WR Supratman Sekali Lagi, Pencipta Lagu Indonesia Raya yang Mati Muda

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

WR Supratman
WR Supratman

Dari keluarga yang kurang bahagia. Kisah perkawinannya juga kurang bahagia. Banyak menderita. Tukang gadai. Diludahi Belanda karena berkulit cokelat. Menciptakan Indonesia Raya dengan biolanya. Mati muda. Dialah WR Supratman. Tulisan ini disarikan dari Majalah HAI, tayang Agustus 1984.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Ketika itu Supratman melihat kakak perempuannya bermain biola. Seketika, dia ingin memainkannya. Seperti biasa,dia akan mengerjakan keinginannya itu dengan diam-diam. Hampir tiap hari, calon guru ini berlatih biola di kamarnya. Umurnya baru 19 tahun ketika dia memamerkan kepandaiannya di sebuah pesta kawin.

Rukiyem, sang kakak, kali ini dibuatnya kaget. Dalam dua tahun permainan Wage Rudolf Supratman ternyata jauh lebih baik darinya. Sejak saat itu, Supratman dikenal sebagai pemain biola di Ujung Pandang, tempat tinggalnya bersama Rukiyem.

Orangtuanya hanya memberinya nama Supratman. Berhubung lahir Jumat Wage, dia mendapat panggilan akrab Wage oleh keluarganya. Rudolf adalah nama baptisnya. Dia lahir pada 9 Maret 1903 sebagai anak laki-laki tunggalSersan Kartodikromo. Sejak kecil dia sangat dimanja oleh keluarganya.

Sayang, ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi. Wage yang pendiam dan senang berkhayal ini semakin tak betah di rumahnya di Jatinegara, Jakarta. Akhirnya dia ikut kakak tertuanya ke Ujung Pandang.

Wage punya otak yang cerdas. Meski begitu,hanya sayang kulitnya coklat matang hingga dia ditolak di sekolah Belanda. Mau tak mau dia harus sekolah di Bumiputera. Umur 17 tahun dia tamat sekolah dan diangkat menjadi guru. Semua berkat kakak perempuannya.

Ketika diberi ucapan terima kasih oleh Wage, sang kakak cuma bilang:Balaslah dengan lebih rajin belajar terhadap segala macam ilmu. Ingatlah kau telah menjadi guru. Itu berarti tanggung jawabmu pada masyarakat besar sekali.

Kata-kata itu juga yang terus menjadi pegangan utamanya dalam menghadapi hidup selanjutnya.

Dengung pergerakan kebangsaan mulai terdengar di Ujung Pandang. Sebagai remaja, Wage merasa terpanggil untuk mengenal gerakan yang berpusat di Pulau Jawa. Bosan dengan gaya hidup kebarat-baratan dia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan.

Dia yang biasa bekerja sebagai guru, pekerjaan yang teratur dan tenang, sekarang harus hidup sebagai wartawan dengan gaji kecil dan pekerjaan tak teratur. Dia juga harus belajar bergaul dengan semua lapisan masyarakat. Untuk menutup kekurangannya. Wage bekerja sebagai pemain musik di sebuah perkumpulan musik kaum peranakan Belanda.

Tak puas dengan Bandung, dia pindah ke Jakarta. Dia sekali lagi harus menentukan pilihan, meneruskan hidup kebarat-baratan atau menerima kenyataan bahwa wartawan itu miskin. Barang-barangnya habis digadaikan, tapi dia puas mendapat kesempatan menghadiri pertemuan-pertemuan politik.

Sedikit demi sedikit pengaruh pergerakan nasional merasuk ke jiwanya. Kalau dulu dia senang hidup ala Belanda, sekarang dia bisa marah bila ada yang menyinggung soal pribumi. Tapi toh malah dianggap "Belanda pun tidak''.

Hingga terjadi peristiwa di mana dia dimaki tiga pemuda Belanda dengan sebutan inlander sambil meludahinya.

