Penulis seni rupa Agus Darmawan T menuliskan kesannya saat mengunjungi istana-istana Presiden. Menjumpai yang tampak maupun yang tak tampak. Serta menaksir nilai koleksi-koleksi yang ada di dalamnya.
Penulis: Agus Dermawan T untuk Majalah Intisari edisi Mei 2012
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Pada tahun 1965 Ayah menghadiahi saya buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Soekarno. Reproduksi lukisan koleksi Presiden Sukarno yang ada di dalam buku itu menakjubkan.
Ayah berkata, “Alangkah beruntungnya apabila suatu hari kelak Ananda bisa melihat langsung lukisan-lukisan itu, di Istana-istana Presiden.” Saya hanya ketawa.
Tak dinyana 16 tahun kemudian, 1981, saya mendapat undangan khusus untuk melihat koleksi Istana Presiden di Jakarta. Sepanjang masa jabatan lima presiden, Istana terus mengundang saya untuk mengamati koleksi mereka.
Semua itu berpuncak ketika pada Maret 2011 saya ditunjuk oleh Sekretariat Negara menjadi narasumber-ahli Panitia Uji Petik, yang tugasnya menominalisasi setiap item benda-benda seni koleksi semua Istana Presiden.
Berkaitan dengan tugas itu saya diminta untuk bekerja dan menginap di berbagai Istana Presiden. Tugas ini telah selesai pada Maret 2012, tepat setahun.
Lodeh Bung Karno
Banyak pengalaman menarik di sela-sela kemegahan istana-istana itu. Di Istana Bogor misalnya, ada kebiasaan membuat minuman cocktail “Es Merah Putih” untuk menyuguhi tamu seperti kami. Minuman nasionalis itu sederhana saja: kombinasi kolang-kaling merah dengan serutan kelapa muda yang otomatis berwarna putih. Ketika disuguhkan, seolah ada bendera yang berkibar di atas meja.
Jenis makanan yang paling dibanggakan oleh semua Istana Presiden RI adalah lodeh dengan aksentuasi rebung dan irisan tempe. Dalam berbagai acara, lodeh bersantan encer ini selalu disajikan, dan selalu diperkenalkan eksistensinya. Biasanya pelayan Istana akan bilang, “Ini lodeh yang paling disukai oleh Presiden Sukarno.”
Syahdan dulu Bung Karno ikut intervensi dalam meracik resep lodeh yang memang sangat sedap ini. Pada kurun-kurun berikutnya koki-koki Istana diwarisi resep lezat itu, untuk dilestarikan serta diangkat jadi ikon suguhan.
Selain lodeh, makanan yang tak henti diagulkan adalah sayur pakis. Lagi-lagi pelayan bilang, “Dulu kabarnya Bung Karno hilang bludreknya bila ketemu dengan sayur pakis ini.” Semasa menginap di Istana-istana itu saya tak pernah menjumpai suguhan makanan ala barat. Agaknya semangat Bung Karno yang anti imperialisme dan kolonialisme Barat masih saja melekat!
Menyebut Istana Presiden dan makanannya, pasti yang terpikir adalah kuliner berkelas tinggi. Padahal jajanannya kelas Marhaen yang dibeli di pasar tradisional, seperti wajik, bugis, nagasari, marning jagung. Ketika bertugas di Istana Yogyakarta kami bertemu dengan sehampar hari Minggu.
Pada hari itu juru masak Istana tidak bertugas, sehingga untuk sarapan panitia terpaksa beli nasi gudeg bungkus di pinggir Malioboro, yang dengan Rp6000 sudah komplet pakai telor. Mungkin karena ditaruh di piring berlogo garuda, gudeg rakyat itu rasanya seperti rijstafel Jenderal HM. De Kock! Siangnya kami digiring ke warung tradisional berlantai tanah di dalam kampung, yang dapurnya masih menggunakan kayu bakar.
Mungkin ada yang membayangkan bahwa peralatan dan perabotan di Istana-istana Presiden itu mewah, anggun mengkilap. Bayangan itu jauh dari kenyataan. Meja, kursi, ranjang, sampai lemari penginapan utama Istana Presiden umumnya berukiran Jepara dengan kualitas sedang.
Bahkan dari sisi hongshui kurang berkenan karena ornamentasi perabot cenderung meruncing, sehingga mengancam kaki yang salah langkah. Padahal di sinilah para menteri, gubernur, kepala daerah serta tamu negara diinapkan.
