barat maupun Timur
Sebagaimana diketahui, sejak kekalahannya yang kedua pada tahun 1629, Sultan Agung Mataram mulai membuka daerah Karawang menjadi daerah persawahan dengan maksud akan dijadikan batu loncatan dan gudang pangan bagi rencana serbuan berikutnya.
Meskipun sampai wafatnya Sultan Agung serbuan itu tak pernah terwujud lagi, namun akibat yang harus diderita Batavia sama saja.
Dalam Koloniaal Archief No. XXXIV antara lain dapat dijumpai keterangan bahwa Kompeni biasanya menebang kayu-kayu di hutan-hutan sebelah Barat sungai Citarum untuk keperluan kayu bakar. Juga sebagian dari beras untuk keperluan penghuni benteng Batavia diperoleh dari daerah Karawang ini. Akan tetapi kemudian Sultan Agung menempatkan pasukannya di daerah Karawang sejumlah 10 sampai 12 ribu orang.
Mereka ini menyita setiap kayu yang ditebang dan dimaksudkan untuk dikirim ke Batavia. Mereka juga mencegat perahu-perahu penduduk yang berlayar di sungai-sungai dan di sepanjang pantai; apabila perahu-perahu itu memuat beras dengan tujuan Batavia, maka beras itu pun disita pula.
Tindakan Mataram sedemikian itu sudah tentu amat menyulitkan Kompeni, karena hubungannya dengan Banten pun kurang baik. Apalagi ketika Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Banten (1651-1683).
Seperti halnya dengan Mataram, Sultan Tirtayasa ini juga berusaha melebarkan kekuasaannya di Jawa Barat dan menganggap adanya Kompeni di Batavia sebagai penghalang. Untuk itu dia pun melancarkan boikot pula terhadap Batavia, karena ia telah mempunyai sekutu dagang baru yaitu orang-orang Inggris yang sudah diizinkan membuka kantor dagangnya di teluk Banten.
Boikot yang diderita Kompeni dari arah Barat dan Timur ini menyebabkan mereka hampir-hampir tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan untuk penghuni Batavia. Karena itu dikirimkanlah beberapa orang duta khusus ke Mataram untuk mengadakan perundingan, namun usaha itu tetap tidak membawa hasil.
Bahkan duta-duta itulah yang harus menderita, karena biasanya mereka malah dijadikan sandera di Mataram dan baru dibebaskan kembali kalau Sultan yakin bahwa mereka bukanlah mata-mata yang dikirim Kompeni untuk menyelidiki kekuatan Mataram. Bahkan ada di antara anggota rombongan duta itu yang dihukum mati atau harus mendekam dalam penjara Mataram selama bertahun-tahun.
Ketika Sultan Agung wafat tahun 1645 Kompeni mengira Mataram akan memperlunak sikapnya. Beberapa orang duta dikirim pula ke Mataram tanpa hasil. Bahkan Mataram semakin memperketat boikot dan Susuhunan Mataram mengeluarkan ketentuan-ketentuan khusus bagi daerah-daerah Semarang, Demak, Jepara dan Rembang.
Di daerah-daerah yang terdapat beberapa kantor cabang VOC itu, Mataram menentukan bahwa: penduduk dilarang memperjual belikan beras lebih dari satu gantang setiap orang satu hari; dan penduduk dilarang menyimpan beras lebih dari untuk keperluan 4 — 5 hari bagi keluarganya. Bila kedapatan lebih, maka kelebihannya akan disita dan dibuang ke sungai-sungai.
Kapten jangkung
Setelah VOC gagal membujuk beberapa orang untuk bersedia menjadi duta ke Mataram karena mereka semua takut dijadikan sandera, maka pada tahun 1652 Gubernur Jenderal Carel Reiniersz menunjuk E. Rijckloff van Goens, seorang eerste koopman (yaitu semacam pangkat dalam hirarki VOC) pada benteng Batavia, menjadi duta Kompeni menuju Mataram.
Pada tanggal 22 September 1652 van Goens dengan memakai kapal pemburu "De Dromedaris" tiba di pelabuhan Jepara. Sedangkan Gubernur Jenderal mengirimkan pula dua buah kapal barang De Wolff dan De Griffioen" dikawal oleh kapal perang Overschie menuju Jepara untuk menjaga setiap kemungkinan.
Di Jepara van Goens mencari orang yang mau menjadi perantara serta menemaninya menghadap Susuhunan Mataram. Akhirnya, dengan ditemani oleh "Tommagon Natairnawa" (Tumenggung Noto Arnowo?) van Goens tiba di ibukota Mataram tanggal 11 Oktober 1652.
Rupanya van Goens ini memang bernasib baik, karena Susuhunan tidak segera memberi perintah untuk menangkapnya. Padahal dalam laporan yang dibuatnya pada Gubernur Jendral bertanggal 17 November 1652 ketika tugasnya telah selesai, kita jumpai keterangan bahwa: Sudah beberapa hari sebelum kedatangannya itu, Susuhunan selalu murung, tidak pernah tertawa, tidak pernah berunding dengan pejabat-pejabatnya dan hanya memberikan perintah-perintah disertai nada marah.
Duta VOC yang seorang ini ternyata pandai membawakan diri dan pandai bergaul di antara para bangsawan dan penduduk ibukota Mataram, meskipun untuk itu dia memerlukan jurubahasa; dan dia pun begitu dikenal luas sampai-sampai mendapat julukan de lange kapitein alias kapten jangkung.
