Selama lebih dari tiga dekade Kris Biantoro mencari penyembuhan terhadap gagal ginjalnya. Mengharukan sekaligus memberi inspirasi untuk selalu berikhtiar. Begitulah yang tertuang pada buku Belum Selesai - Kisah 38 Tahun Perjuangan Pendekar Ginjal Soak (Sahabat Kris Biantoro, 2011). Ini merupakan memoar kedua setelah Manisnya Ditolak (2007).
Setelah lama menetap di Australia, akhir tahun 1960-an saya kembali ke Tanah Air dengan membawa seorang istri, Maria Nguyen Kim Dung, dan anak sulung saya Anto. Saya tinggal di daerah Tebet atas rekomendasi seorang sahabat yang dulu sama-sama bertugas di Kedutaan Besar Australia.
Saya dipercaya TVRI membawakan acara anak-anak dua kali sebulan dengan honor Rp 7.500,- setiap kali tampil. Waktu itu 1 AS$ = Rp 225,-. Istri saya sempat bekerja di Kedubes Vietnam dengan gaji Rp 25.000,-. Ditambah dengan pendapatan bunga deposito Rp 80.000,- dari hasil penjualan mobil Holden tua maka sebulan pendapatan kami Rp 120.000,-. Sebuah angka yang cukup untuk menikmati hidup.
Namun, itulah awal malapetaka. Selera makan saya tidak terkendali. Terlebih favorit saya adalah nasi padang dengan lauk jeroan. Dari sinilah saya berkenalan dengan sakit ginjal. Jeroan ternyata mengakibatkan pembentukan batu pada ginjal.
Pada 2 Oktober 1970, dengan perantaraan sahabat yang saya kenal sebelum ke Australia, Mayor Abdul Hayat Tjitro Prawiro yang banyak mengorbitkan artis terkenal, saya dipercaya menjadi Master of Ceremony (MC) di Night Club Tropicana, salah satu klub terbesar di Jakarta saat itu. Jakarta dipimpin oleh Ali Sadikin, gubernur yang begitu revolusioner membangun ibukota dengan membuka luas berbagai kesempatan berusaha.
Karir saya di Night Club Tropicana juga meningkat dengan menjadi Entertainment Manager. Job-job di luar club datang silih berganti. Syuting film, program televisi TVRI, menjadi MC di banyak acara, menjadi model iklan, rekaman nyanyi, dan sebagainya. Otomatis penghasilan bertambah, tapi waktu bagi keluarga berkurang. Juga waktu istirahat. Sementara makan enak jalan terus. Sampai akhirnya dari hasil pemeriksaan, kreatinin saya sudah mencapai angka 5. Kreatinin adalah parameter yang menunjukkan tingkat gangguan fungsi ginjal manusia. Normalnya adalah 0 – 1,2.
Angka kreatinin yang tinggi membuat saya terkadang merasa sakit sekali. Beruntung, di depan rumah kami tinggal seorang mantri kesehatan yang menyuntikkan morfin ke tubuh saya setiap kali rasa sakit mendera. Begitu disuntik, belum sampai jarum diangkat, saya sudah tersenyum.
Pada masa-masa itu pula saya mulai mendapat nasihat dari banyak orang soal penyakit saya. Celakanya, saya termasuk manusia "berkuping tipis". Dalam budaya Jawa, "berkuping tipis" itu artinya mudah menuruti semua nasihat. Ada yang menyarankan saya minum jamu Jawa, ramuan Cina, semuanya saya minum meski bau dan rasanya sama.
Lama-kelamaan urine saya berubah warna menjadi keruh kehitaman. Saya pun sering demam dan anyang-anyangan (ingin buang air tapi sulit keluar). Dari seorang ahli ginjal di RS PGI Cikini, Jakarta, saya memperoleh informasi, penderita sakit ginjal tidak dianjurkan minum jamu! Saya masih tertolong, tapi lapisan dinding ginjal saya terkikis sampai infeksi.
Sakit saya makin parah sehingga saya makin sering meminta suntikan morfin. Tapi lama-lama Pak Mantri curiga mengira saya pecandu morfin. Hingga suatu saat ia tak mau lagi menyuntik saya.(Bersambung ...)