Intisari-Online.com - Para peneliti dari University College London (UCL) berhasil menemukan gen-gen yang mempengaruhi mancung atau peseknya hidung seseorang. Gen-gen tersebut juga dipercaya berpengaruhg terhadap lebar atau tidaknya hidung kita.
Tim yang dipimpin oleh Prof. Andrés Ruiz-Linares dari UCL Genetics Institute ini menganalisis populasi lebih dari 6.000 orang dengan beragam keturunan di seluruh Amerika Latin. Mereka mempelajari perbedaan dalam fitur wajah normal, dan mengidentifikasi gen yang mengontrol bentuk hidung dan dagu.
Baik pria maupun wanita diidentifikasi atas 14 fitur wajah yang berbeda dan dianalisis keseluruhan genomnya. Sampel penelitian kami adalah warga dari kelompok Candela yang dikumpulkan di Amerika Latin (Brazil, Kolombia, Chili, Meksiko dan Peru).
Peneliti menggunakan foto wajah dari 6.275 individu. Mereka menilai sebanyak 14 fitur wajah pada skala kategoris yang mencerminkan kekhasan masing-masing sifat.
"Kami memasukkan fitur wajah bagian bawah seperti bentuk dagu, tonjolan dagu dan ketebalan bibir atas atau baawah; wajah bagian tengah: tonjolan tulang pipi, luasnya akar hidung, kecenderungan kolumela, tonjolan hidung, profil hidung dan bentuk ujung hidung; dan wajah bagian atas: alis, dan profil dahi. Fitur-fitur ini dipilih berdasarkan variasi yang terdokumentasi di Eropa," ujar Ruiz-Linares.
Prof. Ruiz-Linares dan co-penulis mengidentifikasi lima gen yang berperan dalam mengendalikan bentuk fitur wajah tertentu. DCHS2, Runx2, GLI3 dan PAX1 mempengaruhi lebar dan kemancungani hidung. Gen lain, EDAR mempengaruhi tonjolan dagu.
Menurut para ilmuwan, GLI3, DCHS2 dan PAX1 merupakan gen yang dikenal untuk mendorong pertumbuhan tulang rawan. GLI3 memberi sinyal terkuat untuk mengendalikan luasnya lubang hidung, sama halnya dengan PAX1.
DCHS2 ditemukan untuk mengontrol kemancungan hidung. Sedangkan, Runx2 mendorong pertumbuhan tulang untuk mengontrol jembatan lebar hidung.
Gen GLI3, DCHS2 dan Runx2 dikenal untuk menunjukkan bukti yang kuat dari manusia modern jika dibandingkan dengan manusia purba, seperti Neanderthal dan Denisovans.
"Kami telah lama berspekulasi bahwa bentuk hidung mencerminkan lingkungan di mana manusia berevolusi," kata Prof. Ruiz-Linares. "Sebagai contoh, hidung relatif kecil di Eropa karena beradaptasi dengan iklim yang kering dingin. Gen mengidentifikasinya, hingga mempengaruhi bentuk hidung, serta evolusi wajah pada spesies lain. Hal ini juga dapat membantu kita memahami apa yang salah pada gangguan genetik yang melibatkan kelainan wajah. "
Hasil penelitian ini diterbitkan secara online dalam jurnal Nature Communications.
(K.N Rosandrani /nationalgeographic.co.id)