1 Suro Di Cirebon, Tentu Beda Dari Jogja-Solo Tapi Tak Kalah Sakralnya

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

1 Suro di Cirebon tentu beda dengan di Solo atau Yogyakarta. Tapi tetap tak kalah sakralnya.
1 Suro di Cirebon tentu beda dengan di Solo atau Yogyakarta. Tapi tetap tak kalah sakralnya.

Kisah dalam film Malam Satu Suro-nya Suzannamungkin jauh dari gambaran sebuah malam keramat. Tapi setidaknya menunjukkan 1 Suro bermakna khusus. Banyak yang percaya momen itu berhubungan dengan hal gaib dan pengalaman luar biasa.

Penulis: Muhammad Sulhi, Intisari edisi Mei 2001

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatka berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Coba simak ritus di pusat-pusat kebudayaan Jawa masa silam. Lebih khusus lagi, keraton-keraton yang dulu pernah berperan sebagai pusat kekuasaan. Di Kasunanan Surakarta contohnya, paling terkenal adalah acara kirab pusaka kerajaan berkeliling kota menjelang tengah malam 1 Muharram. Konon, ritus itu sudah dilakukan sejak Keraton Surakarta berdiri tahun 1745.

Ribuan orang sukarela membanjiri Kota Solo, guna menyaksikan agenda tahunan ini. Uniknya, barisan kirab justru didahului sembilan ekor kerbau bule, yang semuanya bernama Kiai Slamet. Kesembilan kerbau bule dan keturunannya itu bukan kerbau sembarangan, karena mereka kesayangan Sunan.

Percaya atau tidak, mereka punya hobi berkelana. Namun, menjelang 1 Suro, seperti sudah menghayati peran sejarahnya, mereka berkumpul kembali di alun-alun selatan Surakarta.

Suasana tak kalah sakral amat terasa di Keraton Yogyakarta. Menjelang tengah malam, bisa disaksikan ribuan orang melakukan upacara mubeng beteng; mengelilingi benteng keraton tanpa berucap kata sepatah pun. Sedangkan di alun-alun selatan, ratusan orang melakukan masangin, dengan mata tertutup berjalan di antara dua pohon beringin (kembar) yang ada di tengah alun-alun. Upacara paling sakral, melakukan jamasan (pembersihan) seluruh pusaka keraton, dilakukan 26 Suro.

Masa peralihan. menuju penanggalan baru Jawa (1 Suro) atau tahun baru Islam (1 Muharram) memang kerap dianggap mendatangkan berkah. Bahkan berkembang kepercayaan, berdoa dan tirakat di tempat-tempat bersejarah dan keramat bisa membuat keinginan terkabul. Sebuah fenomena (oleh Sumanto Al Qurtuby, peneliti Lembaga Studi Agama dan Pembangunan, Semarang, disebut sebagai agama humanistik) yang mengesahkan seseorang tampil modern dan logis di suatu waktu, namun sangat tradisional dan mistis di kurun waktu yang lain.

Berlainan akar

Gejala serupa bisa ditemui dalam peringatan 1 Suro atau 1 Muharram di Cirebon, bekas pusat Kerajaan Islam besar di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah. Bedanya, ritus yang melibatkan dua keraton utamanya, Kesepuhan (dari akta sepuh, makanya lebih tua) dan Kanoman (dari kata anom, lebih muda) tak sebanyak di Solo dan Yogyakarta.

"Tapi bukan berarti nilai sakralnya berkurang. Kesakralan itu tergantung bagaimana hati kita memandang," ujar Ratu Mawar, putri Sultan Haji Muhammad Djalaludin alias Sultan Kanoman XI, penguasan teranyar Keraton Kanoman.

Melihat jumlah acara, inisiatif meramaikan 1 Suro justru lebih banyak datang dari Pemda Kotamadya Cirebon. Seperti "Helaran (pergelaran - red.) Budaya" yang digelar di depan balai kota, dua hari menjelang 1 Muharram.

“Helaran” menyajikan pertunjukan sendratari kolosal "Babad Cirebon" yang berlangsung satu jam. Drama gerak yang dibawakan puluhan penari itu diakhiri dengan penancapan "Pohon Witana", pondokan cikal bakal Cirebon.

Selanjutnya, dilakukan pawai prajurit Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Pemda pun mengadakan lomba gerak jalan, pertandingan olahraga antarinstansi. Bahkan dua hari setelah acara "Helaran", walikota Cirebon mengadakan Rapat Paripurna Istimewa dalam rangka HUT Cirebon.

Seorang wisatawan asal Belanda yang menghadiri rangkaian acara itu sempat bertanya-tanya. "Apakah peringatan 1 Suro di Cirebon sudah berubah jadi kegiatan formal?" Sebuah pertanyaan yang sulit terjawab jika wisatawan itu hanya singgah satu-dua malam di kota pantai utara Jawa itu.

Tak kurang Sultan Anom, sebutan bagi penguasa Keraton Kanoman mengakui kebenaran pandangan sang wisman. "Tak apa toh, tradisi kita berbeda dengan Keraton Solo dan Yogya. Masing-masing memiliki latar belakang sejarah berlainan," ujarnya di Bangsal Dalem Kanoman.

