Beliau adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga menjadi Menteri Pertahanan pertama Republik Indonesia.
Namun, di balik kejayaan dan kharismanya, terdapat bayang-bayang ancaman yang mengintai.
APRA, pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raymond Westerling, menjadikan sang Sultan sebagai target utama dalam rencana kudeta mereka.
Mengapa Sultan Hamengkubuwono IX menjadi sasaran pembunuhan APRA? Mari kita telusuri jejak sejarah untuk mengungkap misteri ini.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX: Sang Raja yang Memilih Republik
Sri Sultan Hamengkubuwono IX bukanlah raja biasa. Beliau adalah sosok yang memiliki pandangan jauh ke depan, seorang pemimpin yang mampu melihat potensi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ketika Belanda berusaha kembali menguasai Nusantara pasca Proklamasi Kemerdekaan, sang Sultan dengan tegas menyatakan dukungannya kepada Republik Indonesia.
Beliau bahkan mengizinkan Yogyakarta menjadi ibu kota sementara Republik, memberikan perlindungan kepada para pemimpin bangsa, dan mengirimkan pasukan serta bantuan logistik untuk mendukung perjuangan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Keputusan sang Sultan untuk memihak Republik bukanlah tanpa risiko. Belanda, yang merasa dikhianati oleh seorang raja yang seharusnya menjadi sekutu mereka, berusaha membujuk dan mengancam sang Sultan agar menarik dukungannya.
Namun, sang Sultan tetap teguh pada pendiriannya. Beliau percaya bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, termasuk Indonesia, dan beliau siap berjuang untuk mewujudkannya.
APRA: Bayang-bayang Pemberontakan
Di tengah upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia, muncullah sebuah gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raymond Westerling, seorang mantan perwira KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger) yang dikenal dengan julukan "The Turk".
Westerling membentuk pasukan khusus bernama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia dan mengembalikan kekuasaan kepada Belanda.
APRA terdiri dari para mantan tentara KNIL, orang-orang Belanda yang tidak puas dengan kemerdekaan Indonesia, serta beberapa kelompok pribumi yang merasa dirugikan oleh kebijakan Republik.
Gerakan ini mendapat dukungan diam-diam dari Belanda, yang melihat APRA sebagai alat untuk melemahkan Republik dari dalam.
Target Utama: Sultan Hamengkubuwono IX
Dalam rencana kudeta mereka, APRA menjadikan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai target utama pembunuhan. Ada beberapa alasan mengapa sang Sultan menjadi sasaran utama APRA:
Simbol Perlawanan: Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah simbol perlawanan terhadap Belanda. Beliau adalah seorang raja yang memilih memihak Republik, memberikan dukungan penuh kepada perjuangan kemerdekaan, dan menjadi panutan bagi rakyat Indonesia.
Dengan membunuh sang Sultan, APRA berharap dapat mematahkan semangat perlawanan rakyat dan menciptakan kekacauan di Yogyakarta, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan Republik.
Menteri Pertahanan: Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjabat sebagai Menteri Pertahanan pertama Republik Indonesia. Beliau bertanggung jawab atas pertahanan negara dan memimpin TNI dalam menghadapi agresi militer Belanda.
Dengan membunuh sang Sultan, APRA berharap dapat melumpuhkan kepemimpinan TNI dan mempermudah upaya mereka untuk menguasai Yogyakarta.
Pengaruh Politik: Sri Sultan Hamengkubuwono IX memiliki pengaruh politik yang besar di Indonesia. Beliau dihormati oleh rakyat dan para pemimpin bangsa, serta memiliki hubungan baik dengan berbagai tokoh perjuangan.
Dengan membunuh sang Sultan, APRA berharap dapat menciptakan kekosongan kepemimpinan dan memperlemah posisi Republik di mata dunia internasional.
Dendam Pribadi: Raymond Westerling, pemimpin APRA, memiliki dendam pribadi terhadap Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Westerling merasa bahwa sang Sultan telah mengkhianati Belanda dengan memihak Republik. Selain itu, Westerling diduga juga iri dengan posisi sang Sultan sebagai Menteri Pertahanan, jabatan yang diinginkannya untuk dirinya sendiri.
Rencana Pembunuhan yang Gagal
Pada tanggal 27 Januari 1949, APRA melancarkan serangan mendadak ke Yogyakarta. Pasukan APRA berhasil menduduki beberapa bagian kota dan melakukan penangkapan terhadap sejumlah pejabat Republik. Namun, upaya mereka untuk membunuh Sultan Hamengkubuwono IX gagal.
Sang Sultan, yang telah mendapat informasi tentang rencana penyerangan, berhasil menyelamatkan diri dan berlindung di tempat yang aman.
Kegagalan APRA untuk membunuh sang Sultan menjadi pukulan telak bagi gerakan pemberontakan ini.
Tanpa pemimpin yang mereka targetkan, APRA kehilangan momentum dan dukungan. TNI, yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman, segera melancarkan serangan balasan dan berhasil memukul mundur pasukan APRA dari Yogyakarta.
Keteguhan Hati Sang Raja
Meskipun menjadi target pembunuhan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX tidak gentar. Beliau tetap teguh pada pendiriannya untuk mendukung Republik Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan bangsanya.
Sang Sultan bahkan kembali ke Yogyakarta setelah kota tersebut berhasil direbut kembali oleh TNI, menunjukkan keberanian dan kepemimpinannya di hadapan rakyat.
Keteguhan hati sang Sultan menjadi inspirasi bagi rakyat Indonesia. Beliau adalah bukti nyata bahwa seorang pemimpin sejati tidak akan pernah menyerah, bahkan ketika nyawanya terancam.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah simbol perjuangan, kesetiaan, dan pengorbanan untuk bangsa dan negara.
Kisah tentang Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan upaya pembunuhan yang dilakukan oleh APRA adalah bagian penting dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya kesetiaan, keberanian, dan pengorbanan untuk mencapai tujuan yang mulia.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah teladan bagi kita semua, seorang pemimpin yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan bangsanya.
Semoga semangat perjuangan sang Sultan terus menginspirasi generasi penerus bangsa untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
Sumber:
"Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Pemimpin yang Berjiwa Rakyat" oleh Tim Penulis Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2011
*