Intisari-Online.com -Konflik Laut Natuna terus menjadi perdebatan hingga sekarang.
Bagaimanasejarah munculnya sengketa batas wilayah Laut Natuna, sampai-sampai muncul dalam debat capres beberapa saat yang lalu?
Saat debat capres ketiga yang berlangsung pada 7 Januari 2024 kemarin, konflik Laut Natuna sempat disinggung.
Saat itu, ketiga calon presiden punya pandangan yang berbeda terkait konflik tersebut.
Anies Baswedan menyinggung soal pentingnya penyelesaian melalui kepemimpinan Indonesia di ASEAN.
Lalu Prabowo fokus padapenguatan pertahanan Indonesia dan penggunaan platform untuk patroli.
Sementara Ganjar Pranowo menilaipenyelesaian melalui ASEAN rumit dan tidak efektif, mengusulkan kesepakatan langsung dengan negara-negara terkait untuk mencegah eskalasi konflik di Laut Natuna Utara.
Mengutip Kompas.com, Pulau Natuna berada di Provinsi Kepulauan Riau dan berada dekat dengan Laut China Selatan.
Kawasan tersebut sampai saat ini menjadi sumber konflik antara kedaulatan Indonesia dengan China.
Mengutipjurnal Konflik Kepulauan Natuna antara Indonesia dengan China (2017) oleh Butje Tampil, isu tersebut menguak setelah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengkritik peta dari China yang memasukkan daerah Natuna ke dalam wilayahnya.
Natuna terdiri dari tujuh pulau dengan Ibu Kota di Ranai.
Dulu Kepulauan Natuna masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia.
Tapi pada abad ke-19, Kepulauan Natuna akhirnya masuk ke dalam kepenguasaan Kedaulatan Riau dan menjadi wilayah dari Kesultanan Riau.
Natuna sampai saat ini masih menjadi jalur strategis dari pelayaran internasional.
Setelah Indonesia merdeka, delegasi dari Riau ikut menyerahkan kedaulatan pada Republik Indonesia yang berpusat di Pulau Jawa.
Pada 18 Mei 1956, pemerintah Indonesia resmi mendaftarkan Kepulauan Natuna sebagai wilayah kedaulatan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Berada di kawasan dengan sumber daya alam melimpah dan berbatasan langsung dengan laut bebas membuat Natuna menjadi incaran banyak negara tetangga.
Kontraversi diawali dari Malaysia yang menyatakan bahwa Natuna secara sah seharusnya milik Malaysia.
Tapi untuk menghindari konflik panjang, pada era konfrontasi 1962-1966 Malaysia tidak menggugat status Natuna.
Lepas dari konflik tersebut, Indonesia membangun berbagai infrastruktur di kepulauan seluas 3.420 kilometer persegi.
Etnis Melayu menjadi penduduk mayoritas di Natuna, mencapai sekitar 85 persen.
Suku Jawa sekitar 6,34 persen dan etnis Tionghoa sekitar 2,52 persen.
Setelah kofrontasi Indonesia-Malaysia, sentimen anti-China di kawasan Natuna muncul.
Dari 5.000-6.000 orang, tersisa 1.000 orang etnis China.
Kemudian muncul selentingan warga keturunan Tionghoa menghubungi Presiden China saat itu, Deng Xiaoping untuk mendukung kemerdekaan Natuna.
Meski banyak pihak yang memaksa merebut Natuna, secara Hukum Internasional, negosiasi yang dibangun China tidak dapat dibuktikan sampai saat ini.
Pada 2009 secara nyata China melanggar Sembilan Titik ditarik dari Pulau Spartly ditengah Laut China Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Ketika itu Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memprotes langkah China melalui Komisi Landas Kontinen PBB.
Di mana garis putus-putus yang diklaim China sebagai Pembaharuan peta 1947 membuat pemerintah Indonesia atas negara-negara yang berkonflik akibat Laut China Selatan.
Klaim yang membuat repot negara-negara tetangga ternyata dipicu dari kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang (saat itu di Taiwan).
Bahwa wilayah China mencapai 90 persen Laut China Selatan.
Meski saat itu China tidak pernah menyinggung isu Natuna dihadapan PBB, sejak 1996 Indonesia telah mengerahkan lebih dari 20.000 personil TNI untuk menjaga Natuna yang memiliki cadangan gas terbesar di Asia.
