Pakar Psikoanalisis Sigmund Freud yang Penuh Nafus pun Kena Tipu

Tim Intisari

Editor

Sigmund Freud si perintis aliran psikoanalisis ternyata juga kolektor 2.300-an benda seni antik! Sebagai kolektor, pernah juga kena tipu (Wikipedia Commons
Sigmund Freud si perintis aliran psikoanalisis ternyata juga kolektor 2.300-an benda seni antik! Sebagai kolektor, pernah juga kena tipu (Wikipedia Commons

[ARSIP INTISARI]

Sigmund Freud si perintis aliran psikoanalisis ternyata juga kolektor 2.300-an benda seni antik! Sebagai kolektor, pernah juga kena tipu.

Tayang pertama di Majalah Intisari edisi Maret 1991

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kamar itu sekilas memang khas ruangan praktik dan kerja ahli ilmu jiwa. Ada meja tulis, kursi dan terutama sertu dipan buat pasien merebahkan diri santai, mendengar dan menjawab segala pertanyaan.

Tapi kalau saja mata dan pikiran diajak berkelana mengamati isi ruangan lainnya, langsung kelihatan ruangan ini lain dari yang sama.

Dipan pasien panjang itu berbalut permadani tua dari Persia, sama dengan seluruh permukaan lantai yang tertutup rapat permadani adikarya dari Timur. Segala pelosok ruangan itu nyaris penuh terpajang patung besar-kecil dari perunggu, terakota, pualam dan batu mulia, juga topeng jenazah Mesir kuno.

Lampu minyak Romawi dan Sumeria, wadah minyak dan minuman dari beling atau tembikar, belum lagi perabotan kayu gaya art nouveau yang serba berbahan langka dan indah.

Itu baru sebagian kecil koleksi yang terperaga di ruangan itu, termasuk segala macam buku tua karya asli Goethe, Shakespeare, Balzac, dan Anatole France yang hampir memenuhi rak buku. Belum lagi masih ratusan benda kecil pernak-pernik yang tersimpan di laci meja kerja, semuanya barang pilihan terbaik, berumur lama sampai 4.000 tahun lalu.

Inilah sebagian dari 2.300 benda koleksi pribadi Sigmund Freud - "arkeolog jiwa manusia" - yang terpajang apik di 20 Maresfield Gardens, Hampstead, di sebelah barat London.

Rumah Freud di Inggris itu, ditata persis seasli apartemen terdahulunya di Berggasse 19, Wina, Austria. Rumah di Hampstead itulah sejak tahun 1986 diresmikan sebagai Museum Freud.

Tertipu juga

Memburu barang antik, itu sudah mencandu bagi diri Freud.

Di sela kesibukannya sebagai ilmuwan andal, pemikir, pengajar, pencipta teori, dokter dan psikiater, Freud juga dianggap rekan terdekatnya sebagai kolektor fanatik benda seni zaman purbakala.

"Kecanduannya mengoleksi segala macam barang antik tua, hanya tersaingi dengan kecanduannya mengisap nikotin dari serutu," ujar teman karibnya.

"Makin lama, keandalan Freud memilih dan menaksir benda antik, sudah seprofesional kurator museum besar. Namun, ini juga berarti semakin banyak pula racun nikotin cerutu yang masuk ke dalam tubuhnya yang menjadi benih maut kanker, bukan karena koleksi barang antiknya."

Namun, di mana dan siapa pun, kolektor antik pasti harus tertipu dahulu, sebab "tipuan" itu merupakan "biaya" kuliah memperdalam keaslian barang antik, sebelum dia mahir.

Freud, menurut catatan, pertama kali membeli barang antik sekitar tahun 1896, di saat ayahnya – Jacob Freud – menjelang dijemput ajal. Saat itu, Freud membeli replika atau tiruan patung Florentina bergaya Renaissance.

Saat itu dia mulai bertekad memiliki barang asli. Setelah itu, lelaki bertubuh kecil dan berkumis-jenggot lebat ini, makin serius saja.

Tiap benda yang dibelinya dibawa dan diperiksa kurator Museum Wina (Vienna Kunsthistorisches Museum). Namun, tetap saja Freud kecolongan dan sempat membeli barang antik "aspal".

