Intisari-Online.com – Melalui Mata Angkasa, perusahaan penyedia jasa aerial monitoring dan areal mapping di Bekasi, Jawa Barat. Penggunaan pesawat aeromodeling kini tidak saja menjadi hobi, tetapi juga menjadi alat pengawasan lingkungan konservasi.
Dengan fokus pada pengembangan tipe drones, Ali Munthaha, teknisi Mata Angkasa mengatakan jika perangkat tersebut sudah dipakai oleh militer negara maju dan sering digunakan untuk kegiatan penelitian.(Baca juga: Badak Hitam Afrika, Resmi Punah!)
Pesawat mini yang populer dengan sebutan UAV (unmanned aerial vehicle) ini menggunakan kamera resolusi tinggi yang terintegrasi dengan radio pemancar, dengan sistem penggunaan remote control, operator bisa mendapatkan pemandangan dari atas. Pengawas lingkungan konservasi ini juga mempunyai kecepatan 60 km per jam.
“Pesawat juga dapat dikendalikan otomatis oleh OSD board. Dengan OSD board pesawat dapat menjaga kestabilan dan mengarahkan pesawat ke titik tujuan. Fungsi lainnya adalah menjaga kecepatan penerbangan, sekaligus menjaga ketinggian.” Ujar Ali.
Menurut Elisabet Purastuti, Ujung Kulon Project Leader WWF-Indonesia, pesawat pengawas lingkungan konservasi ini membuat proses survei badak Ujung Kulon jadi lebih mudah. Penggunaan alat ini akan menekan biaya monitoring, sehingga lebih efisien.(Baca juga: Menghentikan Perburuan Gajah Melalui Kotorannya)
Arief Rubianto, Manajer Perlindungan Yayasan Badak Indonesia (YABI), mengatakan kemunculan drone ini bisa menjadi peluang bagus, untuk menjawab keterbatasan penelitian dan upaya konservasi alam.
“Dalam mengawasi badak, seringkali terdapat kesalahan manusia hingga kurang akuratnya data. Dengan adanya alat ini, kita bisa tahu titik koordinat foto dimana, jadi pengawasan lebih mudah.” (mongabay.co.id)