Bu Kasur Genjot Sepeda Saat Peristiwa Bandung Lautan Api, Takut Lihat Pasukan Gurkha

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ibu Kasur menjadi salah satu saksi hidup peristiwa atau sejarah Bandung Lautan Api. Ketika itu, wanita bernama asli Sandiah itu adalah seorang kurir.
Ibu Kasur menjadi salah satu saksi hidup peristiwa atau sejarah Bandung Lautan Api. Ketika itu, wanita bernama asli Sandiah itu adalah seorang kurir.

Ibu Kasur menjadi salah satu saksi hidup peristiwa atau sejarah Bandung Lautan Api. Ketika itu, wanita bernama asli Sandiah itu adalah seorang kurir.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru dari kami

---

Intisari-Online.com -Tentu kita tahu Ibu Kasur sang pencipta lagu anak-anak legendaris itu, dong? Tapi tahu tidak kalian bahwa wanita bernama asli Sandiah itu punya kaitan dengan sejarah Bandung Lautan Api? Bagaimana ceritanya?

Yuk menengok arsip kepunyaan HAI (edisi No. 12 TH. IV) yang terbit tahun 1980. Begini ceritanya (dengan sedikit penyuntingan):

Suatu hari, dua orang gadis bersepeda dari Bandung Utara ke Bandung Selatan. Bukan piknik, karena kejadian ini berlangsung zaman perang, yang lebih kita kenal sekarang dengan istilah Bandung Lautan Api. Sebutan itu saja sudah menggambarkan betapa gawatnya situasi saat itu.

Tetapi kedua gadis cilik itu tenang melintas. Atau setengah nekad. Ketika bertemu serdadu Gurkha yang badannya besar-besar, mereka turun dari sepeda, pura-pura bermain.

Padahal debaran jantung sudah tidak karuan. Karena sesungguhnya kedua gadis cilik tadi sedang bertugas. Menjadi kurir, penyampai surat. Surat itu diselipkan di bawah karet stang sepeda. Ya, waktu itu stang masih dibalut karet yang mudah dilepaskan. Bukan plastik mati, tapi empuk, seperti sepeda mini jaman ini.

Masih terbayang kembali ketakutan itu, ketika salah seorang dari gadis itu bercerita. Namanya waktu itu masih Sandiah. Sekarang kita baru bilang “O… itu!” kalau disebutkan sebagai Bu Kasur.

"Surat itu kadang diberikan orang yang sama sekali tidak kita kenal," tutur Bu Kasur, seperti kalau lagi mendongeng kepada anak-anak. "Kita mengenal hanya dari kode-kode saja. Kadang surat itu kita berikan kepada tukang sayur, atau penjual tempe."

Cerita Bu Kasur banyak. Selain aktif jadi kurir, masa perjuangan itu Bu Kasur sudah lama tertarik pada dunia anak-anak. Tahun 1946 menjadi pengasuh acara gerak badan di RRI Garut, Jawa barat. Padahal. "Dulu cita-cita ibu menjadi dokter anak-anak, tak tahunya menjadi moeder," Moeder, bahasa Belanda yang berarti Ibu.

Tapi sebagai ibu, dan dikenal dengan nama Bu Kasur, sekarang ini "pasiennya" jauh lebih banyak. Dan pasiennya tak usah anak yang sakit. Kan malah lebih baik. Oh ya, waktu siaran tidak selalu diadakan di studio. Maklum jaman masih usreg. Masih banyak dar-der-dor.

"Dalam keadaan darurat, siaran dipancarkan dari kamar mandi sebuah gereja," kata Bu Kasur. Sayang gereja mana Bu Kasur tidak ingat. Habis sudah lama banget sih.

Mampir kawin

Gadis kurir yang dulu gemetaran bertemu dengan Gurkha, kini jadi legenda. Banyak orang tidak tahu nama aslinya. Bahkan Bu Kasur sendiri kalau dipanggil Bu Soeryono suka lupa kalau Soeryono itu nama suaminya. Dia sudah terbiasa dipanggil Bu Kasur.

Lahir di Jakarta walaupun orangtua asli Yogyakarta. "Assembling Jakarta", kata Bu Kasur. Sampai SMA dijalani di sekolah yang sekarang dipakai sebagai Gedung Kebangkitan Nasional. Sayang sekali ia tidak menyelesaikan SMA-nya, hanya sampai kelas III. Selain karena mengikuti orangtua yang pindah ke Bandung, juga karena sekolah waktu itu lebih banyak kerja baktinya daripada belajar.

Bu Kasur ke sekolah naik sepeda.

"Tapi sepedanya lain dengan sepeda sekarang, dulu dengan ban mati. Keras dan kalau kena panas mengembang. Jadi kalau dinaiki jalannya naik-turun, bergelombang. Kaya lewat tangga saja", kata Bu Kasur tertawa sambil mengenangkan hal yang kelihatan menggelikan untuk ukuran sekarang.

