Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Angin dingin Desember 1948 menyapa Bukittinggi, menyusup di antara rimbunnya pepohonan dan lembah-lembah yang menyelimuti kota. Kabut tipis turun perlahan, seolah hendak menyelimuti kota dengan selubung misteri.
Namun, di balik kabut itu, menyala semangat perjuangan yang tak kunjung padam.
Di sebuah rumah sederhana, berkumpul para pemimpin bangsa, wajah-wajah tegang di bawah temaram lampu minyak. Agresi Militer Belanda II telah melumpuhkan jantung pemerintahan di Yogyakarta, menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Republik Indonesia berada di ujung tanduk, nasib bangsa di ambang ketidakpastian.
Ekonom brilian yang pernah menjabat sebagai Menteri Kemakmuran ini menerima mandat sejarah untuk memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sebuah tugas maha berat, memikul harapan sebuah bangsa yang sedang terluka.
Sjafruddin Prawiranegara, putra Serang, Banten, yang lahir pada 28 Februari 1911, bukanlah sosok asing dalam kancah perjuangan.
Dididik dalam keluarga berpendidikan dengan darah Minangkabau dari garis ibu, ia mewarisi semangat juang dan intelektualitas yang tinggi.
Riwayat pendidikannya di AMS dan kemudian Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum) mengantarkannya pada pemahaman mendalam tentang hukum dan ekonomi.
Mengobarkan Semangat Perlawanan dari Bukittinggi
Di Bukittinggi, Sjafruddin dan para pemimpin lainnya mendirikan PDRI, sebuah cahaya di tengah kegelapan.
Dengan sumber daya yang terbatas, mereka berjuang menjaga eksistensi Republik, mengobarkan semangat perlawanan, dan menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada.
Sjafruddin dengan cerdas memimpin PDRI, mengeluarkan mata uang baru, mengatur strategi perang gerilya, dan melakukan diplomasi internasional untuk mendapatkan dukungan dunia.
"Kita tidak boleh menyerah! Republik Indonesia masih hidup!" serunya dalam pidato berapi-api yang dikumandangkan melalui Radio Rimba Rayo, menggemakan semangat perjuangan ke seluruh pelosok negeri.
Suara Sjafruddin menjadi obor penyemangat, menembus blokade Belanda, menghidupkan harapan di hati rakyat yang sedang berjuang.
Tugas PDRI bukanlah perjalanan mudah. Ancaman musuh yang selalu mengintai, keterbatasan logistik, dan tantangan internal menguji kepemimpinan Sjafruddin.
Namun, dengan ketabahan, kebijaksanaan, dan semangat pantang menyerah, ia berhasil mengarungi badai dan membawa PDRI menjalankan fungsinya dengan baik.
Salah satu keputusan strategis Sjafruddin adalah menjalankan strategi perang gerilya. Ia menyadari bahwa menghadapi kekuatan militer Belanda secara langsung adalah tindakan bunuh diri.
Dengan mengandalkan taktik hit and run, pasukan gerilya Indonesia berhasil melemahkan Belanda, menghambat pergerakan mereka, dan membuat mereka terjebak dalam perang yang melelahkan.
Diplomasi dan Pengakuan Internasional
Sjafruddin juga aktif melakukan diplomasi internasional. Ia mengirimkan utusan ke India dan Pakistan untuk meminta dukungan politik dan bantuan kemanusiaan.
Upaya ini membuahkan hasil, dunia internasional mulai memberikan perhatian pada perjuangan Indonesia.
Tekanan internasional terhadap Belanda semakin kuat, mendesak mereka untuk menghentikan agresi dan kembali ke meja perundingan.
Setelah berbulan-bulan berjuang dalam keadaan darurat, akhirnya fajar kemerdekaan kembali menyingsing.
Perjanjian Roem-Royen ditandatangani, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, dan Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Mohammad Hatta dibebaskan dari pengasingan.
PDRI berhasil menjalankan tugasnya, menjaga api perjuangan tetap menyala, dan mengantarkan Indonesia kembali ke pangkuan kemerdekaan.
Pada 13 Juli 1949, Sjafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandat kepemimpinan kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta.
Sebuah momen bersejarah yang menandai berakhirnya masa PDRI dan kembalinya pemerintahan Republik Indonesia yang sah.
Sjafruddin telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa, namanya terukir sebagai pahlawan yang berjasa menyelamatkan Republik dari jurang kehancuran.
Pengabdian yang Tak Kenal Henti
Meskipun PDRI telah berakhir, pengabdian Sjafruddin Prawiranegara kepada bangsa dan negara tidak pernah surut. Ia kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, kemudian menjabat sebagai Presiden De Javasche Bank (1951-1953) dan Gubernur Bank Indonesia pertama (1953-1958).
Sjafruddin juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan, menunjukkan dedikasinya yang tinggi untuk kemajuan bangsa.
Sjafruddin Prawiranegara adalah sosok pemimpin yang visioner, berani, dan berintegritas. Ia adalah cerminan semangat juang dan pengabdian yang tulus kepada tanah air.
Kisah kepemimpinannya dalam PDRI adalah bukti nyata bahwa dalam keadaan sesulit apapun, semangat perjuangan dan persatuan dapat mengatasi segala rintangan.
Pada 15 Februari 1989, Sjafruddin Prawiranegara menghembuskan nafas terakhirnya di Jakarta. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Meskipun telah tiada, namanya tetap hidup dalam kenangan bangsa Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya pada tahun 2011, sebuah penghormatan tertinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa.
Sjafruddin Prawiranegara meninggalkan warisan abadi bagi generasi penerus bangsa.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---