Turnstile Band Hardcore yang Mendobrak Batasan Dari Amerika Hingga ke Jakarta

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Penampilan Turnstile di panggung We The Fest 2024, di Jakarta.
Penampilan Turnstile di panggung We The Fest 2024, di Jakarta.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Sejarah Lahirnya Musik Hardcore.Di tengah budaya punk rock, muncullah sebuah anak liar yang menolak terbelenggu oleh pakem. Lahir dari rasa muak terhadap monotonnya adegan musik, hardcore punk menjelma menjadi teriakan perlawanan, melodi pemberontakan yang menggema di kancah underground Amerika pada akhir tahun 1970-an.Jantung musik hardcore berdegup kencang dengan irama yang berderak, bagaikan senapan mesin yang menembus keheningan. Vokal agresif melontarkan lirik tajam, menusuk bagai belati, mengungkap realitas pahit dan keresahan generasi muda. Breakdown dan perubahan tempo yang tak terduga bagaikan gelombang dahsyat yang mencengkeram pendengar, tak henti mengguncang jiwa.Di Los Angeles, Black Flag menjadi panji-panji perlawanan. Dipimpin oleh Henry Rollins, sang vokalis eksentrik, mereka meneriakkan kritik sosial tentang kemiskinan, paranoia, dan neurosis. Ideologi anti-konformisme mereka bagaikan api yang membakar semangat para pemuda yang frustrasi dengan sistem. Musik Black Flag yang kasar dan sporadis menjadi cetak biru bagi banyak band hardcore di masa depan, menjadi soundtrack bagi generasi yang bangkit dari trauma Perang Vietnam dan dihantui bayang-bayang Perang Dingin.Sementara Los Angeles melahirkan fondasi musikal hardcore, di Washington DC dan Boston, budaya hardcore menemukan identitasnya. Minor Threat, band asal DC, menjadi pelopor subkultur "straight edge" melalui lagu ikonik mereka "Straight Edge." Para penggemar, terinspirasi oleh semangat anti-kekerasan dan anti-narkoba, mulai mengadopsi gaya hidup straight edge, menjauhi alkohol, obat-obatan terlarang, dan seks bebas.Namun, di Boston, gerakan straight edge terancam diselimuti bayang-bayang kekerasan. Boston Crew, sebuah geng militan yang dibentuk oleh anggota band DYS, Negative FX, dan SS Decontrol, meneror para "punk" yang tidak mengikuti gaya hidup straight edge. Aksi brutal mereka mencoreng nama baik komunitas hardcore, memperkuat stigma negatif bahwa musik hardcore identik dengan kekerasan.Friends Stand United, geng jalanan Boston yang didirikan oleh Elgin James, memperparah situasi. Geng ini berpatroli di pertunjukan hardcore, memukuli pengedar narkoba denganrasis dankejam. Tindakan mereka semakin memperkuat citra negatif hardcore, menjadikannya terasosiasi dengan premanisme dan anarkisme.Meskipun kontroversi dan kekerasan mewarnai sejarahnya, hardcore punk tak pernah padam. Musiknya terus berevolusi, melahirkan berbagai subgenre dan menginspirasi generasi baru musisi pemberontak. Di Oneonta, Oneonta Punk Festival menjadi bukti bahwa semangat hardcore masih hidup, menggemakan melodi perlawanan yang tak lekang oleh waktu.Hardcore punk, lebih dari sekadar musik, adalah sebuah fenomena budaya yang kompleks. Lahir dari kekecewaan dan rasa muak, ia menjelma menjadi wadah ekspresi bagi mereka yang merasa terpinggirkan dan tertindas. Di balik gempuran distorsi dan teriakan, terdapat pesan mendalam tentang perlawanan, kritik sosial, dan pencarian jati diri.

Meskipun kontroversi dan kekerasan pernah mencoreng namanya, hardcore punk tetaplah sebuah bentuk seni Amerika yang otentik, sebuah melodi pemberontakan yang terus menggema di telinga para penentangnya.Lahirnya "Turnstile" Sang Pemberontak yang Melampaui Batas.

Tahun 1989, dunia musik terguncang oleh Nirvana dan Tad. Dua tahun kemudian, ceritanya berbeda. Nirvana telah merajai tangga lagu, sementara Tad terjebak dalam lingkaran musik underground.

Kisah serupa mungkin terulang pada Turnstile, band beranggotakan lima orang dari Baltimore, Maryland. Di ambang perilisan album ketiga mereka, "Glow On", mereka di ambang pintu untuk menjadi band terdepan dalam gelombang baru punk hardcore.

