Hikayat Orang Cina di Bumi Cendana, dari Kedatangan hingga Dinamikanya

Tim Intisari

Editor

Ratusan tahun silam, para pelaut asal Tiongkok melayari jalur rahasia. Setibanya di tempat tujuan, mereka menikahi putri-putri bangsawan setempat demi akses ke hutan cendana. Bagaimana kehidupan keturunan mereka hari ini? (Feri Latief/Majalah Intisari)
Ratusan tahun silam, para pelaut asal Tiongkok melayari jalur rahasia. Setibanya di tempat tujuan, mereka menikahi putri-putri bangsawan setempat demi akses ke hutan cendana. Bagaimana kehidupan keturunan mereka hari ini? (Feri Latief/Majalah Intisari)

[EDISI IMLEK]

Ratusan tahun silam, para pelaut asal Tiongkok melayari jalur rahasia. Setibanya di tempat tujuan, mereka menikahi putri-putri bangsawan setempat demi akses ke hutan cendana. Bagaimana kehidupan keturunan mereka hari ini?

Penulis: Agni Malagina, pengajar di Prodi Cina, FIPB UI, untuk Majalah Intisari edisi Januari 2019

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Pulau Timor pernah kesohor dengan cedananya, karena itulah ia mendapat julukan Bumi Cendana.

Timor, yang luasnya 32 ribu kilometer persegi, punya kondisi geografis yang beragam. Dari tanah kering stepa dan sabana hingga pegunungan yang subur. Karena bentuknya seperti buaya yang sedang berenang, ada mitos yang menyebut bahwa pulau ini adalah jelmaan seekor buaya.

Timor dihuni oleh masyarakat dengan tradisi "Eropa" yang cukup kental, mulai Portugis hingga Belanda. Tapi apakah tidak pengaruh budaya lain, seperti Arab, India, atau Cina?

Mari kita urai pelan-pelan. Berdasarkan julukannya, kisah Pulau Timor tentu sangat erat kaitannya dengan rempah wangi yang tumbuh di pulau ini. Betul, rempah wanti itu adalah cendana.

Rempah itu menjadi buruan para pedagang dari Arab, India, hingga Cina. Selama berabad-abad masa Jalur Rempah, jalur perdagangan cendana "disembunyikan" oleh para pelaut Cina.

"Kakek datang untuk berdagang cendana. Dia menikah dengan nenek Bei Bui Rai, sekarang keturunan keluarga Lai (Lay) menyebar sampai ke Kupang dan Dili," ujar Alowisya Iki Asy (27) yang saya temui di kampung halamannya di Atambua pada 2010 lalu.

"Kakek saya Cina, kami Cina Timor. Kami tidak biasa pakai kata Tionghoa ya. Itu di Jawa sana sa (ja)," sambungnya.

Iki, sapaan akrabnya, adalahgadis aristokrat keturunan Lai Qui Fa yang menikah dengan Bei Bui Rai, putri Raja Maudemu dari Weluli, sebuah desa adat di kaki Gunung Lakaan, Kabupaten Belu, NTT. Dia menyebutkan bahwa dirinya adalah generasi keenam dari Lai Qui Fa.

Para tetua dalam keluarganya sejak keturunan keempat telah meninggalkan sebagian besar adat leluhur. Tapi beberapa kegiatan tradisi masih dikenal, seperti membakar hio dan membersihkan makam dengan persembahan.

"Terakhir keluarga kami membersihkan makam keluarga itu 60 tahun lalu, kemarin (16 Juni 2018) Om Feri Latief beruntung bisa hadir dalam upacara doa suku Monewalu kerajaan Dirun," tutur Iki.

Berobat di kampung

Iki yang pernah mengenyam pendidikan S2 di Newcastle Inggris menyebutkan, dia dan keluarga keturunan Lai Qui Fa lainnya lebih dekat pada tradisi Timor.

"Kami punya rumah adat tempat menyimpan harta keluarga dan tempat kami melakukan aneka upacara adat. Kami percaya jika sakit parah, pemuka rumah adat-lah yang bisa menyembuhkan kami dengan aneka cara termasuk semburan sirih pinang dari mulutnya," ujarnya sambil mengenang saat tangannya terkilir.

