Intisari-Online.com -Sumbo Tinarbuko membuat gerakan yang disebutnya dengan Reresik Sampah Visual. Dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Yogyakarta ini mencabuti iklan-iklan yang penempatannya tidak sesuai. Sebagai pedoman gerakannya, dia menetapkan rambu-rambu yang disebutnya Lima Sila Sampah Visual.Sumbo mulai membahas tentang sampah visual sejak dia diminta untuk mengajar mata kuliah kritik desain dan iklan. Sejak itu, dia mulai mengamati “kenakalan-kenakalan” tersebut. Sumbo juga menjadi anggota Badan Pengawasan Periklanan dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia chapter DIY.Semakin gerah, akhirnya Sumbo terjun langsung menumpas teror sampah visual tersebut. Aksi pertamanya pada 19 Mei 2012, dia menggandeng mahasiswa ISI untuk menyabuti reklame liar di sepanjang Jalan Sewon, Bantul, Yogyakarta. Ternyata, respons masyarakat cukup positif, namun belum ada tanggapan dari pemerintah terkait aksi itu.
Dok. Reresik Sampah Visual
Dok. Reresik Sampah VisualMaka, pada aksi yang kedua pada 2 Oktober 2012, Sumbo mengajak serta Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, untuk membersihkan sampah visual di sepanjang Jalan Solo sampai ke Kecamatan Jetis, Yogyakarta. Pada moment itu, Sumbo juga “memaksa” Walikota Yogyakarta untuk meresmikan tiga jalan itu menjadi kawasan bebas sampah visual.
Dok. Reresik Sampah Visual
Pada aksinya yang keempat pada 19 Januari 2013, Sumbo menggandeng Bupati Bantul Sri Surawidhati, Sumbo mendapati satu pohon yang menderita: setelah dibebaskan dari reklame liar yang dipaku dan diikat di pohon tersebut, masih ada 25 paku yang menancap di pohon tersebut! Setelah dikumpulkan, aksi keempat itu berhasil mengumpulkan 50 kg paku.
Dok. Reresik Sampah VisualAksi Sumbo mendapatkan dukungan dari banyak komunitas, terutama komunitas yang juga mencintai ruang publik. Sebut saja, komunitas sepeda, street art, pecinta trotoar, Walhi, dan warga. Jika dihitung, jumlah orang yang tergerak untuk ikut tiap aksi reresik sampah visual ini bisa ratusan.Saat melakukan aksi, Sumbo memang sengaja melibatkan pejabat publik, seperti walikota, camat, bupati, juga Satpol PP. Alasannya, seperti dituturkan Sumbo, supaya sepeninggalnya masih ada yang merawat wilayah tersebut. “Soalnya saya kan bukan tukang sampah, hahaha!”kelakar Sumbo.
Dok. Reresik Sampah Visual
Sumbo aktif mengkritik perihal sampah visual tersebut dengan tulisannya di surat kabar, kegiatan belajar mengajar. Selain itu, Sumbo juga aktif berkampanye di jejaring sosial Twitter (@sumbotinarbuko, @sampah_visual) dan Facebook (facebook.com/sumbotinarbuko, facebook.com/SampahVisual).Semangat ini menular ke daerah-daerah lain di luar pulau Jawa. Sumbo menceritakan, banyak orang mulai tersadar bahwa di kotanya juga menumpuk sampah visual. Mereka berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Misalnya, pada 22 April lalu, pada saat Hari Bumi, kelompok Pecinta Alam Universitas Muhammadiyah Makassar sudah memulai aksi mencabuti paku yang menancap di pohon-pohon di pinggir jalan raya. Menurut Sumbo, pemerintah perlu tegas dalam menjalankan regulasi dan kontrol. “Mereka-meraka yang nakal dalam perizinan itu saya kategorikan dalam modus operandi korupsi,” kata Sumbo geram.Di sinilah peran masyarakat pengontrol. Di dunia periklanan Indonesia, banyak orang yang bergerak untuk membela dan mengontrol serakan media iklan di luar ruang.Menurut dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini, iklan luar ruang harus ditata, karena semua punya hak. “Pengiklan, biro iklan, pemasang iklan punya hak untuk hidup dari iklan tersebut. Masyarakat juga berhak hidup di lingkungan yang tidak dirusak karena iklan,” kata Sumbo.