Banyak band dalam gelombang ini, yang pertama kali menggemparkan dunia di tahun 2018, telah menunjukkan potensi mereka. "27 Miles Underwater" milik Higher Power dan "Underneath" milik Code Orange termasuk di antara rilisan hardcore punk terbaik tahun itu.

Namun, hanya butuh 45 detik dalam lagu pembuka "Glow On" yang penuh energi dan semangat, "Mystery", untuk menyadari bahwa Turnstile bukan lagi sekadar band hardcore punk yang hebat, tetapi juga band rock yang luar biasa.

Mungkin lebih dari itu, mengingat sentuhan soul, electronica, dan psychedelia yang mereka masukkan dengan berani."Kami adalah band hardcore," kata vokalis Brendan Yates, dikutip dari The Guardian tentang punk yang sangat agresif dan berkecepatan tinggi yang muncul di Amerika tahun 1980-an.

"Itulah asal mula kami. Tapi salah satu hal yang membuat saya tertarik pada hardcore dan punk sejak awal, dan yang selalu saya yakini sebagai intinya, adalah bahwa itu adalah tempat bagi orang-orang yang berpikiran terbuka dan ingin menantang norma. Saya pikir label apa pun bisa membatasi Anda. Kami tidak pernah ingin terjebak dalam kotak," jelas Yates.

Aksi panggung Turnstile membawakan beberapa lagu dari album Glow On di Jakarta.
Aksi panggung Turnstile membawakan beberapa lagu dari album Glow On di Jakarta.
Kecintaan Yates pada musik dimulai pada usia 10 atau 11 tahun. Tak lama kemudian, dia dan tetangganya Brady Ebert (gitaris Turnstile) membentuk band pertama mereka, One Step Too Many yang penuh semangat.

Namun, selera musik Yates selalu luas. Orang tuanya memutar musik Motown dan soundtrack musikal lama, sedangkan kakeknya adalah seorang pianis jazz terkenal. Salah satu hadiah pertama Yates adalah seperangkat drum."Tapi sepupuperempuan saya yang benar-benar membuka mata saya," katanya.

"Dia jauh lebih tua dari saya - dia masih remaja saat saya lahir. Dia membuatkan saya mixtape dari band punk lokal, Smashing Pumpkins, Nirvana, atau Wu-Tang Clan. Dan saya terobsesi dengan radio. Saya selalu menelepon untuk meminta lagu favorit saya. Saya masih melakukannya sampai sekarang," papar Yates.Turnstile terbentuk pada tahun 2010 setelah Yates menyadari bahwa dia membutuhkan ruang untuk kreativitasnya di luar Trapped Under Ice, band hardcore New York yang dia ikuti sebagai drummer.

Dia dan Ebert merekrut Franz Lyons, penjual merchandise Trapped Under Ice, sebagai bassis.

Daniel Fang, teman Yates saat kuliah sebentar, bergabung sebagai drummer. Pada tahun 2015, setelah gitaris Sean Cullen keluar, mereka merekrut Pat McCrory dari band indie Angel Du$t.Di sinilah batasan hardcore mulai runtuh. Album ketiga Turnstile, EP "Move Thru Me", berhasil masuk tangga lagu Billboard. Kesuksesan ini, dan reputasi mereka sebagai band live yang energik, mengantarkan mereka ke label rekaman besar.

Mereka dikontrak oleh rapper Cody B Ware (Lyons, sebagai alter ego rapnya "Freaky Franz" juga pernah menjadi bintang tamu di band Ware, World's Fair). Album kedua Turnstile, "Time & Space", bahkan mendapat pujian dari GQ dan New York Times.Album terbaru mereka, dirilis, seperti banyak band hardcore yang diakui pada tahun 2018, di bawah label heavy metal Roadrunner, yang diproduseri oleh Mike Elizondo, yang turut menulis lagu-lagu hits seperti "In Da Club" milik 50 Cent, "Just Lose It" milik Eminem, dan "Family Affair" milik Mary J Blige.

Elizondo membantu Turnstile dalam ambisi musik mereka. Single terbaru mereka, "Blackout", menambahkan synth rawa ke dalam musik mereka yang penuh energi. "Wild Wrld" memiliki alur yang jarang terdengar dalam kekakuan hardcore punk, sementara "Alien Love Call" yang penuh gaya, menampilkan Dev Hynes AKA Blood Orange menambahkan warna baru pada palet musik Turnstile."Merupakan suatu kehormatan untuk bekerja dengan (Hynes)," kata Yates.

