Ketiga, Blambangan memanfaatkan konflik internal di Mataram dan VOC untuk melemahkan musuh-musuhnya.
Misalnya, pada tahun 1629, ketika Mataram disibukkan oleh pemberontakan Trunojoyo, Blambangan ikut membantu Trunojoyo dengan mengirimkan pasukan dan persenjataan.
Pada tahun 1677, ketika VOC mengalami perang saudara antara Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker dan Cornelis Speelman, Blambangan juga ikut campur tangan dengan mendukung Speelman.
Keempat, Blambangan melakukan perlawanan gerilya dengan menggunakan medan alam yang sulit seperti hutan-hutan lebat dan pegunungan tinggi.
Pasukan Blambangan juga ahli dalam menggunakan senjata tradisional seperti tombak, pedang, panah, dan senapan api buatan sendiri.
Keruntuhan
Kerajaan Blambangan akhirnya runtuh pada abad ke-18 setelah mengalami dua perang besar melawan Mataram dan VOC.
Perang pertama adalah Perang Wilis (1767-1768), yang dipimpin oleh Agong Wilis, pangeran Blambangan yang kembali dari pengasingan. Agong Wilis mendapat dukungan dari penduduk luas serta komunitas Bugis, Melayu, Sumbawa, dan Cina.
Namun, perlawanan Agong Wilis gagal karena adanya konflik internal di antara para pemimpin perlawanan.
Agong Wilis sendiri ditangkap oleh VOC pada tahun 1768 dan dibuang ke Pulau Edam bersama dengan beberapa tokoh lainnya.
Perang kedua adalah Perang Bayu (1771-1772), yang dipimpin oleh Bupati Sutanagara dari Bayu (sekarang Bondowoso).
Bupati Sutanagara menolak untuk tunduk kepada VOC dan melakukan pemberontakan bersama dengan beberapa bupati lainnya.
Namun, perlawanan ini juga dapat dipadamkan oleh VOC dengan bantuan dari elit-elit lokal Jawa yang dikirim dari Surabaya.
Setelah dua perang ini berakhir, Kerajaan Blambangan tidak lagi memiliki kekuatan untuk melawan Mataram dan VOC.
Pada tahun 1777, wilayah Blambangan resmi menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR