Pura Mangkunegaran sebagai Simbol Keteguhan Hati Pangeran Sambernyawa

Tim Intisari

Editor

Pura Mangkunegaran adalah simbol keteguhan hati Pangeran Sambernyawa. Dapat sentuhan yang lebih modern dibanding 'kakak'-nya (Majalah Intisari)
Pura Mangkunegaran adalah simbol keteguhan hati Pangeran Sambernyawa. Dapat sentuhan yang lebih modern dibanding 'kakak'-nya (Majalah Intisari)

Kadipaten Mangkunegaran adalah bukti keteguhan hati Pangeran Sambernyawa.Dibandingkan dengan Kasunanan, Pura Mangkunegaran lebih terbuka. Ada banyak yang bisa dilihat dan juga dirasakan.

Penulis: YDS Agus Surono untuk Where To Go Joglo-Semar Solo Semarang 2011

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Pagi sudah menghangatkan hari, tapi pintu gerbang Pura Mangkunegaran masih ditutup. Sambil menunggu saya melihat sekeliling. Juga melongok ke dalam, ke halaman pendopo yang sunyi.

Tak seberapa lama pengunjung diperbolehkan masuk. Ternyata pintu masuk ke Puro Mangkunegaran tidak melalui pintu gerbangnya, tetapi bangunan yang ada di sebelah kanan pintu gerbang.

Istana Mangkunegaran berdiri sejak tahun 1757. Awalnya belum ada pendapa.

Baru pada pemerintahan Mangkunegara IV dibangun pendapa pada tahun 1866. Angka ini tertera pada lambang yang ada di pendopo. Coraknya mengadopsi gaya Jawa dan Eropa.

Cikal bakal Mangkunegaran adalah Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga.Dua tahun sebelumnya, wilayah Mataram dibagi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta melalui Perjanjian Giyanti oleh VOC.

Raden Mas Said yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa terus memberontak terhadap VOC. Atas dukungan Sunan dia mendirikan kerajaan sendiri. Kekuasaannya di sebelah barat tepiang Sungai Pepe.

Ditemani Dodi, abdi dalem yang baru setahun bekerja, saya menyusuri halaman menuju pendopo Pura Mangkunegaran yang resik. "Itu dari Berlin," kata Dodi menunjuk empat patung singa keemasan yang berada di sisi kiri dan kanan undakan yang menuju ke arah pendapa.

Pandangan mata keempat singa itu tersebar ke berbagai arah. Dimaksudkan sebagai penjaga keamanan. Sebelum menginjak pendopo, alas kaki harus dilepas.

"Masukkan ke tas plastik ini Mas," Dodi ternyata sudah menyiapkan kantung plastik buat sandal yang saya pakai.

Pendopo berwujud joglo yang dinamakan Pendapa Ageng itu dulu digunakan untuk tempat menghadap Pangeran. Dulu untuk menghadap orang harus jalan jongkok. Lantai pendopo yang memiliki luas 3.270 m2 itu mengilat menunjukkan bahwa dipelihara dengan telaten.

Di sebelah kiri ada dua perangkat gamelan, Kyai Kanyut Mesem dan duplikatnya. Kyai Kanyut Mesem yang sudah berusia 300-an tahun hanya digunakan pada saat-saat tertentu, seperti hari penobatan Pangeran. Sedangkan duplikatnya digunakan untuk latihan.

Atap pendopo disokong oleh empat pilar kayu jati yang berasal dari satu pohon. Tingginya sekitar 11,5 m. Kayu jati diambil dari hutan Donoloyo di daerah Wonogiri.

Di langit-langit terdapat lukisan batik (kumudawati) yang menggambarkan nyala tapi dengan warna berbeda-beda di tengah-tengahnya. Nyala api itu menunjukkan semangat.

Sedangkan warna yang ada di tengah-tengah dimaksudkan untuk melawan hal-hal negatif yang melingkupi kehidupan manusia. Warna kuning untuk menghindari rasa kantuk, warna biru menghalau penyakit dan bencana alam, warna hitam menahan lapar, warna putih menahan nafsu, pink melawan rasa takut, merah menghalau roh halus, dan ungu mengenyahkan pikiran-pikiran jahat.

Beberapa lampu tergantung di atap pendopo yang dalam pembangunannya tidak menggunakan paku.

Menuju ke belakang akan bertemu dengan sebuah beranda terbuka yang bernama Pringgitan. Di tempat ini sering digelar pertunjukan wayang kulit.

Dari Pringgitan ada tangga menuju Dalem Ageng, sebuah ruangan seluas sekitar 1.000 meter persegi. Secara tradisional ruang ini merupakan ruang tidur pengantin kerajaan.

Sekarang ruangan ini berfungsi sebagai museum. Namun ranjang pengantinnya tetap ada. Banyak benda-benda yang dipajang di ruangan ini. Baik benda pusaka atau koleksi kerajaan.

Salah satu yang menarik adalah kunci kesetiaan yang dipasang di alat kelamin pria dan wanita. O ya, di ruangan ini kita tidak boleh memotret. Bangunan lain adalah tempat tinggal anggota kerajaan di belakang Dalem Ageng.

Tidak semua boleh dilihat. Yang boleh dilihat adalah ruang makan yang memiliki banyak ornamen. Salah satunya gading berukir. Ada juga ruang yang menjual cenderamata.

