Saat ini banyak dijumpai kegiatan atau usaha, gagasan, produk dengan label ”eco” atau "green" seperti yang dijumpai dalam bentuk ”ecodevelopment”, ”green industry”, ”green party”, ”green banking”, Greennomics”, ecoport”, ”ecopolitics”, ”green product”, dan lain sebagainya. Dalam dua dekade terakhir istilah ”eco” atau ”green” juga banyak digunakan secara meluas di masyarakat. Hal ini menandakan satu gejala bahwa kesadaran dan kepedulian ekologi telah menjadi tren bahkan gaya hidup masyarakat. Mengapa?
Penggunaan istilah ”eco” atau ”green” secara meluas dalam kehidupan sehari-hari dapat dimaknai adanya komitmen di masyarakat akan adanya kesadaran terhadap kerusakan lingkungan atau krisis ekologi baik itu berupa pencemaran air dan udara, pencemaran B3, degradasi hutan dan keanekaragamanhayati, pemanasan bumi maupun penipisan ozon sebagai akibat ulah manusia sehingga memperbaiki alam harus berbanding lurus dengan memperbaiki ulah manusia khususnya dalam hubungannya dengan alam. Di masa lalu masyarakat beradaptasi dan memperlakukan lingkungan semata-mata berlandaskan pada ideologi antroposentrisme melalui praktek industrialisasi sebagai upaya pemenuhan pasar yang mengedepankan pertumbuhan.
Cara pandang antroposentrisme inilah yang mempengaruhi manusia untuk meng-eksploitasi alam dan lingkungan atas nama pembangunan. Berdasar pada ideologi antroposentrisme pula menjadikan kekuatan pikir manusia tumbuh melahirkan teknologi dan industri yang maha dasyat, namun di sisi lain mengorbankan alam. Alam dan lingkungan tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun sudah mengarah pada pemuasan keinginan hidup manusia. Manusia yang dulunya di zaman purba memanfaatkan alam dan lingkungannya untuk pemenuhan kebutuhan ”fungsional”, dengan ideologi antroposentrisme ini bergeser untuk memenuhi kebutuhan ”sosial”.
Kesadaran manusia terhadap kesurakan alam sebagai ulah manusia yang awalnya menganut antroposentrisme dalam dua dekade terakhir ini menjadi sebuah gerakan yang disebut aliran hijau atau ”Green Response”. Dalam gerakan ini, krisis ekologi dipahami menjadi permasalahan tak hanya dapat dipecahkan hanya dengan mengedepankan kekuatan teknologi dengan langkah modernisasi ekologi namun juga harus di atasi melalui perubahan yang menyeluruh dan menyentuh struktur sosial, ekonomi dan politik.
Perilaku Hijau: Manifestasi ”deep ecology way of life”
Masalah degradasi lingkungn mengundang perhatian para intelektual lintas disiplin ilmu. Mengatasi degradasi tidak bisa hanya ”sekadar berwacana” namun harus menjadi gerakan nyata di masyarakat. Para pakar yakni pakar ilmu sosial, ekonomi dan dunia usaha, politik, dan budayawan serta masyarakat lokal harus menyatukan diri menjadi pelopor dalam mengatasi krisis lingkungan. Sebagai wujud gerakan moral terhadap pelestarian lingkungan maka saat ini muncul istilah-istilah ”eco” atau ”green” yang kerap kita jumpai di masyarakat sebagai gaya hidup baru.
Munculnya penggunaan istilah ”eco” atau ”green” secara meluas dalam kehidupan masyarakat di dunia dapat digolongkan sebagai bagian dari deep ecology way of life seperti yang telah di gagas oleh Arne Naess, seorang filsuf Nowergia tahun 1973. Dalam deep ecology ini menuntut suatu etika baru yang tidak terpusat pada manusia, namun berpusat pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitannya dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan. Etika baru ini menurut Keraf (2010) sama sekali tidak mengubah hubungan antara manusia dengan manusia. Yang baru dalam deep ecology adalah pertama, manusia dan kepentingannya bukan lagi dijadikan sebagai ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep ecology memusatkan perhatian pada semua spesies, termasuk spesies bukan manusia. Deep ecology juga tidak hanya memfokuskan perhatian pada kepentingan jangka pendek, namun memiliki kepedulian jangka panjang. Prinsip moral yang dikembangkan oleh deep ecology menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologi.
Kedua, etika lingkungan hidup yang dikembangkan oleh deep ecology dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Keraf (2010) mengutip pemikiran Arne Naess (1973) mengatakan bahwa prinsip-prinsip moral etika lingkungan hidup harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika baru ini menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekedar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis sebagaimana ditemukan pada antroposentrisme. Dengan demikian, deep ecology lebih tepat disebut sebuah gerakan di antara orang-orang yang mempunyai sikap dan keyakinan yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang selaras dengan alam, dan sama-sama memperjuangkan isu lingkungan hidup dan politik. Suatu gerakan yang menuntut dan didasarkan pada perubahan paradigma secara mendasar dan revolusioner, yaitu perubahan cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup.
Semoga
Foto: Dokumentasi IPB