"Saya suka cara dia memandang musik. Saat kami menulis lagu, kami sering mengirimkannya ke lingkaran pertemanan dekat kami. Kolaborasi itu mengasyikkan, dan saya bahkan tidak ingat berapa kali seseorang menyarankan sesuatu yang mungkin tidak terpikirkan oleh kami." jelasnya.Terlepas dari sifat kolaboratif mereka, lagu-lagu Turnstile sangat personal dan introspektif. Yates menulis liriknya, yang sering kali seperti puisi, jauh dari gaya macho yang merepresentasikan musik Hardcore.

Dari Amerika Menuju Jakarta.

Sang vokalis Turnstile, Brendan Yates menyalami penontong di konser musik We The Fest di Jakarta 21 Juli 2024
Sang vokalis Turnstile, Brendan Yates menyalami penontong di konser musik We The Fest di Jakarta 21 Juli 2024

Sejak merilis album "Glow On" yang menuai pujian di tahun 2021, band hardcore Turnstile telah membawa subgenre punk yang penuh gejolak ini ke ranah yang tak terbayangkan dan tak terduga.

Tak hanya menggebrak klub-klub kecil dengan kapasitas 6.000 orang, Turnstile menorehkan berbagai pencapaian gemilang, termasuk tur arena bersama My Chemical Romance, tampil di hampir setiap festival musik yang masih menampilkan band akustik, mengisi slot Tiny Desk NPR, tampil di acara bincang-bincang larut malam, lagu mereka diputar di radio rock, bahkan tampil di sebuah pernikahan yang meriah.

Perjalanan mereka diiringi dengan berbagai pencapaian luar biasa. Turnstile mendapatkan sinkronisasi dari Taco Bell, menjadi band pembuka di tur reuni Blink-182, meraih beberapa nominasi Grammy, mendapat pujian dari Demi Lovato, Miguel, dan Billie Eilish, dan diakui oleh berbagai publikasi yang sebelumnya mengabaikan genre musik ini.

Bahkan The Ringer menempatkan "Glow On" sebagai album terbaik ketiga tahun 2021.

Pada malam 21 Juli 2024 di Jakarta, Turnstile tampil liar dan terlatih dengan sempurna. Ketukan drum mereka yang energik telah diasah hingga sampai ke penonton. Wajah vokalis Brendan Yates terpancar di layar video yang lebih besar sebuah pencapaian musik bawah tanah yang jauh dari Baltimore di sebuah pertunjukkan Internasional bernama We The Fest 2024.

Ia melantunkan lirik lagu "Real Thing" dengan kontrol seorang profesional dan semangat punk yang membara, gayanya di atas panggung menjadi khotbah yang mengundang dan penuh makna. Penonton memadati, melompat-lompat dengan penuh sukacita, melihat penampilan Brendan Yates dan kawan-kawan.

2018 silam, Turnstile hanya diundang untuk mengisi sebuah acara kecil di Rossi Musik Fatmawati, di Kawasan Jakarta Selatan. Kini, Turnstile telah menaklukkanpanggung besardengan mudah. Dalam perjalanan mereka selama satu dekade untuk menjadi band rock terdepan di awal tahun 20-an, Turnstile telah membuka jalan bagi gelombang baru band-band muda yang terinspirasi oleh mereka untuk berani melangkah lebih jauh. Pertanyaannya adalah, seberapa besar lagi potensi mereka untuk berkembang?

Turnstile bukan sekadar band hardcore biasa. Mereka adalah pemberontak yang menantang batas genre, menggabungkan musik punk yang energik dengan elemen soul, electronica, dan psychedelia. Lirik mereka yang puitis dan penuh makna menyentuh hati pendengar, melampaui batas stereotip maskulin yang sering dikaitkan dengan musik hardcore. Turnstile telah mendobrak tembok pemisah dan membawa musik mereka ke ranah yang lebih luas, menjangkau pendengar dari berbagai kalangan.

Perjalanan mereka masih panjang, dan masa depan mereka penuh dengan kemungkinan. Turnstile telah menunjukkan bahwa musik hardcore memiliki potensi untuk menjangkau lebih banyak orang dan menginspirasi generasi baru musisi pemberontak. Melodi mereka yang penuh energi dan pesan yang kuat akan terus menggema di telinga para pendengar, mengantarkan mereka ke dunia yang penuh dengan kemungkinan dan tanpa batas.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait