Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Angin laut berbisik lirih di antara dedaunan pohon kelapa yang menjulang tinggi, seolah menghembuskan kisah pilu tentang perjuangan dan pengkhianatan di bumi Maluku.
Di kepulauan yang dijuluki "Spice Islands" ini, aroma cengkeh dan pala yang semerbak tak mampu menutupi aroma getir perpecahan yang pernah mengoyak persatuan bangsa.
Di tengah gejolak sejarah yang bergejolak, muncul sosok Dr. Christiaan Robert Steven Soumokil, seorang tokoh kontroversial yang menorehkan tinta emas sekaligus noda hitam dalam lembaran sejarah Indonesia.
Soumokil, seorang putra Maluku yang lahir di tanah Jawa, adalah sosok yang kompleks.
Ia adalah seorang intelektual brilian yang mengenyam pendidikan tinggi di bidang hukum, seorang nasionalis yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, namun juga seorang separatis yang mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS) yang menentang integrasi dengan Republik Indonesia.
Soumokil, seperti halnya para pemuda Indonesia lainnya, merasakan api semangat nasionalisme yang berkobar-kobar di dada.
Ia turut berjuang melawan penjajah Belanda, mendambakan sebuah Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.
Namun, mimpi indah itu seakan sirna ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 menghasilkan keputusan untuk membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), sebuah negara federal yang terdiri dari berbagai negara bagian.
Bagi Soumokil, RIS adalah sebuah bentuk neo-kolonialisme yang memecah belah persatuan Indonesia.
Ia merasa bahwa Maluku, dengan kekayaan alam dan budaya yang unik, berhak untuk menentukan nasibnya sendiri. Ia bermimpi untuk membangun sebuah negara Maluku yang merdeka dan berdaulat, lepas dari bayang-bayang dominasi Jawa.
Didorong oleh keyakinan dan idealismenya, Soumokil bersama dengan sejumlah tokoh Maluku lainnya, memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 25 April 1950.
Proklamasi ini menjadi titik awal dari sebuah konflik berkepanjangan antara RMS dan pemerintah Republik Indonesia.
Soumokil berpendapat bahwa Maluku memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri berdasarkan hak penentuan nasib sendiri (self-determination) yang diakui oleh hukum internasional.
Ia berargumen bahwa Maluku tidak pernah menjadi bagian integral dari Hindia Belanda, melainkan sebuah wilayah yang memiliki pemerintahan sendiri di bawah perjanjian dengan Belanda.
Namun, pemerintah Indonesia menolak klaim RMS dan menganggapnya sebagai gerakan separatis yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemerintah Indonesia berpegang pada prinsip bahwa Maluku adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia, sebuah negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Perjuangan yang Sia-sia
Konflik antara RMS dan pemerintah Indonesia berlangsung selama bertahun-tahun, diwarnai dengan pertempuran bersenjata, negosiasi yang gagal, dan pengasingan para pemimpin RMS.
Soumokil sendiri ditangkap pada tahun 1962 dan dihukum mati pada tahun 1966.
Perjuangan Soumokil untuk kemerdekaan Maluku berakhir dengan tragis. RMS gagal mendapatkan pengakuan internasional dan dukungan dari masyarakat Maluku sendiri.
Cita-cita Soumokil untuk membangun sebuah negara Maluku yang merdeka dan berdaulat pupus di tengah gejolak sejarah.
Kisah Soumokil dan RMS adalah sebuah pengingat akan kompleksitas sejarah Indonesia. Ia adalah sebuah kisah tentang perjuangan, pengkhianatan, idealisme, dan realitas politik.
Soumokil adalah sosok yang kontroversial, seorang pahlawan bagi sebagian orang, namun seorang pengkhianat bagi yang lain.
Namun, terlepas dari kontroversi yang melingkupinya, Soumokil adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia.
Kisahnya adalah cermin dari dinamika politik dan sosial yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia menuju persatuan dan kesatuan.
Sumber:
Buku:
Kahin, Audrey R. (1970). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Lev, Daniel S. (2009). The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957–1959. Equinox Publishing.
Reid, Anthony. (1974). The Indonesian National Revolution 1945–1950. Melbourne: Longman Pty Ltd.
Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c.1300. Stanford: Stanford University Press.
Jurnal:
Cribb, Robert. (2001). "Historical Injustice and the Reconciliation Process in Indonesia". Asian Survey, Vol. 41, No. 3, pp. 485-501.
Van Dijk, C. (1981). "The 'Military' and the 'Civil' in Indonesia's Political Development". The Journal of Asian Studies, Vol. 40, No. 4, pp. 673-692.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---