"Separah apa pun kami terbaring di rumah sakit, pasti akan dibawa pulang untuk menjalani proses penyembuhan di rumah adat. Beta awalnya tidak percaya, tapi sudah mengalami sendiri."

Ingatannya tentang asal-usul Lai Qui Fa tak banyak. Apa yang dia dengar secara turun-temurun tentang keluarganya sangat terbatas.

Silsilah keluarganya pun masih dalam pendataan dan penyusunan. Meskipun begitu, dia termasuk generasi muda Timor yang menyadari proses akulturasi budaya dalam keluarganya.

Kembali ke soal rempah-rempah. Sejarahrempah-rempah dan wewangian dari Nusantara punya peran besar terhadap kondisi ekonomi global pada masanya.

Rempah-rempah tentu tak bisa dipisahkan dari Nusantara. Bersama wilayah-wilayah lainnya, seperti Cina yang menginisiasi Jalur Sutra, India dan Persia yang sudah jadi kota dagang internasional selama berabad-abad, negara-negara di sekitar Perairan Mediterania, wilayah yang kita kenal sebagai Indonesia ini punya peranan yang cukup sentral dalam perdagangan dunia ketika itu.

Dan Timor adalah wilayah penghasil rempah unggulan di Nusantara -- tentu yang kita maksud adalah cendana.

Beberapa peneliti kaliber mengisahkan hubungan Timor dan cendana dalam karya-karya mereka. Sebut sajaF.J. Ormeling, Geoffrey C. Gunn, Ivo Carneiro de Sousa, H.G. Schulte Nordholt, hingga Roderich Ptak.

Cerita tentang rempah Nusantara adalah cerita yang tak ada habisnya. Pada masanya, rempah Nusantara adalah komoditas paling dicari di dunia karena keunggulan kualitasnya -- dan tentu saja kuantitasnya.

Karena saking banyaknya peminat, jalurnya pun sampai dirahasiakan sehingga menjadi misteri. Perjalanan untuk mendapatkannya dibumbui kisah-kisah horor yang bikin nyali ciut.

Tapi dengan begitulah, rempah-rempah menjadi istimewa. Semakin sulit ia didapat, semakin menggila harganya. Ya cengkih, ya pala, ya lada, ya cendana.

Cendana terbaik

Carl Linnaeus pada 1753 menyebut cendana (termasuk keluarga Santalaceae) dengan Santalum album --Kaspar Bauhin pada 1623 juga menyebutnya demikian.

Sementara Bontius (1631) dalam bukunya De Medicina Indorum menyebutnya sebagaiSandalo.Rumphius (1702) menyebutnya dengan Sandalum album timorense.

Cendana (Santalum album) yang dimaksud di sini adalah kayu cendana putih yang banyak tumbuh di Nusantara terutama Jawa, Sunda Kecil, sampai Timor.

Cendana jenis ini juga tumbuh di Cina, Jepang, Hawai, dan Australia. Kayunya yang keras dan wangi membuatnya banyak diburu untuk membuat dupa, hio, minyak esensial, patung, furnitur, dan lainnya. Cendana putih berbeda dengan cendana merah yang berasal dari India (Pterocarpus santalinus), jenis ini biasanya banyak digunakan sebagai tanaman obat dan kesehatan.

Kata cendana berasal dari Bahasa Sansekerta “candanam”. Dalam bahasa Camp dikenal dengan cāntam.

Dalam bahasa Persia, cendana disebut candal, sedangkan dalam bahasa Arab, ia dikenal dengan sandal, kemudian diserap dalam bahasa-bahasa di Eropa seperti Portugis, Italia, dan Spanyol yang juga menyebutnya sandal.

Orang-orang Inggris menyebutsandalwood,sementara bule-bulePrancis menamakannya santal blanc. Di Timor sendiri, cendana dikenal sebagai ai kamelin atau ai kameli, hamu meni (kayu harum), di Ambon dikenal dengan nama ayasru.