Memasuki era Presiden Joko Widodo, pihaknya kembali menegaskan dengan keras, bahwa Sembilan Titik yang diklaim China tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun.
Bahkan dikutip dari Surat Kabar Jepang Yomiuri Shimbun, Presiden Joko Widodo mengatakan China perlu hati-hati dalam menentukan peta perbatasan lautnya.
Indonesia salah satu negara yang terancam dirugikan akibat Sembilan Titik yang digambar China.
Menurut Kementrian Luar Negeri, klaim China atas Natuna telah melanggar Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.
Posisi Natuna sangat jauh dari China.
Natuna justru berdekatan dengan batas Vietnam dan Malaysia.
Sehingga tidak masuk akal jika China mengklaim Natuna masuk wilahnya.
Sampai saat ini Natuna masih menjadi sasaran negara-negara asing untuk berlayar masuk ke wilayah tersebut.
Bahkan Indonesia beberapa kali masih menangkap kapal-kapal asing yang masuk ke Natuna.
Dilansir Kompas.com kapal penangkap ikan dan coast guard China diduga melakukan pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif dengan memasuki Perairan Natuna pada 31 Desember 2019.
Mereka juga melakukan pelanggaran ZEE seperti melakukan praktik illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing di wilayan tertitori Indonesia.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Masudi meminta China untuk patuh terhadap ketentuan yang telah ditetapkan UNCLOS 1982 tentang batas teritori.
Selain itu kementrian Luar Negeri telah mengirimkan nota protes resmi dan memanggil Dubes China untuk Indonesia di Jakarta.
Keberadaan Natuna dilihat dari hukum Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar teritorial.
Teritorial yang dimaksud adalah sepanjang 200 mil laut dari garis pangkal.
Landas Kontinen negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas yang sudah diatur dalam Pasal 76 ayat 4 hingga 6.
Salah satu masalah penting dari klaim China adalah garis demarkasi.
Tidak ada peta yang bisa menunjukkan seperti apa bentuk garis tersebut.
Pasalnya tidak ada penjelasan dari pihak China.
Sembilan Titik atau Nine Dash Line China tidak bisa disahkan sebagai perbatasan teritorial karena tidak sesuai dengan hukum internasional.
Dalam hukum internasional mengatakan bahwa perbatasan teritorial harus stabil dan terdefinisi dengan baik.
Sembilan Titik yang dibuat China tidak stabil karena dari 11 menjadi sembilan garis tanpa alasan.
Kemudian tidak ada definisi secara jelas dan kuat. Selain itu tidak memiliki koordinat geografis dan tidak menjelaskan bentuk bila semua garis dihubungkan.
Pemerintah Indonesia tetap melakukan beberapa upaya diplomatik dengan China, agar sengketa Laut China Selatan tidak meluas sampai ke Natuna.
Kedua belah pihak sudah sepakat mengedepankan diplomasi dengan mengimplementasikan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC).
Selain itu, Indonesia juga sudah mengusulkan zero draft code of conduct South China Sea yang bisa dijadikan senjata bagi diplomasi Indonesia.
Tiga poin tersebut, yaitu:
- Menciptakan rasa saling percaya.
- Mencegah terjadinya insiden.
- Mengelola insiden, jika memang insiden terjadi dan tidak dapat dihindari.
Keterlibatan ASEAN
Indonesia bersama ASEAN serta China dalam upaya menyelesaikan masalah Laut China Selatan dengan terciptanya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada tahun 2002 dianggap sebagai salah satu implementasi Doktrin Natalegawa.
ASEAN juga mengupayakan perubahan DOC menjadi Code of Conduct (COC) sehingga kesepakatan perjanjian konstruktif terkait sengketa wilayah tersebut bisa mengikat masing-masing pihak.
ASEAN juga memaksimalkan fungsi mekanisme kerja lembaga internalnya yang telah disepakati khususnya di bidang maritim dan implementasi di lapangan.
ASEAN memperkuat upaya kerja sama bilateral secara berkelanjutan untuk tujuan pemanfaatan bersama dalam potensi sumber daya alam di wilayah sengketa baik antara sesama anggota ASEAN maupun yang sedang bersengketa.
Begitulahsejarah munculnya sengketa batas wilayah Laut Natuna, sampai-sampai muncul dalam debat capres beberapa saat yang lalu.