Intisari-Online.com - Berjalan-jalan ke Tangerang tak lengkap tanpa mampir ke Pasar Lama. Di antara bau pasar yang khas, tercium aroma sedap menghasut dari aneka masakan. Jangan kalap merasakan satu menu sebab masih banyak menu yang kudu "disapa".
Pasar Lama masih padat dan semarak oleh para pedagang di balik deretan lapak-lapak kayu meski hari sudah meninggi. Pasar ini memang termasuk pasar tradisional yang menjual segala kebutuhan. Mulai dari bahan pangan segar, seperti sayuran, daging, dan ikan, hingga berbagai pakaian, seperti pakaian dalam yang berwarna-warni.
Pasar Lama ini menandai perkembangan kawasan Benteng menjadi pusat perdagangan di era Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) berkuasa pada tahun 1740-an. Kini Pasar Lama Tangerang bisa menjadi alternatif oase bagi penggemar makanan. Di sini kita bisa menemukan bacang, kwetiau, laksa, gado-gado, siomay, taoge goreng, bubur ayam, soto mi, mi kocok, kue cubit, dan kue odading nan lezat. Meskipun jenis masakan sebagian besar cukup umum, masakan-masakan itu disajikan dengan kualitas bahan yang baik dan terkesan sungguh-sungguh.
Wisata kuliner bisa dimulai dari asinan sayur dan buah Cik Lan Jin. Tempat jualannya hanya sebuah etalase sederhana dari kayu yang dipenuhi baskom besar berisi buah dan sayur-mayur. Cik Lan Jin meracik aneka sayur dan buah itu dengan kuah asinan yang segar.
Cik Lan Jin juga menyediakan asinan dengan kuah kacang yang gurih. Siang yang gerah hari itu terasa nikmat ketika kuah asinan yang asam, manis, dan asin meluncur di kerongkongan yang terasa tandus. Harganya hanya Rp15.000 saja per bungkus. Asinan Lan Jin sudah hadir di Pasar Lama sejak tahun 1979.
”Pelanggan saya banyak, terutama pengunjung Klenteng Boen Tek Bio,” ujarnya.
Mari kita bergeser ke wilayah dekat klenteng tua dari tahun 1684, Boen Tek Bio, yang terletak di batas antara pasar dan permukiman. Di dekat klenteng ada sejumlah pedagang makanan lezat yang wajib disinggahi. Salah seorang di antaranya Sitar (44) yang setiap hari menjajakan laksa benteng di gerobaknya yang mungil. Sepiring laksa racikan Sitar berisi lontong, bihun, telur atau ayam, kucai, taoge, dan kacang hijau yang disiram dengan kuah mirip kari berwarna kuning keemasan.
Kuah laksa benteng berbeda dengan kuah laksa bogor yang umumnya berwarna cerah. Cita rasanya juga agak berbeda. Laksa bogor yang kesohor itu cenderung menonjolkan rasa gurih dan asin, sedangkan laksa benteng cenderung gurih manis.
Ciri khas laksa benteng adalah ukuran bihun yang jauh lebih besar daripada ukuran bihun pada umumnya. Kira-kira besarnya sebanding dengan mi kuning. Selain itu, kuahnya juga mengandung parutan kelapa gongseng yang memicu rasa kuah yang masir.
Seporsi laksa buatan Sitar ini dihargai Rp5.000 - Rp15.000, bergantung pada lauk yang dipilih: telur, ayam, atau tanpa keduanya.
Enggan pelit
Menyusuri bagian lain pasar, kita akan menemukan kerak telor Bang Maman. Laki-laki Sunda-Betawi itu berjualan di pikulan sederhana di pojok pintu masuk pasar. Kerak telor Bang Maman ditabur bersendok-sendok bawang goreng dan ebi yang sangat gurih. Berbeda dengan kerak telor lain yang bawang goreng dan ebinya ala kadarnya.
”Kalau enggak dikasih banyak, entar saya dibilang pelit lagi,” kata Maman berseloroh.
Tidak jauh dari tempat Maman berjualan, ada pedagang soto mi, mi kocok, odading, kue cubit, dan kue rangi. Siang itu, kami juga tergoda dengan aroma gurih kue rangi yang baru matang. Kue rangi adalah kue yang terbuat dari parutan kelapa muda dicampur sagu dan dibakar dalam cetakan logam. Setelah matang disiram dengan saus gula jawa yang diberi kanji. Saus isian ini berada di bagian tengah adonan rangi. Tekstur kue rangi terasa kenyal, lengket, dengan rasa gurih dan manis yang melenakan.
”Kalau ke sini harus coba kue rangi ini, beda loh,” ujar Endang (38), si penjual, berpromosi.
Jika rongga pencernaan masih cukup ruang, tak ada salahnya mampir ke warung soto betawi di Jalan Ki Samaun, masih di sekitar Pasar Lama. Soto betawi olahan Pak Suganda (45) ini tampil ayu dengan kuah berwarna putih, campuran susu segar dan santan. Pak Suganda berujar, campuran itu membuat intensitas rasa gurih dari soto lebih nikmat. Memang betul, gurihnya kuah soto dengan campuran santan dan susu ini terasa seimbang. Tidak terlalu berlebihan, tetapi tanpa terperosok pada kehambaran.
Di warung Pak Suganda ini, kita juga bisa memesan gado-gado yang dibuat dengan baik dan tampak higienis. Sayurannya terasa masih segar dan direbus dengan kematangan pas sehingga tidak terlalu londot. Setelah disiram kuah kacang tanah yang digiling lembut, lengkaplah identitasnya sebagai gado-gado. Untung saja porsinya cukup mungil. Sebagai santapan terakhir siang itu, si gado-gado menempati sisa ruang terakhir di rongga perut.
Oh ya, mungkin ada baiknya kenakan pakaian serba longgar saat berjalan-jalan di Pasar Lama. Selain nyaman dikenakan di udara panas, baju longgar mampu menyembunyikan perut yang menggelembung setelah icip-icip di sana-sini.(Budi Suwarna/Sarie Febriane/Kompas)