Intisari-Online.com—Sejatinya kepindahan Ibu Kota Republik ini bukan perkara baru buat kita. Minggu pagi silam, di Tugu Proklamasi, kami bersama Sahabat Museum menziarahi kepindahan Ibu Kota Republik.
Ade Purnama, pendiri Sahabat Museum, mengisahkan Bung Karno mengendap-endap dari kediamannya menuju kereta uap pada malam 3 Januari 1946. Ia bersama para pemimpin bangsa berkereta dari Jakarta ke Yogyakarta.Sayangnya, kediaman Bung Karno—tempat dibacakannya teks Proklamasi—telah dibongkar oleh Bung Karno sendiri.
Tajuk Plesiran Tempo Doeloe yang digelar Sahabat Museum edisi ini adalah "Chabar Proklamasi via Radio”. Bagaimana Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan di pekarangan ini dapat tersiar luas seantero jagat?
Dari Tugu Proklamasi, kami berjalan kaki menuju Stasiun Cikini, lalu berkereta menuju Stasiun Juanda. Gedung Antara yangbangunan yang baru saja selesai dipugar. Lokasinya berada di kawasan Pasar Baru.Ketika kuasa Hindia Belanda, sebutannya ANETA—atau Algemeen Nieuws- en Telegraaf- Agentschap. Pada zaman pendudukan Jepang, gedung bermenara tunggal ini adalah Kantor Berita Domei.
Di sinilah kabar Proklamasi Kemerdekaan kita disiarkan pertama kali. Adam Malik dan rekan-rekannya, secara sembunyi-sembunyi, menyebarkan berita penting itu menggunakan peranti kantor berita Domei. Berkat mereka yang bernyali besar, kabar itu segera menyebar lintas benua.
Kami termasuk beruntung bisa menikmati gaya arsitektur dan interior Art-Deco yang masih autentik. Bahkan, meja kerja Adam Malik masih terawat apik.
“Gedung kantor Domei yang menjadi bagian dari Antara Heritage Center sekarang ini, merupakan saksi bisu Proklamasi Indonesia, yang sepatutnya diketahui lebih banyak generasi muda agar mereka punya rasa memiliki terhadap sejarah negeri mereka, Indonesia,” ungkap Ade Purnama, pendiri Sahabat Museum.
Kemudian peserta bergerak ke ruas utama Pasar Baru dengan deretan bangunan tua, salah satunya Toko Kompak. Dahulu, toko ini merupakan kediaman Mayor Tio Tek Ho (1857–1908).
Kami juga bersempatan singgah di bekas Toko Populair, milik Yo Kim Tjan (1899-1968). Toko ini pernah mencetak piringan hitam “Indonesia” pada 1927 dengan langgam keroncong. Lagu ini sejatinya adalah versi kedua dari lagu “Indonesia Raya”, yang versi pertama dibawakan oleh W.R. Supratman dengan biola.
Masih di ruas utama Pasar Baru, persinggahan kami selanjutnya adalah bekas kediaman Tio Tek Hong (1877–1965), seorang saudagar asli Pasar Baru. Ia juga dikenal sebagai pengusaha toserba modern pertama yang mempopulerkan cara belanja gaya baru, yaitu menetapkan barang-barang dengan harga pasti atau bandrol. Kini, bekas kediamannya itu sudah berubah menjadi Restoran Tropik dan kedai Kopi Maru.
Akhirnya, kami menutup Plesiran Tempo Doeloe dengan segelas es kopi susu dan donat manis di bekas rumah Tio Tek Hong. Bahkan, plakat penanda rumah Tio Tek Hong masih terbaca jelas di bagian depan. Bersantap dan menyesap sembari mengagumi riwayat Pasar Baru.
Plesiran Tempo Doeloe merupakan programSahabat Museum yang didukung oleh Intisari. Ada cerita di balik riwayat setiap kota tua.