Intisari-Online.com- “Perubahan gaya hidup dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi yang menekankan konservasi sumber daya dapat berkontribusi untuk mengembangkan ekonomi yang rendah karbon yang adil dan berkelanjutan.” (Intergovernmental Panel on Climate Change Assessment Report, 2007)
Mungkin sebagian dari kita tak menyadari bahwa gaya hidup dan pola konsumsi tertentu yang kita praktikkan sehari-hari ternyata ikut andil dalam mempercepat pemanasan global. Mudah saja, misalnya penggunaan kendaraan pribadi. Berdasarkan data Technology Needs Assessment pada 2009, kendaraan pribadi menyumbang setidaknya 36% emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi di Indonesia.
Lain lagi sektor energi, sebut saja listrik. Pemakaian listrik menyumbang 12% dari total emisi karbon untuk sektor energi. Ini terjadi karena sebagian besar pembangkit listrik kita masih menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara yang menghasilkan jutaan ton CO2. “Setiap orang punya andil menyumbang, bukan hanya perusahaan-perusahaan besar di sektor industri saja. Tetapi kita semua, melalui gaya hidup kita sehari-hari,” jelas Imelda, Koordinator Program Institute For Essential Service Reform (IESR).
Itu sebabnya IESR gencar mengampanyekan pola hidup hijau dalam urusan sehari-hari untuk mewujudkan low carbon society atau masyarakat dengan gaya hidup rendah karbon. Menjadi low carbon society sebenarnya tak sulit. Kita bisa memulainya dengan membatasi penggunaan barang elektronik. Misalnya, menyalakan lampu seperlunya saja.
Untuk mendukung proses itu, pada 2010 IESR menciptakan sebuah alat yang bernama Kalkulator Jejak Karbon (KJK). Kalkulator ini berguna untuk memandu kita dalam menghitung jumlah emisi yang kita hasilkan dalam kehidupan sehari-hari. “Animonya bagus sekali, ternyata ada loh alatnya. Kita juga menjadi sadar bahwa sebenarnya kita berperan dalam mengeluarkan emisi dalam kehidupan sehari-hari,” kata Imelda. KJK ini pun bisa diakses siapa saja di sini.
Sadar pun tak cukup
Imelda paham betul bahwa sekadar sadar saja ternyata tak cukup. Perlu tingkatan yang lebih tinggi daripada sadar itu sendiri, yaitu komitmen. “Kalau kita hanya sadar, kita tak akan berubah. Berbeda kalau kita memang berkomitmen untuk menurunkan emisi dalam kehidupan kita,” jelasnya. Melalui KJK ini pula, IESR mencoba mengajak masyarakat untuk memulai berkomitmen dalam menurunkan emisi.
Jika melihat formulir komitmen menurunkan emisi yang dikumpulkan IESR, hanya ada sekitar 1.000 orang yang bersedia, untuk area Jakarta-Depok. Tentu ini angka yang kecil dibandingkan dengan populasi di sana. Imelda juga menyadari bahwa ‘euforia’ tentang perubahan iklim sebagian besar ada di kalangan NGO atau pemerintah. Sementara, di kota-kota kecil belum terlalu memasyarakat.
Perubahan iklim memang isu yang cukup tinggi. KJK ini bisa jadi merupakan salah satu cara mengedukasi masyarakat dengan cara yang unik. Dengan demikian, masyarakat juga tak malas untuk mempelajarinya.