Kisah penambangan emas di Aceh terentang jauh di masa silam. Kerajaan-kerajaan besar seperti Peureulak, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam memajukan sektor ini, menjadikannya salah satu komoditas utama.
Para sarjana Persia dan Yunani didatangkan untuk menularkan ilmu pertambangan mereka, dan hasil tambang emas melimpah ruah.
Di Peureulak, Alue Meuh (Alur Mas) menjadi saksi bisu kejayaan penambangan emas. Di sanalah emas urai dikeruk dari sungai, di bawah bimbingan para ahli dari negeri jauh. Kerajaan Pasai pun tak mau kalah.
Tambang emas didirikan di hulu Sungai Pasai, tepat di atas Kampung Perak, dikerjakan oleh para sarjana Persia yang handal.
Legenda Meurah Silu dan lukah hanyutnya di Sungai Peusangan menjadi bukti lain kekayaan emas di Aceh. Dari lukah yang direbus, didapatlah emas, pertanda limpahnya sumber daya alam di bumi Serambi Mekkah.
Kejayaan ini tak luput dari perhatian dunia. Kerajaan-kerajaan tetangga berbondong-bondong menjalin hubungan dagang, menjadikan emas Aceh sebagai komoditas primadona. Bahkan, mata uang Kerajaan Pasai, derham emas, menjadi bukti nyata kekayaan dan kemajuan teknologi mereka.
Emas urai Aceh tak hanya berkilau di dalam negeri, tapi juga merambah ke mancanegara. VOC, dengan ambisi perdagangannya, ingin memonopoli emas Aceh.
Namun, kesultanan Aceh yang tegas menolaknya, memilih untuk menjalin hubungan dagang dengan mitra lamanya yakni Inggris, India, Persia, Arab, dan Tiongkok.
Perjuangan Aceh tak berhenti sampai di situ. Di masa Sultan Djamalul Alam, tambang emas di hulu Sungai Meulaboh, tepatnya di Tutut, dibuka. Hasil tambang diangkut ke Bandar Aceh untuk diperdagangkan.
Baca Juga: Pelarian Johny Indo Keluar Dari Nusakambangan
Emas Aceh terus bersinar, menjadi sumber kekuatan dan ketahanan bagi rakyatnya.
Namun, peperangan dengan Belanda membawa perubahan. Penambangan emas dihentikan, rakyat bersatu padu melawan penjajah. Belanda tak berani mengambil alih tambang karena gerilya sengit para pejuang.
Barulah di tahun 1938, Belanda memulai kembali penambangan emas di Aceh, di Meulaboh dan Tutut. Maatschappy Masmarsman menjadi pengelola hingga Jepang datang. Revolusi fisik 1945 menghentikan aktivitas perusahaan tambang ini.
Kisah emas di Aceh tak hanya tentang kekayaan alam, tapi juga tentang kegigihan dan semangat juang rakyatnya. Dari masa kejayaan hingga perlawanan, emas menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Aceh yang gemilang.
Kisah emas Aceh tak berhenti di masa lalu. Kini, di era modern, emas kembali menjadi primadona di Bumi Serambi Mekkah. Potensi emas yang melimpah di berbagai wilayah Aceh, seperti Aceh Tengah, Pidie, Aceh Selatan, dan Nagan Raya, menarik minat investor dan pengusaha untuk kembali menambang emas.
Namun, penambangan emas tak luput dari kontroversi. Kekhawatiran akan kerusakan lingkungan dan konflik sosial akibat penambangan ilegal terus menghantui. Di sisi lain, peluang ekonomi yang besar dari emas juga tak bisa dipungkiri.
Pemerintah Aceh dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, mereka ingin memajukan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, mereka juga harus menjaga kelestarian alam dan menghindari konflik sosial.
Langkah strategis dan regulasi yang tepat menjadi kunci untuk mengelola potensi emas Aceh dengan berkelanjutan. Penambangan emas harus dilakukan dengan ramah lingkungan dan memperhatikan hak-hak masyarakat adat. Kemitraan yang solid antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal juga sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pengelolaan emas Aceh.
Masa depan emas Aceh cerah, namun penuh tantangan. Dengan pengelolaan yang bijak dan bertanggung jawab, emas Aceh dapat menjadi sumber kekuatan dan kemakmuran bagi rakyatnya, tanpa mengorbankan kelestarian alam dan lingkungan.
Emas Aceh tak hanya berkilau di perut bumi, tapi juga di hati rakyatnya. Semangat juang dan kegigihan mereka dalam menjaga kekayaan alam dan melestarikan budaya menjadi sumber kekuatan yang tak ternilai.
Kisah emas Aceh adalah kisah tentang kekayaan alam, perjuangan, dan harapan. Di masa depan, emas Aceh diharapkan dapat menjadi simbol kemajuan, kemakmuran, dan kelestarian bagi Bumi Serambi Mekkah.
*