Waktu terus berlalu, di sela kesibukannya dan ketangguhan pikirannya "berkelana" di alam jiwa manusia, Freud makin bernafsu ke dunia barang purbakala, berikut konteks latar belakangnya.

Anak sulung keluarga pedagang wol keturunan Yahudi ini, kemudian mendalami kebudayaan kuno Yunani, Romawi dan lainnya, serta menikmati terawangan magis tinggalan benda kebudayaan berabad-abad sebelum Masehi itu.

Sebagai alumnus summa cum laude sekolah tinggi kedokteran Universitas Wina, Freud rupanya senang mengumpulkan benda seni yang berasal dari negara bersinar matahari panas. Sampai-sampai ada surat Freud buat temannya berbunyi:

"Saya senang mempelajari dan menikmati rasa keanehan saat mengamati benda koleksi sendiri. Mungkin karena mewariskan darah leluhur dari Timur dan sekitar Mediterania, sehingga pekerjaan itu menimbulkan semacam panggilan jiwa yang tak pernah saya peroleh di masa kanak-kanak dulu." (Robert Hold, 1966);

Kebiasaan Freud memburu barang tua, sama saja dengan kebiasaan umum kolektor lainnya. Dia sudah mencapai tahap senang dan bahagia, kalau menemukan dan membeli barang antik.

Freud sepertinya mewarisi naluri memiliki yang "primitif" sehingga seringkali dia hanya membeli untuk kepuasannya berfantasi. Akibatnya dapat dilihat, koleksi di masa awal perburuannya, ternyata banyak barang palsu.

Malahan dalam penyeleksian koleksi yang laik pamer oleh Lynn Gamwell, ditemukan beberapa koleksi yang masuk kategori benda cinderamata dari kios bandara. Namun, Gamwell mengakui koleksi Freud yang asli, memang benda seni tinggi.

"Jangankan yang terpajang di ruangannya, saat saya membuka laci meja Freud yang dipertahankan seperti masa hidupnya, saya menemukan 50 potong lebih benda-benda kecil yang sebagian besar memang benda asli dari situs penggalian Piranesi di abad ke-17," kata direktur benda seni dan museum Universitas New York.

Tukang tawar

Salah seorang saksi hidup, Robert Lustig (meninggal tahun 1983), mengisahkan dirinya sebagai langganan pemasok barang antik buat Freud.

"Saat itu tahun 1925, usia saya baru 19 tahun, ayah begitu marah karena saya memasang beberapa benda antik di etalase toko arlojinya. Sesaat sebelum benda,itu dibuang, lewatlah seorang pria kecil berjanggut. Dia melihat beberapa benda perunggu Mesir kuno, serta beberapa miniatur antik lainnya," tutur Lustig.

"Pria berjenggot itu masuk dan berkata kepada saya supaya mengantar barang-barang itu ke rumahnya, seraya menyerahkan sehelai kartu nama. Saya agak terperangah, setelah membaca kartu yang bertuliskan Profesor Sigmund Freud dengan alamatnya, Berggasse 19 Wina. Saya kaget, karena dia itu orang terkenal."

Lustig pun segera membawa barang dagangannya, lalu masuk ke apartemen Freud. "Belum pernah saya melihat barang koleksi pribadi begitu banyak dan bagus-bagus,” tuturnya.

Setelah ada kecocokan harga, transaksi pun terjadi. Sebelum dia pulang, Freud berpesan supaya sering-sering membawa barang buat dia.

"Saya pun sejak itu menjadi langganan profesor itu. Hampir seminggu sekali selama 13-an tahun, saya selalu ke rumah profesor dan duduk menanti giliran bersama pasiennya. Bila profesor melihat saya, dia langsung menyuruh saya masuk. Atau dia akan mempercepat terapinya, supaya kami ada waktu panjang untuk menaik-turunkan harga, sampai transaksi itu beres."

Walau Freud selalu membeli dan membeli, tapi dia selalu menawar.

"Kalau saya melihat profesor itu begitu bersinar dan bernafsu, harga saya tinggikan. Tapi dia pandai sekali, seperti dapat membaca pikiran saya, lalu harga itu pasti akan turun dan saya kalah," kenang Lustig dalam suatu wawancara di awal tahun 1980.