Sementara "Tommagon Natairnawa" berusaha menghubungi pejabat-pejabat terdekat Susuhunan agar dapat menghadap raja, van Goens sendiri berusaha mempelajari tata cara seseorang yang akan menghadap raja menurut adat Jawa.
Sampai-sampai dia pun menghafal beberapa sikap dan ucapan untuk menanggapi amanat Susuhunan, seperti kalimat-kalimat "Inggih Nuwun" dan "Sendika Dalem" (yang artinya sama dengan "DaulatTuanku" dalam bahasa Indonesia) dengan sikap tangan menyembah.
Berbekal pengetahuan yang diperolehnya sebagai hasil "kursus kilat" tersebut, van Goens menghadap Susuhunan Mataram dengan diantar oleh Tumenggung Anggapraya, salah seorang pembantu terdekat raja. Hari pertama menghadap itu van Goens tidak sempat sama sekali mengutarakan sesuatu.
Namun rupa-rupanya Susuhunan secara keseluruhan sudah mengetahui apa tujuan sebenarnya kedatangannya ke ibukota Mataram itu, karena raja memberikan amanah antara lain: bahwa Karawang adalah daerah Mataram sehingga apa yang dilakukan pasukan-pasukan Mataram di sana sudah sewajarnya; bahwa penduduk Batavia makin hari makin bertambah banyak dan daerahnya makin diperlebar ke arah daerah Mataram sehingga amat berbahaya bagi Mataram; bahwa ketentuan-ketentuan yang dikeluarkannya mengenai perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Mataram, juga peraturan-peraturan yang wajar karena daerah-daerah itu adalah miliknya.
Bawa tukang sulap
Dalam situasi sedemikian itu sudah barang tentu tiada seorang pun, termasuk van Goens, berani menyela amanah raja 'want het is onder de Javanen een wet dat niemant den Coninck mach tegenspreken op poene van de dood" (karena merupakan undang-undang bagi orang Jawa untuk tidak menyela pembicaraan Raja dengan ancaman hukuman mati), tulis van Goens dalam laporannya yang sudah disebutkan di atas.
Dalam kesempatan menghadap raja yang kedua kalinya, van Goens membawa serta souvenir yang cukup unik. Dia masuk ke balairung diiringkan dua serdadu Kompeni membawa sebuah kotak besar.
Kemudian dia menyembah serta bertindak menurut tata cara yang beberapa hari sebelumnya dipelajarinya. Selanjutnya dia mempersembahkan kotak tadi ke hadapan Susuhunan, membukanya, memutar kuncinya dan keluarlah suara musik dari dalam kotak itu.
Sementara itu kedua serdadu yang dibawanya serta tadi mempertunjukkan berbagai macam permainan sulap di hadapan Susuhunan. Jadi rupa-rupanya van Goens membawa serta beberapa orang serdadu Kompeni yang dahulu pekerjaannya adalah mengadakan pertunjukan keliling bermain sulap ketika masih di negeri Belanda.
Susuhunan Mataram begitu terkesan dan gembira menerima persembahan van Goens itu. Dia tertawa-tawa, berdiri dari singgasananya dan dengan air muka cerah menghampiri van Goens untuk duduk di sebelahnya; suatu perlakuan yang belum pernah diberikan susuhunan sebelumnya kepada siapa pun kecuali kepada Putra Mahkota.
Meskipun demikian pada hari itu van Goens belum mulai mengajukan usul-usul perundingan. Dia undur dari penghadapan raja dan kembali ke tempat penginapannya.
Boleh dagang dan ambil kayu
Keesokan harinya van Goens mengunjungi Tumenggung Anggapraya agar mau meratakan jalan bagi dimulainya suatu perundingan resmi dan memberitahukan kepadanya kapan saatnya yang baik bagi itu sudah tiba.
Setelah isyarat "lampu hijau" datang dari sang Tumenggung, maka van Goens pun mulai mengadakan perundingan dengan Susuhunan Mataram. Setelah beberapa hari berunding, maka pada tanggal 23 Oktober 1652 dia bertolak kembali menuju Jepara.
Misi van Goens ke ibukota Mataram itu telah menghasilkan beberapa keuntungan bagi Kompeni. Dalam laporannya kepada Gubernur Jendral bertanggal 17 November 1652 yang sudah disebutkan di atas, antara lain disebutkan bahwa semenjak saat itu:
1. Kompeni boleh berdagang di daerah Karawang, boleh mengambil ikan di sungai Karawang (= sungai-sungai Citarum dan sekitarnya), boleh menebang kayu di hutan-hutan daerah Karawang dan boleh bercocok tanam serta mendirikan bangunan-bangunan di sebelah Barat sungai Karawang.
2. Kayu-kayu yang selama ini disita oleh pasukan-pasukan Mataram di Karawang dibebaskan kembali dan boleh dibawa ke Batavia.
3. Kompeni bebas berdagang di daerah-daerah kekuasaan Susuhunan Mataram dan juga orang-orang Mataram bebas pula berdagang di Batavia.
4. Kompeni diizinkan untuk membeli beras dan mengambil kayu-kayu jati di daerah Jepara dan sekitarnya.
Demikianlah maka hanya berkat permainan sulap, maka selamatlah Batavia dari ancaman bahaya kelaparan. Dan tentu saja kejelian van Goens sebagai duta VOC.
Baca Juga: Meriam Nyai Setomi, Pusaka Keraton Surakarta Warisan Sultan Agung