Kenali Predator Seksual di Sekitar Kita (1)

K. Tatik Wardayati

Penulis

Kenali Predator Seksual di Sekitar Kita (1)
Kenali Predator Seksual di Sekitar Kita (1)

Intisari-Online.com – Banyak pelecehan seksual yang dilakukan terhadap anak-anak di bawah umur. Bagaimana kita sebagai orangtua menyikapinya? Mari kita simak tulisan Kenali Predator Seksual di Sekitar Kita pernah dimuat di Intisari edisi Juni 2014.

--

Peristiwa di Taman Kanak-kanak Jakarta International School, di SDN 09 Makassar, Jakarta Timur, di Sukabumi, dan di pelbagai daerah lain tak hanya menyentakkan orangtua. Kita, sebagai warga negara, pun ternganga oleh kenyataan betapa anak-anak kita selama ini luput dari perlindungan. Apa yang harus kita lakukan? Apa yang harus dipersiapkan oleh orangtua untuk anak-anaknya?

“Pedofil itu apa sih? Pelecehan seksual itu apa? Pemerkosaan itu apa? Memangnya anak TK di JIS itu kenapa, Bu?” Pertanyaan memberondong keluar dari mulut seorang anak setelah tanpa sengaja menonton berita sore di sebuah stasiun televisi.

Bukan hanya di televisi. Di media cetak pun kata-kata itu terpampang jelas menjadi headline. Wajar jika anak-anak jadi ingin tahu.

Belum selesai kita membaca berita kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta International School (JIS), kita dihadapkan lagi pada berita kasus sodomi yang dilakukan oleh AS alias Emon, 24, terhadap sekitar 110 bocah di Sukabumi, Jawa Barat.

Belum lagi selesai kasus Emon, Polres Sumedang, Jawa Barat, pun mencokok Endang Juhana, 62, yang diduga mencabuli sembilan bocah perempuan dan laki-laki berusia 6 – 8 tahun. Semua kasus tersebut terbongkar berkat laporan masyarakat dan orangtua salah satu korban.

Data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, dari analisis 19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun 2007, terdapat 455 kasus kekerasan terhadap anak (KTA). Dari Kejaksaan Agung diperoleh data, selama tahun 2006 ada 600 kasus KTA yang telah diputus oleh kejaksaan. Sementara Komnas Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007 praktik KTA mengalami peningkatan 300 persen dari tahun sebelumnya (Melindungi Anak dari Seks Bebas, Grasindo, 2010).

Ketua KPAI Asrorun Ni’am dalam laman KPAI menjelaskan, data pengaduan yang masuk ke KPAI sejak tahun 2011 tercatat sebanyak 329 kasus kekerasan, pada tahun 2012 naik menjadi 746 kasus, dan pada tahun 2013 menjadi 525 kasus, atau setara dengan rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya. Korbannya 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan.

Sementara dari Januari hingga Maret 2014 ini KPAI sudah menerima pengaduan hingga 379 kasus. Hati ini makin miris setelah menyadari bahwa anak-anak korban kejahatan seks tentunya bukan hanya menderita secara fisik, tapi juga psikis, bahkan lebih parah ketimbang orang dewasa. Sekali saja seorang anak mengalami kejahatan seksual, ia bisa menjadi sangat trauma atau justru menikmati - yang jelas, keduanya sama-sama berperan dalam merusak masa depan si anak seumur hidupnya. Lantas, apa yang harus dilakukan oleh orangtua?

Kuncinya komunikasi

Pasangan Widya (40) dan Ardi (46), meski pernah tinggal delapan tahun di Eropa, tetap menerapkan pendidikan ala Timur kepada ketiga anaknya Fadhil (17), Fahmi (13), dan Dijah (11).

“Agama menjadi dasar pedoman dalam setiap hal yang kami ajarkan kepada anak-anak. Jadi, anak-anak sejak dini sudah tahu mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan menurut ajaran agama yang kami yakini,” jelas Widya, sang Ibu, yang gemar memasak.

Sejak anak-anaknya berusia batita, Widya dan suaminya sudah memperkenalkan perbedaan dalam diri anak-anak mereka, termasuk alat kelamin. Tanpa menggunakan perumpamaan, semisal “burung” atau “pepe”. Tidak boleh seorang pun menyentuh wilayah pribadi mereka, termasuk orangtua mereka. Kalau harus berobat dan sang dokter meminta membuka baju, si anak harus didampingi oleh ibunya.

Senada dengan Widya, Asti (33), juga memberikan pengertian kepada anak semata wayangnya, Amirah (4,5) yang masih duduk di bangku TK. Sejak usia batita, anaknya sudah diberi pengertian mengenai aurat. Asti menekankan pada anaknya, hanya ibu dan neneknya yang boleh menyentuh wilayah pribadi Amirah. Tanpa ada ibu dan neneknya di samping, tidak seorang pun boleh melihat apalagi emegangnya.

“Kalaupun sedang menginap di rumah saudara, dan mandi bersama sepupu perempuannya, Amirah harus tetap mengenakan celana dalam. Tidak boleh telanjang bulat,” jelas Asti. Seandainya sedang tidak ada ibu atau neneknya, Amirah boleh minta tolong kepada ayahnya tapi hanya sebatas mengantar ke pintu kamar mandi. Selebihnya, saat di kamar mandi, si anak harus melakukan semuanya secara mandiri.

Widya dan Ardi, yang ketiga anaknya beranjak remaja, selalu mengajak anak-anak mereka untuk membahas kejadian-kejadian yang sedang terjadi di masyarakat. Komunikasi terbuka ala Barat terutama dalam menyampaikan perbedaan pendapat diterapkan oleh pasangan modern ini bagi anak-anak mereka.

“Suami saya pernah bilang ke anak-anak, panggil saja papa dengan panggilan Ardi,” kata Widya yang masih terlihat cantik. Intinya, komunikasi tetap terjalin di dalam keluarga, terutama ayah harus dekat dengan anak-anak untuk membangun karakter anak.

Ardi juga menekankan pentingnya komunikasi dan keterbukaan pada anak-anak. Ia mencontohkan, kalau ada orang yang mengajak mereka bertemu padahal belum pernah kenal, sebaiknya ditolak. Contoh kejadian-kejadian di masyarakat menjadi cermin Ardi dalam memaparkan kepada anak-anaknya. Termasuk rambu-rambu dalam penggunaan media sosial. Misalnya tidak membuat status posisi mereka saat ini, karena ini bisa membahayakan.

Penggunaan internet di rumah keluarga Ardi pun dibuat terbuka. Siapa pun bisa mengakses layanan internet di rumah itu dengan bebas. Ardi bahkan pernah menawarkan kepada anaknya bila ingin membuka situs porno, boleh saja, tapi bersama dengan ayah. Namun, rupanya anak-anak mereka tidak tertarik sedikit pun pada situs tersebut.

Secara to the point, pasangan Ardi-Widya juga menjelaskan bahwa anak-anak perempuan yang sudah mulai beranjak dewasa jangan mau jika bajunya dibuka oleh laki-laki lain. Demikian sebaliknya, anak laki-laki pun jangan sampai sembarangan membuka baju perempuan, apalagi sampai membuat anak perempuan lain hamil. Mereka juga mulai menjelaskan definisi pemerkosaan, sodomi, pedofil, serta kekerasan seksual yang beritanya sedang naik daun ini.

- bersambung -