Walau Freud cukup kaya, namun dia tetap pembeli yang hati-hati. Biasanya uang buat barang antik, bersumber dari ongkos konsultasi dan pengobatan sang pasien.

Sedangkan di Wina saat itu, barang antik harganya pun belum melangit seperti sekarang, kareha di saat itu barang antik yang mahal cuma benda seni periode Gothic, Renaissance, dan Barok.

Pernah sekali waktu, Freud menaksir satu barang, tapi kantongnya lagi kempes. Dia tetap bertekad "harus memiliki" topeng mumi Mesir kuno itu.

Lustig menyaksikan bagaimana ekspresi kecanduan di muka Freud, saat profesor ini membuka laci meja dan mengeluarkan beberapa kaca perunggu Etruskan dan Yunani, serta patung terakota prasejarah Yunani, termasuk beberapa benda tiruan lainnya.

Topeng mumi kemudian berpindah ke tangan Freud, sedang Lustig mendapat barang tukaran, bukan uang kontan.

Tambah tenggelam

Tindak tanduk Freud cukup menarik mata beberapa pengamat benda seni di saat itu. Terutama saat Freud sempat menulis perihal peranan benda seni antik dengan telaah psikoanalisis, lalu muncul kritik dari Roger Fry, kritikus seni budaya yang menganggap Freud itu picik dan dangkal, tak menguasai elemen dasar kepuasaan estetika.

Fry menyatakan ahli psikoanalisis dan kolektor dari Wina ini tak tahu tentang ide dasar benda seni, baik secara kasat mata, maupun sisi keindahan dari sentuhan, paduan warna, wujud dan "jiwa" benda seni itu sendiri.

Ernest Jones, rekan dan penulis biografi Freud, mengulas soal ini.

Menurutnya, amatlah mustahil apabila seseorang setelah 40 tahun bergaul dengan barang antik, berkelana dan berburu dari satu galeri ke galeri lain di Wina - serta beberapa tempat di Eropa lainnya termasuk Amerika Serikat - tapi tak memiliki indera estetika khusus terhadap benda yang dikejar dan diincarnya.

Lynn Gamwell, juga membela Freud:

"Memang betul Freud pernah membeli barang palsu, itu kejadian lumrah di dunia kolektor antik, bukan ukuran tahu tidaknya. Bahkan kurator museum yang hidup-matinya bekerja di sana, tetap saja pernah tenggelam dan terjeblos membeli barang palsu, atau barang setengah antik." (Ernest Jones, 1953 - 1957)

Menurut Jones, di samping kegilaannya terhadap barang antik, Freud juga amat cermat mencatat barang antik yang dimiliki dalam buku catatan atau kronik.

Salah satu kronik suami Martha Bernays serta ayah dari tiga putra dan tiga putri, tercatat rincian pembelian barang antik, misalnya tanggal 17 Maret 1933 tertulis Lukisan Wanita Cina, tanggal 7 Mei 1934 tercatat Patung Gading Buddha -- sebagai hadiah pribadi buat ulang tahunnya, atau tanggal 2 Agustus 1935 tercatat lagi Isi dan Horus.

Lalu kelihatan betapa Freud memperlakukan koleksi itu, sebagai sesuatu yang amat pribadi.

Semua barang antik itu ditempatkan terpisah dari ruangan keluarganya, hanya sesekali saja kalau dia mendapat-barang baru, langsung barang itu diletakkan di meja makan keluarga untuk dinikmati, setelah itu disimpan lagi dalam ruang koleksi pribadinya.

Semua kejadian ini, menurut beberapa rekan Freud, mungkin karena Martha Bernays Freud tak senang merawat benda kuno, atau juga Freud begitu tenggelam dan serakah untuk menikmati sendirian saja? (Helen Dudar, 1990)

Diselundupkan

Beberapa kolega dan kawan akrab Freud, rupanya tahu kecanduan Freud akan barang antik. Mereka ikut mendukung dan bahkan memasok juga.

Antara lain, Putri Mari Bonaparte - mantan pasien yang kemudian menjadi teman penting si ahli psikoanalisis ini, seringkali datang dari Paris ke Wina menemui neurolog ini, lab Freud juga sering menitip beberapa benda kesayangannya, supaya diselundupkan ke luar Wina.

