Intisari-online.com - Kini metode biofisika juga turut melebarkan sayap dalam penangangan alergi. Tepatnya disebut sebagai terapi bioresonansi yang bisa digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati seseorang yang mengalami alergi. Terapi ini menggunakan alat bernama BICOM (Bio Communication).
Prinsip kerja terapi ini sebenarnya sederhana, yakni prinsip timbal balik. Zat alergen yang memicu alergi biasanya memiliki frekuensi gelombang elektromagnetik . Misalnya, Tina (25) terdeteksi memiliki alergi telur. Nah, melalui BICOM gelombang alergen telur diubah menjadi netral, sehingga penderita alergi itu tidak akan bereaksi berlebihan lagi jika mengonsumsi telur.
Saat digunakan di tubuh penderita, BICOM akan menciptakan gelombang elektromagnetik baru setelah gelombang alergen berhasil dideteksi. Lalu, gelombang bayangan itu akan dipancarkan kembali pada tubuh sehingga sensitivitas alergen dalam tubuh perlahan bisa hilang.
Dr. Aris Wibudi Sp.PD, dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Gading Pluit, Jakarta menyatakan kelebihan metode ini ada pada sistemnya yang sederhana. Pasien yang dicurigai alergi tidak perlu lagi melakukan tes kulit, tes darah, dan tes-tes lainnya. “Proses penyembuhannya juga bertahap dan perlahan, jadi tidak serta merta langsung sembuh, ” tutur Aris.
Bila alerginya masih ringan, terapi ini saja cukup ampuh. Namun jika gejalanya cukup berat, maka harus ditambah dengan obat-obatan tertentu. Gelombang frekuensi bayangan yang diciptakan oleh BICOM melawan gelombang frekuensi alergen yang terjadi dalam tubuh sampai penderita tidak akan bereaksi lagi terhadap alergen.
Mekanisme pengobatannya dimulai dari deteksi alergen secara manual dengan menggunakan alat yang bernama biotensor. Ujung biotensor yang berupa antena dengan ujung yang bulat tersebut akan didekatkan pada tubuh pasien.
Sementara itu ujung antena yang lain akan diarahkan pada tabung-tabung zat alergen yang dicurigai dimiliki oleh pasien tersebut. Nah, jika ujung antena tadi bergerak secara vertikal, orang itu memang alergi terhadap bahan tersebut. Namun, jika gerakan ujung biotenseor horizontal, maka ia dinyatakan aman dan tidak mengalami alergi.
Tabung-tabung kecil itu berisi ekstrak dari setiap bahan yang mungkin menjadi alergen bagi tubuh seseorang. Contohnya buah-buahan, sayur-sayuran, dan berbagai jenis ikan. Ada pula jenis-jenis logam, detergen, daging, susu, kacang-kacangan, bahan kosmetik, dll.
Jika pasien memang terdeteksi memiliki alergi, maka tabung kecil berisi zat alergen tadi dimasukkan ke BICOM. Lalu alat akan diprogram untuk membuat gelombang frekuensi bayangan yang akan disalurkan ke tubuh pasien.
Pada proses terapi, pasien diminta memegang alat elektroda berbentuk bola yang kabelnya disambungkan langsung ke BICOM. Melalui bola yang bersentuhan langsung dengan tubuh tersebut frekuensi bayangan yang tercipta di BICOM kemudian disalurkan.
Lamanya terapi tergantung dari jenis alergi dan jumlah alergen yang harus ditangani. Karena bisa jadi satu pasien mengalami reaksi terhadap beberapa jenis alergen. “Selain metodenya yang lebih simpel, terapi ini tidak menimbulkan efek samping sama sekali,” kata Aris yang mendalami metode biofisika ini langsung di negara asal penemuan BICOM, yaitu di Jerman.
BICOM sebenarnya sudah ditemukan sejak tahun 1976, namun kemudian dipopulerkan sebagai metode penyembuhan alergi di tahun 1991 oleh Dr Peter Schumacher. Di Indonesia sendiri, Aris menjadi pelopor terapi bioresonansi sejak tahun 1996.
Tidak perlu khawatir. Seandainya gelombang yang dipancarkan pada tubuh tadi tidak diperlukan oleh tubuh, ia akan lewat begitu saja, tidak akan mempengaruhi tubuh. Jika dikerjakan dengan prosedur yang benar, 80% harapan untuk sembuh dari alergi pasti terjadi.