Kisah Sultan Abdullah Rahman Merealisir Traktat London 1824 dengan Melakukan Perjanjian dengan Belanda

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Berikut ini adalah sejarah kesultanan Malaka yang terkenal sebagai kerajaan maritim.
Ilustrasi - Berikut ini adalah sejarah kesultanan Malaka yang terkenal sebagai kerajaan maritim.

---

Intisari-online.com - Angin monsun timur berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan pohon kelapa di tepi pantai Singapura.

Di bawah naungan langit tropis yang biru, Sultan Abdullah Muhammad Shah, penguasa Kesultanan Johor-Riau-Lingga, termenung memandang Selat Malaka yang membentang luas.

Di matanya terbayang kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia yang hilir mudik, membawa rempah-rempah, sutra, dan berbagai komoditas berharga lainnya.

Selat Malaka, jalur perdagangan vital yang menghubungkan Timur dan Barat, telah lama menjadi saksi bisu perebutan pengaruh antara kekuatan-kekuatan besar Eropa.

Pada awal abad ke-19, dua raksasa kolonial, Inggris dan Belanda, saling berlomba untuk menguasai wilayah strategis ini. Perjanjian London 1824, yang ditandatangani oleh kedua negara, menjadi titik balik dalam sejarah Nusantara.

Traktat ini membagi wilayah kekuasaan di Semenanjung Malaya, dengan Inggris menguasai wilayah di utara dan Belanda di selatan.

Singapura, pulau kecil di ujung selatan Semenanjung Malaya, jatuh ke tangan Inggris, menjadikannya pelabuhan bebas yang berkembang pesat.

Sultan Abdullah, yang wilayah kekuasaannya terpecah akibat Traktat London, dihadapkan pada dilema politik yang rumit.

Di satu sisi, ia ingin mempertahankan kedaulatan Kesultanan Johor-Riau-Lingga. Di sisi lain, ia menyadari pentingnya menjaga hubungan baik dengan kedua kekuatan kolonial tersebut demi kelangsungan hidup rakyatnya.

Dilema Sang Sultan

Dalam hati Sang Sultan berkecamuk pergolakan batin. Ia merasa terikat oleh perjanjian yang telah disepakati oleh Inggris dan Belanda, namun ia juga tidak ingin mengorbankan kedaulatan negerinya.

Bagai bidak catur di papan permainan politik, ia harus melangkah dengan hati-hati, mempertimbangkan setiap konsekuensi dari keputusannya.

Di tengah kegelisahannya, Sultan Abdullah teringat akan nasihat bijak ayahandanya, Sultan Mahmud Shah III.

"Wahai anakku," pesan sang ayahanda, "dalam menghadapi badai politik, seorang pemimpin haruslah memiliki kebijaksanaan laksana samudra yang luas, mampu meredam gejolak dan gelombang.

Ia haruslah memiliki keteguhan hati laksana gunung yang kokoh, tak mudah goyah diterpa angin dan badai. Dan yang terpenting, ia haruslah mengutamakan kesejahteraan rakyatnya di atas segalanya."

Nasihat ayahandanya bagai pelita yang menerangi jalan di tengah kegelapan. Sultan Abdullah menyadari bahwa ia tidak boleh terjebak dalam pusaran konflik antara Inggris dan Belanda.

Ia harus mencari jalan keluar yang terbaik bagi rakyatnya, meskipun harus mengorbankan sebagian wilayah kekuasaannya.

Perjanjian dengan Belanda

Dengan tekad yang bulat, Sultan Abdullah memutuskan untuk menjalin perjanjian dengan Belanda.

Ia berharap perjanjian ini dapat memberikan jaminan keamanan bagi wilayahnya yang tersisa, serta melindungi hak-hak rakyatnya. Negosiasi dengan Belanda berlangsung alot.

Sultan Abdullah, didampingi para penasihat setianya, berusaha keras untuk mendapatkan kesepakatan yang menguntungkan bagi Kesultanan Johor.

Setelah melalui perundingan yang panjang, akhirnya pada tahun 1825, Sultan Abdullah dan Belanda mencapai kesepakatan.

Perjanjian ini menegaskan pengakuan Belanda atas kedaulatan Sultan Abdullah atas wilayah Riau-Lingga. Sebagai gantinya, Sultan Abdullah menyerahkan sebagian wilayahnya di Semenanjung Malaya kepada Belanda.

Warisan Kebijaksanaan

Keputusan Sultan Abdullah untuk menjalin perjanjian dengan Belanda bukanlah keputusan yang mudah. Ia harus menerima kenyataan pahit bahwa sebagian wilayah kekuasaannya harus diserahkan kepada kekuatan asing.

Namun, ia menyadari bahwa pengorbanan ini demi kemaslahatan rakyatnya.

Perjanjian dengan Belanda berhasil menjaga stabilitas dan keamanan di wilayah Riau-Lingga. Sultan Abdullah dapat melanjutkan pemerintahannya dengan damai, fokus pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Ia dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan adil, yang selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya.

Kisah Sultan Abdullah Muhammad Shah adalah cerminan dari kebijaksanaan seorang pemimpin dalam menghadapi tantangan zaman.

Di tengah pusaran intrik politik dan perebutan kekuasaan, ia mampu mengambil keputusan yang tepat demi menjaga kedaulatan dan kesejahteraan rakyatnya.

Sumber:

Andaya, Barbara Watson. (2001). The Flaming Womb: Repositioning Women in Early Modern Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai'i Press.

Cortesão, Armando. (1944). The Suma Oriental of Tomé Pires and the Book of Francisco Rodrigues: An Account of the East, from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515; and The Voyage of Magellan's Ship. London: Hakluyt Society.

Tarling, Nicholas. (1992). The Cambridge History of Southeast Asia: Volume One, From Early Times to c. 1800. Cambridge: Cambridge University Press.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait