Intisari-Online.com - Bagi ahli biologi konservasi seperti Samuel Wasser, kotoran satwa bukanlah sampah. Setiap butiran atau gundukan mengungkapkan pola makanan, teritorial, dan keadaan seksual pemiliknya. Karena itu, Laboratorium Wasser di University of Washington telah merintis cara yang lebih maju dalam mempelajari kotoran, termasuk profil hormon dan ekstraksi DNA. Penggunaan senapan bius pun berkurang.
“Begitu mendapatkan DNA-nya, kami dapat mengidentifikasi satwa tanpa perlu melihatnya. Pada dasarnya kami menghubungkan titik-titik,” ungkap Wasser.
Selama satu dekade terakhir Wasser telah menghubungkan “titik-titik” gajah di seluruh Afrika. Ia mengumpulkan kotoran satwa, mengidentifikasi genotipe sampel, dan menambahkan informasi ke peta referensi pertumbuhan genetik. Dengan mencocokkan DNA antara gading sitaan dengan DNA dari situs pembuangan kotoran, ia bahkan bisa menentukan titik panas perburuan gajah.
Namun, ada celah di petanya. Di jantung Republik Demokrasi Kongo tempat segelintir gajah tersisa, Wasser memiliki sedikit data. Jadi pada Maret 2011, ia mengajak penerima hibah National Geographic, Trip Jennings dan Andy Masser dalam proyek “CSI: Elephant”. Mereka mengajarkan penduduk cara mengumpulkan kotoran dan mengirimnya ke Laboratorium Wasser.
Sekarang Wasser tengah meneliti hasil temuan mereka. Dengan setiap temuan baru, ia mengumpulkan harapan bagi kawanan gajah dalam bentuk gundukan. Bisakah metode serupa juga diterapkan pada harimau sumatra yang terancam punah karena perburuan? (National Geograpic)