Di Cina, cendana dikenal sebagaichantan, ada juga yang memanggilnyatanxiang (cendana wangi).

Wewangian yang termasuk keluarga rempah-rempah istimewa ini merupakan tanaman asli Nusantara. Ia tersebar di kepulauan sebelah timur Jawa hingga Timor, yang terletak di wilayah paparan Sunda. Timor dan Sumba pernah disebut sebagai salah satu tempat tumbuhnya cendana.

Beberapa jenis cendana juga tumbuh di India, Malabar, dan Sri Lanka yang berjarak ribuan mil dari dari Nusantara. Namun pada akhirnya, cendana terbaik berada di Pulau Timor.

Sebelum bangsa Eropa datang berburu rempah Nusantara, para pedagang Arab, India dan Cina membawa cendana dari Timor untuk diperdagangkan atau dipertukarkan dengan barang-barang mewah seperti logam, perhiasan, kain sutera, keramik.

Dengan campur tangan mereka, cendana Timor memasuki pelabuhan-pelabuhan dagang internasional di Asia seperti Malaka, India, dan Cina.

Ternyata orang-orang di Arab, India, dan Cina begitu menggemarinya. Di Arab,cendana abadi menjadi wewangian para sufi. Di India dan Cina, ia menjadi bahan utama pembuatan dupa dan aroma terapi yang biasa digunakan dalam pemujaan dalam agama Hindu dan Buddha.

Dalam kronik Cina, cendana, juga pala dan cengkih, dikirim ke Cina dari “negeri asing”. Dalam catatan kronik Cina buku Sejarah Negara Wei (Wei Shu 386-550) disebutkan chan tan (cendana) berasal dari India bagian selatan.

Lambat laun, asal daerah cendana putih pun ditemukan, yaitu di Timor. Sejak abad ke-13, para Cina asal Fujian, Guangdong, dan Makau hanya membeli cendana dari Timor.

Kronik Cina sejak Sebelum Masehi menggambarkan bahwa cendana telah menjadi bagian dalam khasanah kebudayaan Cina. Itulah kenapa mereka begitu getol untuk mendapatkannya -- bahkan sampai bermitra dengan para pedagang Arab-India.

Seperti disebut sebelumnya, cendana juga tumbuh di beberapa wilayah di Cina. Tapiseiring dengan massifnya kebutuhan cendana di sana, mendorong para pemburunya mendatangkannya dari luar --Zhao Ru Gua mencatatnya pada 1225.

Pedagang Cina dan para Raja Timor

Alkisah, para pedagang cendana dari Cina melakukan perjalanan dagang paling sedikit dua kali dalam satu tahun. Cendana yang mereka bawa dari Timor dijual di Malaka untuk diteruskan ke Cina dan India.

Setidaknya ada 12 pelabuhan yang mereka singgahi, di antaranya pelabuhan Dili, Liquica, Kutubaba, serta Batugede.

Salah satu pelabuhan terbesar adalah Atapapena (Atafufus, Atapupu) yang juga dikenal sebagai Namon Sukaer (Pelabuhan Pohon Asam) karena ditumbuhi pohon asam. Pohon itu diduga dibawa oleh pedagang Cina atau Jawa pada masa Kerajaan Majapahit.

Nama pelabuhan itu kemudian berubah menjadi Namon Malai atau Pelabuhan Malayu, sekarang bernama Atapupu. Selain menjadi pusat penjualan cendana, Atapupu juga menjadi pusat penjualan budak.

Konon nama Atapupu berasal dari ata (budak) dan pupu (lebam), alias budak yang dipukuli hingga lebam kulitnya.

Sembari menunggu angin yang membawa kapal-kapal dagang Cina ini berlayar kembali ke Malaka, para pedagang itu menetap sementara di Atapupu. Itulah kenapa Atapupu kemudian dikenal sebagai perkampungan Cina yang ramai, sebagaimana ditulis oleh Pater Kraaiijvanger dalam surat laporan kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada 1 Agustus 1883.

