Intisari-Online.com - Berniat merayu environmentalists untuk membeli produk atau layanan ramah lingkungan? Gunakanlah taktik sosial media dengan target kaum muda. Mereka memiliki lingkaran sosial yang luas dan rentan untuk mengambil tindakan. Demikian hasil penelitian yang dilakukan Mintel, sebuah perusahaan yang melacak trend di seluruh dunia.
Penelitian Mintel tersebut menunjukkan bahwa mereka yang merasa bernilai apabila dipersepsikan sebagai orang yang ramah lingkungan, 24 persen mengakui telah membeli produk ramah lingkungan. Tujuannya hanya untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka memiliki kesadaran akan lingkungan (umumnya hanya 9 persen). Mereka juga 20 persen mengaku telah mencampur sampah daur ulang dengan sampah reguler (umumnya hanya 8 persen).
Sayangnya perilaku tersebut lebih disebabkan oleh tekanan sosial sehingga perilakunya cenderung tidak terlalu melekat dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, sekali tekanan lepas, perilaku “hijau” itu akan hilang. Mereka yang mudah terpengaruh oleh tekanan sosial tersebut adalah konsumen muda.
Penelitian ini juga menemukan bahwa 14 persen orang yang berusia 18-24 tahun beralih untuk lebih menggunakan produk ramah lingkungan karena postingan temannya di situs jejaring sosial. Beberapa dari mereka, 12 persen, juga menyukai atau mengikuti Facebook dan Twitter suatu perusahaan karena perusahaan tersebut mempraktekkan perilaku ramah lingkungan.
“Jelas sekali bahwa mereka berperilaku ramah lingkungan hanya untuk menghindari persepsi negatif dari orang lain,” ujar Fiona O'Donnell analis gaya hidup di Mintel. “Di satu sisi tekanan sosial membuat banyak konsumen ingin berperilaku ramah lingkungan, namun, di sisi lain, karena perilaku tersebut lebih berupa upaya menghindari stigma negatif, ketika tekanan sosial dihilangkan, perilaku ramah lingkungan juga akan mudah hilang.” (BusinessNewsDaily)