Intisari-Online.com – Hari itu air menunjukkan supremasinya atas Jakarta. Sejak pagi Dian terus memantau berita. Dalam kondisi banjir, skenario jalur pulang juga harus disusun. Sukses sampai di tempat kerja tapi gagal pulang, baginya kegagalan juga. Dian mendongakkan kepala, tak ubahnya ahli nujum ia coba membaca langit.
Cahaya matahari susah payah menerobos awan hitam yang menggelayut. Hasilnya cuma sinar pucat kelabu ala kadarnya. Ia putuskan tidak berangkat. Semakin siang hujan tak juga berhenti dan air di depan rumahnya terus naik. Dari semata kaki pada pukul 8.00 naik sebatas betis dua jam kemudian.
Sekitar pukul 10.00 tiba-tiba penerangan padam. Agak terhenyak juga. Manusia modern bisa hidup tanpa makan selama tiga hari, tanpa minum selama sehar, tapi tanpa listrik? Alamaak….
Namun, absennya suara kendaraan di jalan, digantikan cuit-cuit burung di udara. Auw, masih ada burung berkicau di saat cuaca mendung. Suara air menetes dari talang, kecipak air saat orang lalu-lalang di depan rumahnya, percakapan di jalan: semuanya terdengar lebih jelas. Dan konsentrasinya langsung tancap gas! Dian menyelesaikan pekerjaannya jauh lebih cepat ketimbang biasanya di kantor.
“Sesekali membebaskan diri dari kebisingan, ternyata baik buatku,” pikirnya. Bising suara menyusup lewat telinga, bising virtual menyerbu lewat mata.
Membebaskan diri dari kebisingan itu ibarat membersihkan jalan setapak dari ilalang dan tumbuh-tumbuhan liar. Arah perjalanan menjadi lebih jelas, dan kita dapat berjalan lebih cepat tanpa tersandung-sandung. (LW – Intisari Februari 2013)