Di Bandung ia bekerja di Kantor Karesidenan Priangan. Di kantor inilah ia ketemu dengan pemuda Soeryono, yang kemudian menjadi suaminya, Pak Kasur. Sejak bekerja di kantor ini ia mulai aktif dalam gerakan pemuda dan siaran di radio Garut.

Tapi ketika Bandung dikuasai Belanda, Bu Kasur mengungsi ke Yogya mengikuti kedua orangtuanya. Sedang Pak Kasur tetap di Bandung, melawan Belanda. Suatu ketika Pak Kasur mendapat tugas mengambil senjata ke Jawa Timur. Pulangnya lewat Yogya, Pak Kasur memisahkan diri dari pasukan.

Dengan waktu yang sangat sempit itulah perkawinan mereka dilangsungkan, pada akhir tahun 1946. Seminggu kemudian Pak Kasur berangkat ke Bandung lagi dan Bu Kasur dititipkan di rumah orangtua pak Kasur di desa Sokaraja, Purwokerto.

Kita bisa merasakan kesepian Bu Kasur waktu itu. Dia yang biasa sibuk dengan segala kegiatan, di kota besar lagi, tiba-tiba harus tinggal di desa, jauh dari siapa-siapa. Masih untung orangtua Pak Kasur orang yang giat dalam kemasyarakatan.

Antara lain mengajar masyarakat yang buta huruf, menyewakan peralatan bila ada kematian di desanya. Ada beberapa lama Bu Kasur tinggal di Sukaraja, sebelum ia menyusul suaminya ke Majalengka. Ketika pasukan Siliwangi mundur ke Jawa Tengah sampai Magelang, Bu Kasur ikut sampai Magelang.

Jangan heran kalau waktu itu semua orang bekerja bahu membahu mempertahankan kemerdekaan. Misalnya untuk mencari dana bagi pasukan Siliwangi, keluarga Pak Kasur mengadakan sandiwara Pelangi hijrah di Magelang. Selain itu mereka juga bertugas memberi penerangan kepada masyarakat desa yang dilewati bahwa Indonesia telah merdeka.

Mengenal tanah air

Dari sinilah rupanya rasa kebanggaan dan cinta tanah-air ingin ia tanamkan pada remaja, anak-anak pada khususnya. Antara lain dengan mengisi acara tetap di TV Mengenal Tanah Air. Sebelum TV masuk Indonesia pun ia telah aktif mengisi acara anak-anak di RRI, koran atau majalah.

"Dalam Mengenal Tanah Air ingin sekali ibu tanamkan kebanggaan yang masih ibu rasakan. Kita harus bangga betapa kayanya Indonesia dengan kebudayaannya, betapa luasnya tanah air kita", begitu menurut Bu Kasur, yang bersama Pak Kasur mulai mengajar sejak 1962.

Sehari-hari kalau kita ke rumah bu Kasur (saat itu) pun kita akan menemui anak-anak kecil yang sekolah di rumahnya. Pak Kasur mendirikan taman kanak-kanak di sebelah rumah induk yang mereka tempati sehari-hari. Rupanya mereka berdua, Pak dan Bu Kasur, merupakan pasangan yang selalu terlibat dengan anak-anak. Mereka begitu mencintai anak-anak, walaupun mereka sendiri mempunyai putera 5 orang.

Tapi tidak satu di antara mereka yang mengikuti jejak orangtuanya menyukai anak-anak. Hanya bakat musik dari Pak Kasur yang menurun ke putra sulung dan keempat. Pergaulan dengan dunia anak-anak selama ini ternyata telah membulatkan kecintaan yang utuh pada Bu Kasur — dan Pak Kasur tentunya. Membulat sikap filosofis, istilah kerennya.

Misalnya waktu naik kereta-api di Jawa tengah, Bu Kasur melihat dari jendela anak-anak yang membantu orangtuanya di sawah. "Ada rasa trenyuh di hati." Trenyuh bisa juga berarti terharu.

"Terpikir apa yang bisa Ibu berikan kepada mereka. Jangan sampai mereka turun-menurun hanya begitu terus. Bukan berarti harus meninggalkan sawah, melainkan bagaimana tetap menjadi petani modern dengan alat teknologi yang meningkatkan penghasilan.”

Setelah menghela nafas Bu Kasur bilang lagi, “Sayang itu hanya ada dalam pikiran saja.”

Dari segi lain, Bu Kasur bangga dengan anak-anak yang mampu mandiri. Mampu memotong dengan bekerja sendiri. Seperti yang terdapat dalam diri anak-anak penjual koran.

"Mereka bisa membantu orangtua dan tetap sekolah. Ketabahan mereka, anak-anak ini, mengagumkan. Tidak minta dari orangtua melulu. Walaupun ini terjadi karena keadaan, anak-anak ini pasti lebih bangga memperoleh hasil jerih payah sendiri."

Yah, tetapi kadang apa yang mereka dapatkan sangat kecil. Hanya sekedar lambahan. Bukan sebagai mukjizat yang bisa menyelesaikan uang sekolah dan sekaligus kebutuhan sehari-hari.Jumlah anak yang seperti itu, masih banyak.

Artikel Terkait