Ya, akar sejarah inilah kunci yang membedakan 1 Suro di Kota Udang. Bagi warga Cirebon, maknanya bukan sekadar malam penuh berkat dan keramat, tapi juga hari jadi, hari kelahiran Kota Cirebon.

"Mungkin, para pendirinya sengaja membangun Cirebon pas 1 Muharram, supaya bagus," tutur Sultan. Ini sekaligus menjawab, mengapa Pemda Cirebon merasa sangat berkepentingan menyemarakkan peringatan 1 Suro.

Karena aboge, terlambat sehari

Satu lagi perbedaan Cirebon dengan dua keraton lainnya adalah penetapan awal tahun Jawa. "Satu Suro di sini, mungkin dua Suro di sana. Anggap saja kita telat sehari," tambah Ratu Mawar. Perbedaqn ini karena metode menghitung di Cirebon, memang lain. "Istilahnya aboge,” jelas wanita lajang usia 26 tahun itu.

Keraton sendiri, meski tak banyak, tetap menggelar sejumlah acara ritual. Di Kanoman misalnya, satu hari menjelang 1 Muharram diadakan khitanan massal bagi anak-anak warga masyarakat sekitar. "Mereka kami bekali dengan baju kampret (serupa baju koko), peci, sarung, sandal, makanan, dan uang Rp50 ribu," tutur Pangeran Raja.

H. Muhammad Imanuddin, adik laki-laki tertua Sultan, yang kerap mewakili kakaknya di berbagai acara sosial. Sebelumnya, mereka berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati membaca salawat dan tahlil.

Sedangkan puncak peringatan, pembacaan "Babad Cirebon", dilaksanakan persis di malam 1 Suro. Babad yang menceritakan awal berdirinya Kerajaan Cirebon ini dibacakan langsung Pangeran Muhammad Amaludin, putra Sultan.

Dulu, acara ritual itu diadakan di bangunan Witana, di belakang Keraton Kanoman. Tapi, karena bangunan itu sudah terlalu tua dan khawatir rusak, acara dialihkan ke pendopo utama. Selama membaca naskah, Amal–begitu Amaludin dipanggil–didampingi tujuh abdi. Tiga orang masing-masing membawa baki berisi naskah babad, tempat kemenyan, meja kecil, sedangkan yang empat orang membawa lilin.

Tak ketinggalan, didampingi pula enam ulama sepuh. Usai pembacaan babad, acara dilanjutkan dengan persembahan nasi tumpeng kepada khalayak yang hadir. Di sini tampak betapa daya tarik magis keraton masih berkibar buat kalangan tertentu.

Bak "singa lapar", ratusan pengunjung berebut tumpeng, yang jumlahnya belasan. "Bukan makanannya, tapi berkahnya yang saya cari," aku seorang pemilik toko di Pasar Kanoman. Dia percaya, banyak-sedikitnya makanan yang bisa disantap berpengaruh terhadap rezeki yang bakal diterima. .

Cuci jimat tradisional

Di Keraton Kasepuhan, acara paling menonjol dalam menyambut 1 Suro hanya pencucian benda-benda pusaka yang tersimpan di museum keraton. Itu pun tidak dilakukan persis pada malam peralihan tahun. "Tapi secara bertahap, antara 1 hingga 10 Suro," tegas "Lurah Dalem" Kasepuhan Mohamad Maskun, pemimpin upacara pencucian.

Lurah Dalem merupakan jabatan di lingkungan keraton yang bertugas mengurusi masalah internal keraton.

Persoalan ke luar, seperti hubungan dengan penduduk sekitar, ditangani oleh Lurah Magersari. Nah, kedua lurah (pejabatnya tak mesti keluarga Sultan) itu punya seorang atasan langsung, disebut Lurah Kepala.

Adakah upacara khusus sebelum pencucian? “Ada pembacaan doa. Tapi, acara itu tidak melibatkan Sultan, karena pusaka utama, seperti Kereta Singa Barong dan Piring Panjang Jimat tidak masuk daftar,” tandas Maskun.

Meski tak melibatkan jimat Sultan Sepuh (penguasa Keraton Kasepuhan), tetap ada syarat yang tak bisa ditinggalkan. Seperti larangan menggunakan zat kimia untuk melunturkan karat. Sekuat apa pun karatnya, tetap harus dibersihkan dengan ramuan tradisional, semisal campuran jeruk nipis dan air kepala. Awalnya, benda-benda pusaka itu direndam dalam bak besar.

Lama perendaman antara dua hari-1 minggu. “Tergantung banyak-sedikitnya karat dan kotoran yang menempel," ujar Maskun.

Selesai direndam, sang pusaka dimandikan dengan air kembang tujuh rupa. Tak ada patokan harus memakai bunga tertentu. “Yang penting jumlahnya tujuh macam dan tentu saja masih segar,” tambah Maskun. Dan, “bunga-bunga yang membawa wangi klasik, seperti mawar dan melati lazim dipakai.

Pusaka-pusaka kecil, seperti keris, pisau, atau tombak biasanya selesai paling awal. Sementara benda seperti tameng (perisai) perang, gamelan, dan sejenisnya jelas tak bisa diselesaikan dalam satu-dua hari. Itu sebabnya, total waktu pencucian bisa mencapai 10 hari.

Memasuki tahun baru, ternyata tidak hanya manusia yang merasa perlu “bersih diri”, benda pusaka pun perlu tampilan baru.

Artikel Terkait