Advertorial
Intisari-Online.com -Dahulu, warna-warna yang ada di Bumi bertengkar. Semua mengklaim dirinya paling bagus, dan paling berguna. Si Hijau mengatakan, “Akulah yang terpenting. Aku simbol kehidupan dan pengharapan. Aku dipilih oleh padi, rerumputan, dan pepohonan. Tanpa diriku, semua makhluk akan mati.”
Si Biru menimpali, “Jangan hanya berpikir tentang Bumi. Lihatlah birunya langit dan lautan luas. Air adalah sumber kehidupan, langit memberi ruang dan kehidupan.”
Si Kuning menyela, “Ah, kalian terlalu serius. Aku membaha kegemiraan dan kehangatan di dunia. Matahari berwarna kuning, juga Bulan. Tanpa kehadiranku tak ada kegembiraan.”
Si Jingga tak mau kalah, “Aku simbol kesehatan dan kekuatan. Buktinya, aku dipercaya melayani kebutuhan manusia, membawa vitamin-vitamin penting bagi kehidupan. Coba lihat aku pada wortel, labu, jeruk, dan pepaya.”
“Aku darah kehidupan! Lambang keberanian dan cinta. Tanpaku, Bumi akan kosong melompong,” sela Merah.
Sementara si Ungu berterika, “Aku adalah warna aristokrat dan kekuatan. Para raja dan pemimpin selalu memilih warnaku untuk pakaian dan aksesori mereka.”
Pertengkaran semakin seru. Masing-masing tidak mau mengalah. Tiba-tiba muncullah kilat dan gelegar suara petir, disertai hujan deras. Tanpa dikomando warna-warna itu merunduk ketakutan, mereka saling mendekat dan mencari perlindungan.
Sang Hujan berkata, “Hei, warna-warna bodoh! Jangan bertengkar! Ketahuilah, masing-masing kalian diciptakan untuk tujuan khusus, unik, dan berbeda satu sama lain. Kemarilah, saling bergandeng tangan.” Warna-warna itu melakukan apa yang dikatakan oleh sang Hujan. “Mulai sekarang setiap kali turun hujan, masing-masing kalian akan terentang di udara dalam satu pelangi yang indah, sebagai peringatan bahwa kalian harus hidup bersama dalam damai.”