Isi surat itu:

"Sekarang kami sudah dua bulan hidup sebagai warga Atapupu. Rumah kami berada di antara perkampungan orang-orang Cina. Orang Cina di sini jumlahnya mencapai 300 orang. Rupanya mereka senang dengan kedatangan kami. Terutama ada seorang kapiten Cina yang selalu memberi bantuan, makanan, dan daging untuk kami. Orang Cina sudah lama masuk ke Atapupu."

Dari Atapupu, orang Cina menyebar ke seluruh tanah Timor. Tujuan mereka adalah pasar Maubara dan pasar Kutubaba (sekarang Timor Leste).

Ada juga pelabuhan yang usianya lebih muda yang terletak di bagian selatan Pulau Timor, persisnya di Kota Looksina (kampung Cina, Betun) dan Besikama. Pelabuhan itu dibuat setelah Atapupu mengalami kemunduran.

Lalu lintas perdagangan cendana mulai surut pada akhir abad ke-18. Belanda yang mencoba menguasainya pun mengalami kerugian besar pada 1752. Namun, orang Cina masih terus bertahan dalam rute perdagangan ini sampai akhir abad ke-19.

Sambil terus berjalan ke pedalaman Atambua, Lahurus, Besikama, Kefa, Soe, hingga ke seluruh wilayah Timor untuk mencari kayu cendana, para pedagang Cina itu menikah dengan perempuan-perempuan lokal.

Tak tanggung-tanggung, yang mereka nikahi adalah para putri penguasa tanah Timor. Ternyata itu bagian dari strategi mereka untuk mendapatkan buruannya, ya cendana tadi.

Untuk memperoleh akses masuk wilayah kayu cendana terbaik untuk kemudian menguasainya, mereka menikah dengan para putri raja itu dengan sistem kawin masuk (naik rumah/saenona). Dengan demikian, para pedagang ini akan mendapat jaminan keamanan dalam urusan perdagangannya.

Caraini ternyata dilakukan oleh para pedagang Cina, baik yang skala besar maupun kecil. Sebagai timbal baliknya, mereka akan menjadi juru bicara raja ketika berhadapan dengan para pedagang Portugis atau Belanda.

Karena mengikuti sistemsaenona, setelah menikah para pedagang Cina itu akan menanggalkan marganya. Bahkan, anak-anaknya kelak akan menggunakan nama keluarga ibunya. Meski begitu, nama Cina boleh diberikan sebagai alias walaupun dianggap tidak sah.

Dalam tradisi keluarga Cina di Timor, kita sangat mudah mengetahui keluarga suku besar mana yang menjadi pusat asimilasi orang Cina di masa lalu. Nama-nama seperti Sally, Samara, Koliatin, Bitin Berek, Taolin, Puai, Halitaek, Pareira, Tiwu, Taolin, merupakan nama yang identik dengan keturunan Cina Timor.

Kadang kita juga sulit membedakan keturunan Cina dalam keluarga tertentu karena mereka memiliki deskripsi fisik yang sama dengan orang Timor. Namun, masih ada beberapa keluarga yang masih memiliki ciri fisik orang Cina pada umumnya.

Beberapa nama yang disebutkan di atas adalah nama-nama keluarga bangsawan yang dulunya memerintah di Timor. Tak hanya nama bangsawan Timor, nama-nama Portugis pun kemudian diambil menjadi nama belakang keluarga keturunan Cina.

Biasanya, nama belakang Portugis, seperti Da Silva, Pareira, Da Costa, merupakan nama yang digunakan oleh para bangsawan di Flores dan Timor setelah mereka dibaptis oleh para pastor Katolik yang datang dari Portugis.

Jejaknya yang terus tergerus zaman

Karena mengikuti sistem saesona, para pedagang Cina, yang memegang garis keturunan laki-laki, harus rela nama marga mereka hilang. Karena itulah tak banyaktinggalan nama Cina di Timor.

Begitu juga dengan peninggalan bangunan semacam klenteng dan sejenisnya. Praktis tidak ada kelenteng tua berdiri di sana.Hanya ada dua rumah ibadah yang tertinggal di tanah Timor, yaitu Klenteng Kemakmuran di Dili (Timor Leste) dan Rumah Abu Keluarga Lay di Kupang, itu pun maujudnya pada abad 19.