Mulai dari batik sampai pernak-pernik kerajinan. Taman yang ada di wilayah ini membuat suasana menjadi adem. Jika beruntung bisa melihat kupu-kupu beterbangan ke sana-kemari.Jika berminat dan belum capai, kita bisa melihat kereta kencana milik Pura Mangkunegaran. Kereta ini dibersihkan setiap tanggal 1 Suro.

------------------------

BOKS

Sejarah singkat Mangkunegaran

Pura Mangkunegaran merupakan satu dari empat kerajaan yang menjadi pecahan Kerajaan Mataram Islam yang istananya terletak di Surakarta, Jawa Tengah. Pendiri Kadipaten Mangkunegaran adalah Raden Mas Said yang lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.

Gelar resminya adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.

Antara 1757-1946, Mangkunegaran merupakan kerajaan otonom yang berhak memiliki tentara sendiri dan independen dari Kasunanan Surakarta. Sedangkan mulai 1950, statusnya hanya sebuah keraton dengan raja, tanpa kekuasaan politik.

Perebutan takhta pewaris Mataram Sejarah berdirinya Mangkunegaran berawal dari konflik perebutan takhta di antara para pewaris Mataram. Sejak penguasa Mataram mulai bekerjasama dengan VOC, pemberontakan dari keluarga kerajaan ataupun pihak luar semakin sering terjadi.

Salah satu yang terkenal adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwono II) dan Mangkubumi. Raden Mas Said adalah putra Pangeran Mangkunegara sekaligus cucu Amangkurat IV.

Menurut sumber-sumber dari Mangkunegaran, Pangeran Mangkunegara adalah putra tertua Amangkurat IV yang sebenarnya berhak menggantikan posisi ayahnya sebagai raja.

Tapi dalam kenyataannya justru Pakubuwono II yang naik takhta. Sedangkan Pangeran Mangkunegara diasingkan ke Sri Lanka karena tidak disenangi Belanda.

VOC beberapa kali mengajukan perundingan kepada Raden Mas Said dan Mangkubumi, tetapi ditolak. Bahkan ketika Mangkubumi bersedia mengadakan perundingan, Raden Mas Said tetap tidak mau berkompromi dengan Belanda karena yakin akan kekuatan pasukannya.

Pemberontakan Mangkubumi resmi diakhiri ketika Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755, yang isinya membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari Kasunanan Surakarta.

Kasultanan Ngayogyakarta diberikan kepada Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I, sementara Kasunanan Surakarta menjadi hak Pakubuwono III.

Raden Mas Said, yang tidak terlibat dalam Perjanjian Giyanti dan merasa belum mendapatkan haknya, semakin gencar melakukan perlawanan terhadap Hamengkubuwono I, Pakubuwono III, dan VOC.

Di saat yang sama, VOC terus menawarkan solusi dengan jalan perundingan, yang akhirnya diterima oleh Raden Mas Said. Pihak-pihak terkait kemudian berkumpul di Salatiga, Jawa Tengah, pada 17 Maret 1757 untuk menyepakati perjanjian.

Dalam perjanjian itu, Raden Mas Said diakui sebagai pangeran merdeka dengan wilayah otonom berstatus kadipaten yang disebut Praja Mangkunegaran. Perjanjian Salatiga menandai berdirinya Mangkunegaran.

Mangkunegaran merupakan kadipaten yang posisinya dibawah kasunanan dan kasultanan, sehingga penguasanya tidak berhak menyandang gelar Sunan ataupun Sultan.

Gelar para Mangkunegara yang memegang pemerintahan di Mangkunegaran adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA).Raden Mas Said kemudian dinobatkan sebagai pendiri sekaligus penguasa pertama Mangkunegaran yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.

Kedudukan pemimpin Mangkunegaran berada di Pura Mangkunegaran, yang didirikan di kawasan Banjarsari, Surakarta. Antara 1757-1946, Kadipaten Mangkunegaran merupakan kerajaan otonom yang berhak memiliki tentara sendiri yang independen dari Kasunanan Surakarta.

Satuan militer Mangkunegaran dinamakan Legiun Mangkunegaran. Sedangkan wilayahnya mencakup bagian utara Kota Surakarta, yakni Kecamatan Banjarsari, kemudian seluruh Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, dan sebagian wilayah Kecamatan Ngawen serta Semin di Gunung Kidul, Yogyakarta.

Keseluruhan wilayah Mangkunegaran tersebut hampir mencapai 50 persen wilayah Kasunanan Surakarta. Kehidupan pemerintahan Penataan pemerintahan telah dilakukan sejak Mangkunegara I berkuasa, dan diteruskan terutama oleh Mangkunegara IV (1853-1881), VI (1896-1916), dan VII (1916-1944).

Pada awalnya, proses penataan birokrasi pemerintahan masih dicampuri kepentingan Belanda dan Kasunanan Surakarta. Selain kekuasaannya terbatas, Mangkunegara I masih terkait dengan Belanda dan Sunan dalam mengambil keputusan.

Pada masa Mangkunegara IV, birokrasi pemerintahan dikembangkan menjadi lebih luas dan fungsional. Mangkunegaran pun mampu membentuk identitasnya sebagai kerajaan Jawa modern.

Setelah sekian abad menjadi kerajaan otonom, pada September 1945 Mangkunegara VIII menyatakan bergabung dengan NKRI. Meski mulai 1950 statusnya hanya sebuah keraton dengan raja tanpa kekuasaan politik, Mangkunegara dan Pura Mangkunegaran masih tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga budaya hingga saat ini.

--------------------------------------------------------

Artikel Terkait