Kebijakan Kontroversial Daendels Gegara Meroketnya Harga Biji Kopi

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels dijuluki sebagai si tangan besi. Proyeknya memakan ribuan nyawa.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels dijuluki sebagai si tangan besi. Proyeknya memakan ribuan nyawa.

---

Intisari-online.com - Angin pagi berhembus lembut di Batavia, membawa aroma kopi yang menguar dari pelabuhan Sunda Kelapa. Tahun 1808, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, menghirup aroma itu dengan penuh semangat.

Baginya, aroma kopi bukan sekadar aroma biasa, melainkan aroma kekuasaan dan kejayaan. Harga biji kopi di pasar dunia sedang meroket, dan Daendels melihat peluang emas untuk mengisi pundi-pundi kas Belanda yang sedang kosong.

Daendels, sang Marsekal besi, dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang keras dan disiplin. Ia datang ke Hindia Belanda dengan misi utama untuk memperkuat pertahanan Jawa dari ancaman Inggris.

Namun, di balik ambisinya untuk membangun benteng pertahanan yang kokoh, Daendels juga memiliki ambisi lain: menjadikan Jawa sebagai penghasil kopi terbesar di dunia.

Kebijakan Tanam Paksa yang Pahit

Demi mewujudkan ambisinya, Daendels tak segan mengeluarkan kebijakan kontroversial yang dikenal sebagai cultuurstelsel atau tanam paksa.

Sistem ini mewajibkan rakyat Priangan, Jawa Barat, untuk menanam kopi di sebagian tanah mereka dan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah Belanda dengan harga yang sangat rendah.

Bayangkan, para petani yang terbiasa menanam padi untuk kebutuhan hidup mereka sendiri, kini dipaksa untuk menanam komoditas yang asing bagi mereka. Lahan-lahan subur yang dulunya ditanami padi, kini harus ditanami kopi.

Keringat dan air mata mereka tumpah di perkebunan kopi, namun hasil jerih payah mereka hanya dihargai dengan sepeser uang oleh pemerintah kolonial.

Kebijakan tanam paksa ini menjadi beban berat bagi rakyat Priangan. Mereka harus bekerja keras di perkebunan kopi, sementara sawah mereka terbengkalai. Akibatnya, banyak petani yang mengalami kelaparan dan jatuh miskin.

Penderitaan rakyat Priangan semakin bertambah dengan adanya kewajiban kerja rodi untuk membangun jalan raya Anyer-Panarukan.

Jalan yang dibangun dengan darah dan air mata ini memang memperlancar transportasi dan perdagangan, namun juga menjadi saksi bisu penderitaan rakyat di bawah kekuasaan Daendels.

Di balik kemewahan dan keharuman secangkir kopi yang dinikmati di Eropa, tersimpan kisah pilu dan penderitaan rakyat Priangan.

Kopi yang mereka tanam dengan susah payah, dinikmati oleh orang-orang di negeri seberang, sementara mereka sendiri harus merasakan pahitnya kemiskinan dan kelaparan.

Ironisnya, kebijakan tanam paksa yang bertujuan untuk meningkatkan produksi kopi justru berdampak sebaliknya. Banyak petani yang memilih untuk melarikan diri dari perkebunan kopi karena tidak tahan dengan tekanan dan penderitaan. Akibatnya, produksi kopi menurun dan kualitasnya pun menurun.

Warisan Daendels yang Kontroversial

Daendels memang dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan berjasa dalam membangun infrastruktur di Jawa. Jalan raya Anyer-Panarukan yang dibangunnya menjadi bukti nyata kontribusinya bagi perkembangan transportasi di Pulau Jawa.

Namun, kebijakan tanam paksa yang diterapkannya telah meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Priangan.

Meskipun Daendels hanya menjabat sebagai Gubernur Jenderal selama tiga tahun (1808-1811), kebijakan tanam paksa terus dilanjutkan oleh para penerusnya. Sistem ini baru dihapuskan pada tahun 1870, setelah menuai banyak kritik dan kecaman.

Kisah tentang meroketnya harga biji kopi dan kebijakan tanam paksa di era Daendels menjadi pelajaran berharga bagi kita.

Kita diingatkan akan pentingnya keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kita juga diingatkan akan bahaya keserakahan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Semoga kita bisa belajar dari sejarah dan tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Mari kita bangun Indonesia yang adil dan sejahtera, di mana setiap warga negara bisa menikmati hasil bumi pertiwi tanpa harus merasakan pahitnya penindasan dan eksploitasi.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait