Intisari-Online.com - Kasus vaksin palsu terus bergulir. Badan Pengawas Obat dan Makanan mengumumkan, jumlah fasilitas kesehatan yang pengadaan vaksinnya dari pemasok tidak resmi bertambah dari 28 menjadi 37 fasilitas, tersebar di sembilan daerah. Mayoritas adalah rumah sakit dan klinik.
"Pengawasan Badan POM di 32 provinsi masih berlangsung," kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Tengku Bahdar Johan Hamid di Jakarta, Jumat (1/7). Distribusi vaksin palsu sampai ke pengguna melalui jalur pemasok tidak resmi.
Sementara itu, di tingkat provinsi, Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencurigai 35 dari 605 fasilitas kesehatan yang mereka periksa memiliki vaksin palsu karena pengadaan vaksinnya tanpa prosedur dan faktur pembelian yang jelas.
Pengecekan terhadap tempat praktik pribadi dokter, klinik 24 jam, dan bidan mandiri dilakukan sejak Selasa (28/6) lalu. "Kami akan menelusuri distributor vaksin tersebut," ujar Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto.
Koesmedi enggan menyebutkan tempat yang dicurigai. Namun, sebagian besar merupakan tempat praktik bidan mandiri di kawasan Jakarta Timur. Saat ini, di Jakarta terdapat 2.000 klinik, 177 rumah sakit, 20 rumah sakit kecamatan, 7 rumah sakit umum daerah, dan 11 rumah sakit vertikal.
"Kami akan menyelidiki ke distributornya. Yang kami curigai itu rata-rata vaksin impor. Pertama, kami panggil dulu kantor perwakilan di sini. Setelah itu, BPOM akan mengecek kandungannya," ujarnya.
Dari Kota Bogor, Jawa Barat, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto memastikan tidak ditemukan vaksin palsu di puskesmas ataupun rumah sakit di Kota Bogor. "Dinas Kesehatan sudah mengundang semua pemimpin rumah sakit dan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Belum ada laporan temuan vaksin palsu. Namun, kami meminta mereka kembali melakukan pengecekan dan meningkatkan kewaspadaan," kata Bima.
Di Banten, Pemerintah Kota Tangerang menunggu surat edaran resmi Kementerian Kesehatan untuk vaksin ulang anak-anak. "Untuk menenteramkan keresahan orangtua. Tinggal menanti arahan pusat," ucap Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah.
Di Palembang, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Palembang menemukan 32 ampul produk biologi serum yang diduga palsu di tujuh sarana kesehatan di tiga kabupaten/kota di Sumatera Selatan. Temuan itu diawali dari pencarian vaksin palsu pada 80 sarana kesehatan.
Uji laboratorium akan dilakukan untuk memastikan kebenaran produk kesehatan yang dicurigai itu. "Kami belum tahu apa dampak antiserum ini jika digunakan pada tubuh manusia karena memang belum ada uji laboratorium," kata Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar POM Palembang Devi Lidiarti.
Sementara itu, Bahdar mengatakan, pihaknya telah selesai menguji sebagian sampel vaksin kiriman Badan Reserse Kriminal Polri. "Hasilnya sudah kami kirim ke Bareskrim. Mereka yang akan mengumumkan," katanya.
Kontrol pengadaan
Pihak Kementerian Kesehatan menyatakan, saatnya rumah sakit dan fasilitas kesehatan mengontrol ketat pengadaan obat dan vaksin di lembaga mereka. Mereka dianjurkan membeli vaksin dari pemasok dengan izin resmi.
Menurut Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Maura Linda Sitanggang, pengadaan barang dan jasa di rumah sakit pemerintah sudah diatur dalam peraturan presiden, sedangkan pengadaan di fasilitas kesehatan swasta bergantung dari sistem mereka.
Terlepas dari aturan yang berbeda itu, setiap fasilitas kesehatan diimbau hanya membeli vaksin dari produsen dan distributor resmi. "Rumah sakit agar berhati-hati dalam pengadaan. Cek dan periksa ulang segala sesuatunya," ujar Linda.
Mayoritas vaksin palsu yang terindikasi beredar, menurut Linda, adalah vaksin yang tidak wajib diberikan kepada anak atau hanya pelengkap. Vaksin untuk imunisasi dasar wajib di fasilitas kesehatan pemerintah adalah vaksin yang diperoleh melalui pengadaan katalog elektronik dari produsen dan distributor resmi. Vaksin diberikan gratis di fasilitas kesehatan. Rumah sakit swasta boleh memilih mendapatkan dari pemerintah atau beli sendiri.
Para pemalsu vaksin disinyalir memanfaatkan celah pasar dari vaksin yang bukan bagian dari program pemerintah untuk diproduksi dan diperjualbelikan.
Bahdar menambahkan, vaksin merupakan produk yang diatur ketat peredarannya. Pedagang besar farmasi yang boleh menjadi distributor resmi vaksin harus mempunyai sertifikat cara distribusi obat yang baik didukung ruang penyimpanan khusus.
Di Papua, 50 persen dari 300 puskesmas belum memiliki tempat khusus penyimpanan vaksin. Akibatnya, vaksin cepat rusak. "Sebagian besar di pedalaman," kata Kepala Seksi Surveilans dan Penyakit Bersumber Binatang Dinkes Papua Ahmad Juri.
(Harian Kompas)