"Lu kira lu berdarah Eropa? Lu tidak lebih dari Inlander yang makan singkong busuk," kata orang Belanda itu. Hinaan itu membuatnya tercengang. Tapi justru saat itulah, setelah kemarahan reda, merupakan titik balik sikap hidup Supratman. Dia merasa berdosa pada tanah airnya dan berjanji akan berbakti semampunya.

Dari rumah gedung, Wage Supratman pindah ke kampung dan mengontrak pondok beratap nipah dan berlantai tanah. Di daerah tempat tinggalnya dia mulai mengerti penderitaan rakyat. Tak jarang dia melihat penduduk di sekitarnya makan sehari sekali, itu pun hanya kerak nasi.

Walau miskin, Wage merasa bahagia. Bahkan dia mulai meninggalkan musik sebagai mata pencaharian. "Uang pencarian seperti itu tidak berkat," katanya. Tidak diberkati Tuhan.

"Apa gunanya gaji besar kalau tidak memberi kepuasan. Ibarat orang minum air garam di hari panas. Semakin diminum semakin dahaga dan kesehatan pun rusak."

Sebagai wartawan Wage punya kebanggaan tersendiri.

"Wartawan itu pemuka bangsa. Bukankah seorang wartawan memberi penerangan umum? Bukankah tugas wartawan membela yang tertindas." Wage Rudolf Supratman bekerja di koran Sin Po sebagai wartawan kriminal.

Pergerakan politik makin hangat. Dari Yogyakarta muncul anjuran agar komponis Indonesia menciptakan lagu yang bisa dijadikan lagu kebangsaan. Yang ada waktu itu baru beberapa lagu mars seperti "Dari Barat Sampai Ke Timur" yang kurang memberi semangat dan kepuasan bagi kebanyakan rakyat. Supratman begitu gembira dalam hati dia yakin akan mampu memenuhi anjuran itu.

Berhari-hari, siang malam dia mempersiapkan lagunya.

Hari kedelapan, jam lima pagi dia berhasil menyelesaikan not sebuah lagu yang dirasa bersemangat dan mencerminkan semangat rakyat yang tak bisa dirantai. Tak bisa dikekang lagi. Lagu itu menggambarkan perjuangan rakyat yang tak kenal lelah. Supratman yakin lagu karangannya cocok dengan jiwa bangsa Indonesia yang sedang bangkit dari tidurnya yang lelap.

"Di masa yang akan datang Indonesia akan bersalaman dengan dunia internasional. Maka semangat itu harus ditanamkan dalam sanubari bangsa kita. Mengapa tidak dimasukkan dalam lagu kebangsaan?" katanya pada diri sendiri.

Tapi, kemudian dia bingung memberi judul lagunya. Mungkin "Lagu Kebangsaan" cukup katanya. Setiap ada kesempatan dimainkan lagu ciptaannya. Dalam menyusun syairnya Supratman teringat pidato Bung Karno di Bandung yang pernah didengarnya, "Airnya kamu minum, nasinya kamu makan. Abdikanlah dirimu padanya. Kepada Ibu Pertiwi, Ibu Indonesia".

Dia kemudian menetapkan judul lagu ciptaannya, "Apa salahnya kalau aku namakan Indonesia Raya?" tanyanya pada diri sendiri.

Tanggal 22 Desember 1928 Supratman menulis surat ke pengurus Gedung Perhimpunan Indonesia di Kramat, Jakarta. Isinya pemberitahuan telah tercipta sebuah lagu yang bersemangat dan berirama mars.

Wage minta diberi kesempatan untuk memperdengarkan lagunya, "Kalaupun tak dapat dipakai sebagai lagu pergerakan atau kebangsaan, memadailah kalau diperdengarkan," tulisnya. Dia ingin memperkenalkan lagu barunya di kongres Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang akan diadakan tanggal 24-28 Desember 1928.

Hari itu, tanggal 24 Desember 1928. Gedung PPPI (sekarang gedung Sumpah Pemuda Jl. Kramat Raya Jakarta) penuh sesak dihadiri pemuda utusan dari berbagai daerah. Wajah mereka mencerminkan kesungguhan dan semangat kebangsaan.