Patung yang senang jalan-jalan
Istri saya, Iliana Lie, selalu setia mengasisteni pekerjaan saya. Dengan begitu ia juga ikut bermukim di berbagai istana itu. Sebagai orang Bogor sejak kecil ia sudah ngeri pada “koleksi” hantu Istana Bogor.
Saya menceritakan jirihnya istri saya ke teman-teman. Cerita ini langsung disambut dengan cerita lain yang mengkonfirmasi. Katanya, di belakang Gedung Induk ada patung batu wanita bersimpuh karya seniman asing.
Patung warisan Bung Karno ini pernah disambar petir sehingga retak sebagian. Sahibulhikayat berkisah, di tengah malam tertentu patung tersebut tidak ada di lokasi, karena sedang berjalan-jalan jauh sampai ke Kebun Raya dengan panduan mata-mata kijang yang menyala bagai pospor. Padahal sebelum disambar petir, si patung selalu saja tenang duduk di tempatnya.
Rumor hantu gentayangan juga santer di Istana Tampaksiring, Bali. Konon beberapa orang pernah melihat leak yang terbang dari Kolam Tirta Empul dan hinggap di rimbun pohon pekarangan Istana. Tapi ini cuma konon, karena menurut Wayan Kun Adnyana, narasumber dari Bali, leak itu cuma ada di jiwa kita yang sedang marah dan gundah gulana. Bukan ngider di mana-mana!
Tapi harus diakui, taman Istana Presiden Bogor, Cipanas dan Tampaksiring, dibandingkan dengan berbagai taman istana raja di berbagai negara, memiliki pesona yang sulit ditandingi.
Apalagi taman Istana Bogor, yang dilengkapi kebun buah-buahan.
Ihwal nominalisasi
Di balik semua kisah itu, ada suatu hal yang lebih penting diceritakan, yakni tugas saya sebagai narasumber-ahli Panitia Uji Petik. Panitia ini bekerja menghitung nilai nominal (dalam rupiah) semua benda-benda seni yang ada di seluruh Istana presiden.
Karena belum pernah diestimasi nilai rupiahnya, sesuai dengan peraturan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Departemen Keuangan, benda-benda tersebut dianggap tidak ada harganya. Dan sesuatu yang “tidak ada harganya” dinilai Rp. 1,- (satu rupiah) sepotongnya.
Jajaran koleksi ini dikumpulkan sejak zaman Presiden Sukarno, Soeharto, BJ.Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Di situ nampak lebih dari 100 lukisan Basoeki Abdullah. Berjajaran lukisan Raden Saleh, Dullah, Lee Man Fong, Sudjojono, Walter Spies.
Ada dua karya besar Konstantin Egorovich Makovsky dari Rusia, yang secara visual tak kalah dengan “Night Watch” Rembrandt. Ada lukisan seniman Meksiko legenda dunia Diego Rivera. Tak terkecuali ratusan patung karya seniman mancanegara, ratusan guci antik dari Cina, ratusan artwork adiluhung persembahan Robert F. Kennedy dari Amerika Serikat sampai Ali Abdullah Saleh dari Yaman. Harus diakui, sebagian besar koleksi yang berharga tinggi adalah warisan Bung Karno.
Untuk memburu akurasi, Panitia Uji Petik juga menunjuk narasumber-ahli lain untuk bergabung, seperti Dr. Timbul Raharjo (ahli keramik dan kerajinan), Mike Susanto, SSn, (dosen seni dan peneliti muda). Kegiatan ini dikoordinasi oleh pengurus seni Istana Presiden, seperti W. Budiyanto, Indah Setyorini serta Wahyuni Saptantinah, Kepala Bagian Museum Istana Presiden.
Setelah dengan rumit mendata satu per satu harga setiap item benda seni, diketahui nilai nominal seluruh karya itu hampir Rp2 triliun! Bandingkan dengan setahun sebelumnya yang hanya Rp15991. Saja. Harga termurah yang tercatat adalah Rp200.000. Sementara yang termahal lebih dari Rp100 miliar.
Dengan adanya catatan harga itu kini Departemen Keuangan berkewajiban mengalokasikan dana untuk perawatan, konservasi, restorasi, pemajangan, asauransi, bahkan akuisisi. Dan tentu menjaga keamanan benda-benda seni itu dari gangguan para “hantu” yang suka mencuri.