Fakta lainnya, sebagian besar masyarakat Cina Timor sudahmemeluk agama Katolik dan Kristen. Ada juga penganut Islam dan keyakinan lainnya, meskipun jumlahnya kecil.

Keluarga pemilik Rumah Abu Lay, Feri Ngahu, yang menikah dengan Lay Yun Cing, mengaku bahwa keluarganya masih masih mengenal beberapa simbol yang sering digunakan dalam tradisi Cina. Seperti warna merah sebagai lambang kebahagiaan hingga masih merayakan Imlek.

"Saya orang Timor, bukan keturunan Cina. Saya menikah dengan tante dan ikut merawat klenteng Lay," ujar Feri.

Tak banyak artinya tentu masih ada. Kita juga masih bisa menjumpai peninggalan lain seperti makan dan benda kerajinan -- tentu saja termasuk perayaan Imlek.Keluarga suku besar rumah suku (Umametan) Bitinberek memiliki makam keluarga dengan gaya Cina dan memiliki “toapekong” yang ditanam di halaman rumah keluarga besar. Mereka mempercayainya sebagai simbol nenek moyang.

Bagi keluarga besar Cina Timor yang anggota keluarganya telah memeluk agama Katolik, merayakan Imlek semata-mata sebagai bentuk pemertahanan tradisi nenek moyang. Meskipun begitu, mereka tetap fasih membakar hio, pada hari-hari biasa (di depan salib suci dan Bunda Maria) atau saat Imlek tiba.

Kegiatan masyarakat Cina Timor yang sudah menganut Katolik (serani tua) atau Kristen (serani muda) dalam merayakan tradisi leluhur masih berjalan hingga sekarang -- bahkan ada juga upaya untuk merevitalisasinya. Meskipun ada juga yang sudah tak menjalankannya lagi.

Beberapa keluarga mengatakan, mereka mengisi perayaan Imlek dengan acara kumpul keluarga dan saling mengunjungi sanak saudara satu sama lain. Tidak ada perayaan cap gomeh sama sekali.

Tanpa ceongsam dan baju koko

Tradisi Imlek masih dijalankan oleh keluarga Kim Novak dari suku besar Bitinberek yang merupakan bangsawan Kerajaan Manlea Jenilu, kerabat bangsawan dari Kerajaan Nimponi.

Kim Novak berkisah:

"Menjelang tahun baru kami biasanya mempersiapkan diri. Perempuan memasak makanan dan kue-kue. Laki-laki membersihkan rumah dan mengeluarkan barang-barang pusaka peninggalan nenek moyang. Siang hari, biasanya saya memotong babi untuk perjamuan malam harinya. Mulai jam tujuh malam, kami menyiapkan meja kecil di halaman rumah. Babi yang telah dipanggang kami letakkan di atas meja.

"Lalu kami siapkan sopi (minuman beralkohol khas Timor) dalam gelas-gelas kecil berjumlah lima buah melambangkan lima jari tangan dan kaki yang menopang kehidupan. Ia juga melambangkan lima unsur alam. Menunggu tengah malam, kami makan malam dan bercerita tentang masa lalu dan silsilah keluarga."

SementaraMama Sisilia Taolin, adik Kim:

"Saya kakak beradik ini keturunan kelima. Ini cucu sudah turunan ke tujuh. Perempuan dalam keluarga kami ini menenun kain adat dari kapas. Warna dominan di wilayah kerajaan kami itu merah coklat, warna kegemaran kakek nenek moyang kami. Keluarga kami baku (saling) kawin dengan semua marga bangsawan di sini. Kami bersaudara dengan Sally, Samara, Lopez, Lay, Halitaek, Paraeira.

"Kami keturunan Cina tapi sudah jadi orang Timor, perkawinan, kelahiran, kematian semua pakai adat Timor. Sembahyang agama Katolik, setiap hari kami bakar hio di altar Bunda Maria. Imlek kami pakai adat Cina, bakar heong (hio) pakai makanan adat Timor, potong sapi-babi, kasi makan untuk keluarga dan orang banyak."