Tiba-tiba seorang pemuda yang langsing, kurus dan hitam dengan senyum terlukis di bibir, maju ke mimbar memimpin orkes. Pancaran matanya menunjukkan dia pemuda yang idealis.

Pertama-tama orkes menyanyikan lagu kebangsaan beberapa negara. Kemudian hadirin diminta memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan seksama. Tangan pemuda itu terlihat gemetar, tapi dengan pelan tetap digesek biolanya diiringi piano.

Sekali lagi diulangi lagu ciptaannya sambil menyanyikan syair dengan penuh semangat. Terakhir lagu itu dinyanyikan bersama oleh lima puluh orang pemuda. Lagu telah lama selesai tapi ruangan kongres tetap sepi. Keharuan meliputi diri semua orang. Lagu yang menumbuhkan semangat telah mereka temukan.

Lagu Indonesia Raya belum dapat dikatakan sebagai lagu kebangsaan. Dia sudah diterima sebagai lagu perjuangan, pembangkit semangat dan tersimpan rapat di hati tiap orang.

Salinan lagu itu kemudian dicetak dan habis terjual, hingga mempercepat penyebarannya. Semua orang sibuk menghafalkannya, tak mau kalah satu dengan yang lain. Di setiap kesempatan orang menyanyikannya bersama, entah itu di jalan, di rumah apalagi dalam pertemuan resmi.

Akibatnya sudah jelas pemerintah Belanda tak senang. Lagu karangan Wage ternyata lebih hebat pengaruhnya daripada pidato politik. Lagu itu dilarang beredar, tapi justru rakyat semakin bersemangat menyanyikannya.

Cita-cita Wage tercapai, menjadi orang terkenal. Tidak hanya terkenal, tapi dia berhasil menyumbangkan jasa bagi bangsanya. Roda kehidupan berputar terus. Kadang di atas menjadi pusat perhatian, hidup enak dan terkenal. Tapi sekali waktu dia akan di bawah, sengsara dan dilupakan orang.

Wage dua kali menikah, tapi dua-duanya berakhir tanpa meninggalkan keturunan. Dia sebagai pengarang mulai dilupakan orang. Hidupnya dibelit kemiskinan, semua barang habis dijual untuk makan dan berobat.

Hatinya merana, karena sekarang tak seorang pun yang mengenalnya. Hanya seorang yang masih mengingatnya, Dr Soetomo, yang mengenalinya ketika dia jatuh miskin dan pindah ke Surabaya.

Kekecewaan yang bertumpuk semakin menggerogoti kesehatannya. Tanggal 16 Agustus 1938 keadaannya semakin melemah. Terbangun sebentar dia hanya meninggalkan pesan "serahkan lagu Indonesia Raya pada badan kebangsaan", dan itulah pesan terakhirnya. Tanggal 17 Agustus 1938, dalam usia 34 tahun Wage Rudolf Supratman meninggal.

Semua orang kaget mendengar kabar duka itu. Orang hanya mengenal Supratman sebagai pencipta lagu Indonesia Raya. Tapi tak seorang pun yang mengenal pribadinya. Dia merana karena merasa ditinggalkan semua orang. Waktu berjalan terus, lagu ciptaannya tetap dinyanyikan.

Setelah kemerdekaan didengungkan, tanggal 26 Juni 1958 keluar Peraturan Pemerintah lagu Indonesia Raya ditetapkan sebagai lagu kebangsaan.

Seandainya Wage masih hidup, dia patut berbangga mendengar berita pengangkatan itu. Di dunia ini hanya beberapa negara, termasuk Indonesia, Perancis, Kanada dan Srilangka yang lagu kebangsaannya ciptaan satu orang. Biasanya syair dan lagu diciptakan oleh dua orang, bahkan ada beberapa negara yang lagu kebangsaannya diciptakan oleh orang asing. Ya seandainya dia tahu itu, dia tak perlu merana dan kecewa.

Artikel Terkait