Lama-kelamaan, Freud lebih sering mendekam di kamar kerjanya, tempat ia menghasilkan karya besarnya antara lain Studies in Hysteria, The Interpretation of Dreams (1900), Three Contributions to the Theory of Sex (1905), General Introductions to Psychoanalysis(1916), Beyond the Pleasure Principles (1920), Civilizations and its Discontents (1930).

Di situ juga dia merasa makin uzur, tapi masih bersemangat mencari dan membeli barang antik!

Tahun 1938, pasukan Hitler masuk ke Wina. Bendera swastika Nazi Jerman digelar berkibar di muka apartemen Berggasse 19, Orang Yahudi mulai disuruh membersihkan jalan batu dengan sikat gigi.

Beberapa tokoh perlawanan Yahudi yang dianggap berbahaya, segera dienyahkan jiwanya dari badannya. Sigmund Freud sekeluarga, mulai resah dan menyusun rencana pelarian mereka.

Beberapa temannya di luar Austria, segera menghubungi dan memaksa Freud sesegera mungkin meninggalkan Austria, bahkan mereka bersedia mencarikan dana khusus untuk memperlancar pengungsian Freud ke luar Wina.

Perlahan-lahan rencana diatur rapi, Freud akhirnya pasrah dan mau meninggalkan Berggasse 19, asal koleksinya juga ikut diselundupkan ke luar.

Tak beberapa lama, di tahun 1938 itu juga mereka sudah berada di Hampstead, 20 Maresfield Gardens. Di sana dia disambut sang putra, Ernst Freud, dan keluarganya.

Sigmund Freud merasa adem dan langsung betah, karena di sana dia disediakan satu ruangan khusus yang ditata persis ruangan kerjanya di Wina, lengkap berikut koleksi kesayangannya – termasuk koleksi yang antik-antikan dan palsu.

Itulah jasa Anna, salah seorang putri kesayangan Freud yang meneruskan kariernya.

"Anna amat mengerti kejiwaan Sigmund. Tanpa koleksi antiknya, Sigmund yang sudah kehilangan Austria - negaranya, pasti akan kehilangan juga sebagian dari jiwanya, yakni koleksi antik itu," tulis salah satu pengagum Freud yang mengenang Anna Freud di tahun 1982.

Di Hampstead, tiap hari pakar neurologi ini duduk di kursi kayu art nouveau, menginjak permadani Persia, mengelus patung terakota Eros, merenungi wajah topeng mumi, memegang sayang patung miniatur dewa kera Mesir, seraya memikir dan memikirkan karyanya yang mencoba menerjemahkan hasil pengelanaan dirinya, di dunia alam jiwa dan pikiran manusia lain.

Kesehatannya mulai menurun di usia mendekati angka 83, ditambah rongrongan kanker akibat nikotin di mulutnya.

Di salah satu catatan kecil menjelang dia tutup mata, tanggal 25 Agustus 1939 tertulis Kepanikan Perang Dunia serta coretan yang menyatakan kekecewaannya, terbaca: 31 Oktober 1929 Mengabaikan Hadiah Nobel. Apa maksudnya? Tak seorang pun yang tahu.

Setengah abad telah lalu, tapi ilmu pengetahuan masih mengenali salah satu aliran psikoanalisis dalam dunia psikologi dan psikiatri, yakni hasil Sigmund Freud.

Bahkan di kalangan tertentu, muncul beberapa tokoh penerus Freud, juga sempat, disebut adanya aliran freudisme – penerus doktrin psikoanalisis yang ditanam Freud.

Dunia internasional kini mengenang Freud bukan hanya melalui seminar perihal keabsahan psikoanalisis yang berat, namun dari koleksinya berupa sekumpulan benda antik buatan ratusan, ribuan, belasan ribu, dan puluhan ribu tahun lalu.

Sigmund Freud memang sudah terkenal sebagai peletak dasar teori dan aliran ilmu pengetahuan tentang jiwa dan pikiran manusia, di punsemakin diingat lagi berkat barang antik yang dikoleksinya selama bertahun-tahun.

slide 8 to 10 of 6

Artikel Terkait