Saya dan Feri Latief sempat menyaksikan sembahyang Imlek ala bangsawan Timor Jenilu. Mereka tak mengenakan pakaian ceongsam atau baju koko, tak ada lampion warna merah, dan bunyi petasan.

Mereka mengenakan kain tenun dan perhiasan bangsawan Timor serta menuangkan sopi sebagai pengganti teh. Tak ada sesajian samseng atau ngosengdin meja altar sembahyang. Tentu saja ini cukup berbeda dengan tradisi perayaan Imlek di Indonesia bagian barat.

Asap dupa, yang mereka sebut heongperlahan menebar wewangian cendana saat memanjatkan doa ala Timor. Tradisi ini menjadi salah satu elemen penting dalam sembahyang. Tak hanya saat Imlek, tapi juga ketika sembahyang pagi hari di hadapan patung Bunda Maria.

Perjalanan kami tak berhenti di perbatasan. Kami menyusuri garis imajiner jalur cendana sampai pedalaman, termasuk pedalaman di kaki Gunung Mutis di daerah bernama Mollo, yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Seorang pemuda bernama Christianto “Dicky” Senda menemani perjalanan kami. Dia seorang pegiat kewirausahaan-sosial dengan komunitasnya yang bernama Lakoat.Kujawas di Desa Taiftob, Kecamatan Kapan, Mollo, TTS.

“Saya tak punya darah Cina, Mamatua asli sini, Bapatua dari Flores. Tapi nenek punya anak-anak angkat Cina Kapan,” ujar Dicky yang juga menjadi peiat literasi dengan latar belakangnya sebagai cerpenis sohor.

“Jadi Mamatua punya saudara Cina,” tambahnya sambil menjelaskan sejarah kota Kapan sembari ditimpali kisah khasanah kuliner tradisional masyarakat Kapan termasuk kuliner masyarakat Cina Kapan.

“Di sini ada Aci Moi, masakannya enak, dia jadi juru masak sampai diundang ke Dili,” ujarnya semringah seraya meminta saya untuk mengunjungi kedai Aci Moi di Pasar Kapan. Dan memang benar, saya membuktikan masakan Aci Moi memang juara! Saya makan seporsi nasi campur sambil melupakan diet!

Beberapa saat lamanya saya bercakap dengan Dicky dan beberapa warga penggiat komunitas seperti Willy Seran, Mama Meti, Kaka Marlinda Nau, Romo Jimmy Kewohon tentang ingatan cendana. Dicky mengisahkan tentang cendana dan masuknya orang Cina ke Mollo.

"Raja Oematan di sini dikenal dengan nama Lay Akun," ujar Dicky. Oematan adalah marga keluarga raja dan bangsawan yang besar di wilayah Mollo. "Di sini cendana dikenal dengan nama Hau Amnik Lasi, kayu pembawa bencana," ujar Om Willy.

Warga Mollo mengingat kejadian "pemutihan cendana" pada masa Orde Baru yang menyisakan memori kolektif traumatis. "Tak usah menunggu cendana tumbuh, kami tebang sudah daripada ditebang penguasa," ujar beberapa warga yang saya temui di desa Taiftob sampai kaki Mutis.

Tampaknya, mereka belum banyak mengetahui bahwa masa “pemutihan cendana” sudah berakhir. Dicky dan rekan-rekannya berniat menghidupkan kembali cendana, baik kisah tentang jalurnya atau tanamannya itu sendiri.

"Beta rasa kita harus mulai dengan natoni (semacam ruwatan) cendana," jelas Dicky dengan wajah serius ketika bercakap dengan rekan-rekanya.

“Sumpah warga pada cendana mematikan keinginan cendana untuk tumbuh di bumi ini, kita harus memuliakan dan berbicara baik pada cendana, supaya ia kembali menjadi pohon yang wangi menghidupi untuk Timor," pungkasnya.

Begitulah kisah Cina Timor dan cendana sebagai pintu masuknya.

Artikel Terkait