Asal Usul Korupsi Mengakar di Nusantara: Benarkah Sejak Zaman Kolonial?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Secara umum korupsi mempunya arti tindakan penyelewengan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau korporasi
Secara umum korupsi mempunya arti tindakan penyelewengan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau korporasi

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru dari kami di sini

---

Intisari-online.com -Indonesia bagaikan negeri yang dibayangi awan kelam korupsi. Kasus demi kasus mewarnai media, bagaikan luka menganga yang tak kunjung sembuh.

Menelusuri jejaknya, benang merah korupsi mengarah jauh ke masa lampau, terjalin erat dengan kebijakan dan budaya yang membudaya.

Jenderal Soemitro, dalam bukunya "Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib", menguak awal mula bibit korupsi di era Orde Baru.

Di masa kemerdekaan, kebijakan desentralisasi perdagangan membuat perhitungan pajak berdasarkan nilai barang riil, ditentukan oleh pemerintah daerah. Hal ini tergambar jelas dalam kasus ekspor tengkawang di Pontianak, Kalimantan Barat, di mana nilainya dihitung berdasarkan realita pasar.

Namun, tragedi 30 September 1965 membawa perubahan drastis. Kebijakan sentralisasi diberlakukan, memindahkan kewenangan perizinan ekspor-impor ke Jakarta. Kantor pusat pengekspor tengkawang pun tak luput, tercabut dari akarnya di daerah dan terpusat di ibu kota.

Sistem perpajakan pun berubah. Perhitungan pajak tak lagi berdasarkan realita pasar, melainkan berdasarkan angka-angka di atas kertas di Jakarta. Celah inilah yang membuka pintu korupsi.

Pengusaha dan birokrat mulai bermain mata, bersekongkol untuk mempercepat proses perizinan dan memperkaya diri.

Soemitro menggambarkan dengan gamblang, "Pengusaha tengkawang yang seharusnya membayar Rp 100 juta, memilih menyogok Rp 10 juta kepada pejabat pajak. Perhitungannya, Rp 60 juta lebih hemat dan menguntungkan."

Sentralisasi tak hanya merenggut kendali perdagangan, tetapi juga memicu perubahan gaya hidup. Konsumerisme menjamur, didorong oleh pembangunan pusat perbelanjaan dan tingginya keinginan untuk memiliki.

Budaya feodal pun masih mengakar kuat, memicu perilaku meniru atasan yang korup.

"Pegawai yang sebelumnya hanya mampu membeli rumah kontrakan, kini bisa memiliki lebih dari satu," ungkap Soemitro. Permintaan yang tinggi ini membuka peluang kolusi antara pengusaha, birokrat, dan politikus dalam proyek-proyek besar.

Soemitro, yang pernah menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menyaksikan langsung kebejatan ini. "Saya membencinya," tegasnya. "Kesalahan politik lebih terhormat daripada korupsi."

Benang merah sentralisasi, gaya hidup konsumtif, budaya feodal, dan kolusi menjadi akar pahit korupsi di Indonesia. Dari masa lampau, budaya ini membudaya, menggerogoti sendi-sendi bangsa.

Memerangi korupsi tak hanya tentang penegakan hukum, tetapi juga tentang membongkar akar permasalahannya, mengubah pola pikir, dan membangun budaya baru yang berintegritas.

Baca Juga: Korupsi Timah Rugikan Negara Rp271 Triliun, Siapa Sangka Indonesia Sebenarnya Penghasil Timah Terbesar Kedua Dunia

Warisan Korupsi: Benarkah Belanda Meninggalkan Jejak Kelam di Indonesia?

Budaya korupsi di Indonesia bagaikan benalu yang menggerogoti sendi-sendi bangsa. Perdebatan sengit tentang asal-usulnya pun tak kunjung usai. Benarkah Belanda, sang penjajah, meninggalkan warisan kelam ini?

Memang, korupsi telah mengakar sejak era kolonial. Pejabat Belanda dan penguasa lokal tak segan melakukan pungutan liar, suap, dan nepotisme untuk memperkaya diri. Sistem feodal yang diterapkan pun membuka celah bagi praktik korup.

Namun, para ahli terbagi dalam dua kubu. Sebagian, seperti David Henley dan Anhar Gonggong, meyakini bahwa korupsi diwariskan dari Belanda. Sistem feodalisme dan kolonialisme dituding sebagai biang keladinya.

Henley melihat praktik korupsi berakar dari sistem feodal Belanda, di mana koneksi dengan penguasa membuka jalan menuju kekayaan dan kekuasaan. Gonggong menambahkan bahwa sistem kolonial menindas rakyat dan mementingkan elit, menumbuhkan mentalitas korup.

Di sisi lain, Mada Sukmajati dan Alvin Lie menolak pandangan ini. Bagi mereka, korupsi lebih terkait dengan faktor internal seperti budaya nepotisme, rendahnya kesadaran hukum, dan minimnya pendidikan etika.

Perdebatan ini menandakan kompleksitas akar masalah korupsi di Indonesia. Tak dapat dipungkiri, Belanda meninggalkan jejak kelam dengan sistem kolonialnya. Namun, faktor internal juga tak bisa diabaikan.

Penting untuk memahami akar masalah ini secara menyeluruh. Hanya dengan begitu, upaya pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara efektif.

Tak hanya mengandalkan penegakan hukum, tapi juga membangun budaya anti-korupsi dan memperkuat sistem pengawasan.

Memutus rantai warisan korupsi ini membutuhkan komitmen bersama. Pemerintah, masyarakat sipil, dan seluruh elemen bangsa harus bahu membahu. Pendidikan anti-korupsi perlu digencarkan, kesadaran hukum ditingkatkan, dan sistem yang transparan dan akuntabel dibangun.

Masa depan Indonesia bebas dari korupsi bukan sekadar angan-angan. Dengan tekad dan langkah nyata, warisan kelam ini dapat dihapuskan dan Indonesia dapat menuju masa depan yang lebih cerah.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru dari kami di sini

Artikel Terkait