Mencegah Bertumpuknya Sampah Elektronik

K. Tatik Wardayati

Editor

Mencegah Bertumpuknya Sampah Elektronik
Mencegah Bertumpuknya Sampah Elektronik

Intisari-Online.com – Setiap hari rumah tangga kita menghasilkan sampah. Tapi, sadarkah Anda, bahwa di antara sampah non-organik yang kita hasilkan, terselip juga sampah elektronik?

Coba kita hitung, berapa banyak peralatan elektronik yang sudah tidak terpakai lagi tapi masih tersimpan di rumah. Mungkin berupa radio, kipas angin, kalkulator, pemutar DVD, televisi, komputer, pemutar MP3, atau bahkan ponsel-ponsel jadul yang sudah tidak layak pakai. Semua itu tersimpan atau terselip di antara barang-barang lain yang masih kita pakai sehari-hari.

Rumah tangga kita bukan satu-satunya. Di dunia diperkirakan ada sekitar 20 – 50 juga ton sampah elektronik per tahun. Amerika Serikat menjadi penghasil sampah terbanyak yakni 3 juta ton, disusul Cina dengan 2,3 juta ton. Masalahnya, ke mana lainnya limbah itu? Ada kenyataan mengejutkan bahwa 70% sampah itu dibuang ke negara miskin dan negara berkembang, Indonesia menjadi salah satunya.

Membuang sampah elektronik begitu saja ke tempat pembuangan sampah, jelas bukan tindakan bijak. Karena sampah semacam ini mengandung sekitar seribu material yang sebagian besar dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3).. Ada unsur-unsur seperti logam berat (merkuri, timbel, kromium, kadmium, arsenik, dsb), PVC, dan brominated flame-retardants. Apabila di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah ditangani secara tidak tepat, akibatnya sungguh merugikan manusia dan lingkungan.

Jika sampah yang mengandung logam berat ini dibakar, akan muncul polusi udara (mengandung timbel) yang sangat berbahaya. Tumpukan sampah yang mengalami dekomposisi dan tercampur dengan air, juga dapat masuk ke tanah dan menyebabkan pencemaran air tanah. Pencemaran yang diakibatkan oleh berbagai unsur ini akan merusak sistem saraf, mengganggu sistem peredaran darah, ginjal, perkembangan otak anak, cacat bawaan, efek racun, alergi, sampai kerusakan DNA.

Dampak mengerikan itu bisa saja sampai ke kita juga. Seperti polybrominated biphennyls (PBB) dari sampah elektronik, begitu terlepas ke lingkungan akan masuk ke rantai makanan. Makhluk hidup yang ada di tanah atau perairan seperti hewan ternak dan hewan laut akan tercemar. Padahal, ada kemungkinan hewan tersebut akan dimasak, lalu tersaji di piring kita. Walau tersaji lezat, misalnya dengan bumbu saus padang, tetap saja ada unsur pencemarannya.

Mengamankan sampah elektronik di rumah bia dilakukan dengan cara mengumpulkannya di satu tempat. Misalnya di sebuah kardus atau kotak container plastik. Jangan sampai tidak terkontrol atau berserakan agar tidak terbuang begitu saja atua malah menjadi mainan dari anak-anak. Kita tidak bisa menjamin faktor keamanannya jika barang-barang semacam itu sampai di tangan anak-anak.

Solusi sementara, kita bisa menjual barang-barang elektronik kepada pedagang barang bekas, untuk dimanfaatkan kembali. Karenya nyatanya, sampah elektronik masih dapat dimanfaatkan kembali oleh kalangan tertentu. Kini pedagang barang bekas umumnya mencari barang yang spesifik, misalnya bekas komputer, televisi, atau ponsel. Bahkan jika jumlahnya cukup banyak mereka bersedia menjemput. Maka tak ada salahnya kita mengumpulkan secara kolektif dengan warga lain di lingkungan tempat tinggal.

Solusi yang benar adalah melibatkan produsen barang-barang elektronik melalui program extended producer responsibility (EPR). Produsen sebagai penjualnya hendaknya memiliki komitmen untuk mengambil kembali produk mereka yang tidak terpakai untuk meminimalisir pencemaran lingkungan. (Intisari)