Akhir Perjuangan Cut Nyak Dien Pahlawan Dari Tanah Rencong

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Untuk mengantisipasi pengaruhnya yang masih besar, Belanda kemudian mengasingkan Cut Nyak Dien ke Batavia lalu ke Sumedang hingga akhir hayatnya.
Untuk mengantisipasi pengaruhnya yang masih besar, Belanda kemudian mengasingkan Cut Nyak Dien ke Batavia lalu ke Sumedang hingga akhir hayatnya.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Langit Aceh berselimut jingga, semburat lembayung menggantung di ufuk barat. Angin berbisik di antara pepohonan, seakan meratapi kisah pilu yang terukir di bumi Serambi Mekah.

Di tengah rerimbunan belantara, di antara akar-akar pohon raksasa yang mencengkeram bumi, bersembunyi seorang perempuan dengan tatapan mata setajam elang.

Wajahnya yang dulu ayu kini dipenuhi guratan letih, namun sorot matanya tetap memancarkan semangat perlawanan yang tak pernah padam. Dialah Cut Nyak Dien, Srikandi Aceh yang namanya terukir abadi dalam sejarah perjuangan bangsa.

Perjalanan panjang telah ia tempuh. Sejak Belanda menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, Cut Nyak Dien telah bersumpah untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi.

Ia telah kehilangan segalanya: suami tercinta, Teuku Umar, yang gugur sebagai syuhada di medan laga; harta benda yang ludes dilalap api peperangan; dan kini, ia hidup dalam pelarian, dikejar-kejar pasukan Belanda yang tak kenal ampun.

Namun, Cut Nyak Dien bukanlah perempuan yang mudah menyerah. Ia adalah perempuan yang ditempa oleh api perjuangan, jiwanya dibentuk oleh semangat jihad yang membara. Ia adalah simbol perlawanan rakyat Aceh, yang tak pernah tunduk di hadapan penjajah.

Titisan Darah Pahlawan

Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, pada tahun 1848. Ia tumbuh di lingkungan keluarga bangsawan yang taat beragama. Sejak kecil, ia telah dididik untuk menjadi perempuan yang kuat, cerdas, dan berani. Ia diajarkan ilmu agama, membaca Al-Quran, dan juga ilmu bela diri.

Ketika Belanda melancarkan agresi ke Aceh pada tahun 1873, Cut Nyak Dien terpanggil untuk ikut berjuang. Ia bergabung dengan pasukan suaminya, Teuku Ibrahim Lamnga, untuk melawan penjajah.

Di medan perang, Cut Nyak Dien menunjukkan keberanian yang luar biasa. Ia memimpin pasukan dengan gagah berani, tak gentar menghadapi musuh yang lebih kuat dan bersenjata lengkap.

Namun, takdir berkata lain. Teuku Ibrahim Lamnga gugur di medan pertempuran. Cut Nyak Dien pun dilanda duka yang mendalam.

Namun, ia tak membiarkan kesedihan melumpuhkan semangatnya. Ia bangkit, mengobarkan kembali api perjuangan di dalam hatinya.

Pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar, seorang pejuang Aceh yang juga dikenal dengan keberaniannya. Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan melawan Belanda.

Mereka memimpin pasukan Aceh dalam berbagai pertempuran, menggempur pos-pos Belanda, dan merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai musuh.

Strategi perang gerilya yang diterapkan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien membuat Belanda kewalahan. Pasukan Aceh yang bergerak cepat dan lincah, lihai memanfaatkan medan pegunungan yang sulit, menjadi momok yang menakutkan bagi Belanda.

Namun, Belanda tak tinggal diam. Mereka menggunakan berbagai cara untuk menumpas perlawanan rakyat Aceh. Mereka melancarkan serangan brutal, membakar desa-desa, dan membunuh penduduk sipil yang tak berdosa.

Puncak kekejaman Belanda terjadi pada tahun 1899, ketika mereka membantai ribuan rakyat Aceh di sebuah desa bernama Kuto Reh.

Pengkhianatan dan Pengasingan

Di tengah sengitnya pertempuran, Cut Nyak Dien kembali diuji. Teuku Umar gugur di medan laga, meninggalkan luka yang mendalam di hati Cut Nyak Dien.

Namun, ia tetap tegar, melanjutkan perjuangan suaminya. Ia memimpin pasukan Aceh dengan gigih, tak pernah menyerah meskipun kondisi semakin sulit.

Namun, perjuangan Cut Nyak Dien menghadapi cobaan berat. Pengkhianatan dari dalam barisan sendiri membuat posisinya terjepit.

Pada tahun 1905, Pang Laot Ali, seorang tokoh agama yang sebelumnya mendukung perjuangan Cut Nyak Dien, berbalik arah dan bekerja sama dengan Belanda. Ia membocorkan informasi tentang keberadaan Cut Nyak Dien kepada Belanda.

Pada tanggal 6 November 1906, pasukan Belanda menyergap persembunyian Cut Nyak Dien di Beutong Ateuh.

Cut Nyak Dien yang saat itu sudah tua dan sakit-sakitan, tak mampu melawan. Ia ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.

Di pengasingan, Cut Nyak Dien tetap menunjukkan semangat juangnya. Ia menolak tunduk kepada Belanda, dan terus mengobarkan semangat perlawanan kepada rakyat Aceh yang menjenguknya.

Wafat di Tanah Sunda

Cut Nyak Dien wafat di Sumedang pada tanggal 6 November 1908. Jenazahnya dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Meskipun wafat di tanah rantau, semangat juang Cut Nyak Dien tetap hidup di hati rakyat Aceh. Namanya menjadi legenda, simbol perlawanan terhadap penjajahan.

Pada tahun 1964, Cut Nyak Dien dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai nama jalan, universitas, dan berbagai tempat di Indonesia.

Kisah perjuangannya menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus berjuang demi bangsa dan negara.

Sumber:

Reid, Anthony. (2005). Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ibrahim, Alfian. (2007). Aceh dan Perang Kolonial Belanda. Jakarta: LP3ES.

Sjamsuddin, Nazaruddin. (2007). The Republic of Indonesia at 45: Problems and Prospects. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c. 1300. Stanford: Stanford University Press.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait