Intisari-Online.com - Angus Deaton, peraih penghargaan Nobel Ekonomi di 2015 memaparkan pemikirannya bahwa konsumsi barang dan jasa merupakan penentu fundamental dalam menetapkan kesejahteraan dan tingkat kemiskinan.
Profesor ekonomi dari Princeton University itu menabrak pendapat ekonom di masa sebelumnya yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi pada sisi produksi dan pendapatan. Penelitian yang dilakukan oleh Deaton mengubah paradigma konsumsi dan penghasilan dalam sistem ekonomi.
Bersama dengan rekannya John Muellbauer, ekonom dari Universitas Oxford, Deaton menyusun sistem persamaan untuk memahami bagaimana keputusan konsumen berinteraksi dengan barang yang berbeda.
“Deaton merupakan salah satu sedikit orang yang mengerti perilaku konsumsi dari waktu ke waktu,” ujar Orazio Attanasio, ekonom di Unversity College London seperti dikutip Financial Times.
Dalam pandangan Deaton, peran konsumsi sangat sentral pada perekonomian. Untuk mengukur tingkat resesi, kemiskinan dan kemakmuran, Deaton menggunakan prisma konsumsi.
Para tokoh ekonomi di tahun 1950-an seperti Milton Friedman dan Franco Modigliani menyebut perilaku konsumsi masyarakat bergantung kepada pendapatan. Jika penghasilan individu mampet, konsumen memilih menyisihkan duitnya sebagai tabungan. Maka, angka konsumsi bakal menciut.
Namun, Deaton melihatnya dari sudut pandang lain. Menurutnya, konsumsi bakal tetap mengalir jika harga produk terjangkau. Makanya, meski tanpa ada penambahan pendapatan, konsumsi masih bisa meningkat.
Ambil contoh, ketika pemerintah mengenakan pajak atas makanan, tentu saja harga menjadi mahal. Inilah yang mempengaruhi konsumsi. Jika konsumsi anjlok, warga miskin sulit memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Teori Deaton ini berlaku di Jepang. Ketika Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menaikkan pajak penjualan pada April 2013 lalu, konsumsi rumah tangga Jepang merosot. Bahkan, Jepang sulit memenuhi target inflasi sebesar 2%.
Baru-baru ini, Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga mempertimbangkan penurunan pajak untuk beberapa produk tertentu. Tujuannya tentu saja untuk membantu mengerek konsumsi masyarakat berpenghasilan bawah.
“Hal ini sangat alami bahwa pemerintah mengenalkan penurunan tarif pajak di tengah kenaikan pajak,” kata Suga kepada Japan Times.
Bukan hanya Jepang, negara lain seperti China juga menguatkan konsumsi domestik demi pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena pendapatan ekspornya menipis.
Indonesia bisa mengambil pelajaran dari teori Deaton ini. Pemerintah boleh saja menggenjot infrastruktur dan industrialisasi tetapi jangan lupa mendongkrak konsumsi masyarakat. Bisa saja ekonomi sulit tumbuh karena tergencet oleh penurunan daya beli.
Teori yang dibangun oleh Angus Deaton bisa membantu Pemerintah Indonesia menciptakan kebijakan untuk memompa konsumsi domestik sehingga dunia usaha dalam negeri masih bisa tumbuh di tengah kelesuan ekonomi global. (Fitri Nur Arifenie/Kontan)